Hari ini, umat kristiani di seluruh dunia, memperingati peristiwa Tuhan Yesus naik ke surga. Alkitab mencatat, sebelum peristiwa ini Tuhan Yesus pernah memberi perintah kepada para murid supaya mereka saling mengasihi. Dengan demikian dunia akan tahu bahwa mereka adalah murid-muridNya.
Perintah yang sama juga telah diteruskan kepada kita, supaya dengan jalan demikian dunia bisa melihat dan merasakan bahwa  Kristus hidup dan hadir di dalam dunia melalui orang-orang percaya, mereka yang melakukan perintah-Nya. Ketika kita melakukan pekerjaan-pekerjaan Kristus, maka dengan cara demikianlah Kristus hadir di dalam dunia.
Namun persoalannya, ternyata banyak dari kita yang tidak menghendaki Kristus hidup. Jika Ia sudah naik ke sorga, biarlah Dia tetap di sorga, jauh dari bumi. Biarlah Ia menjadi Tuhan sejarah, toh kita bisa memperingati dan merayakan peristiwa-peristiwa penting di dalam sejarah tentang Dia yang bisa kita baca di Kitab yang ada pada kita.
Friedrich Nietzsche pernah mengatakan, "Tuhan Sudah Mati." Konteks perkataan Nietzsche di atas, tentu berbeda dengan apa yang kita pahami tentang Tuhan yang sudah mati. Bagi Nietzsche, memang "Tuhan" dianggapnya sudah mati, dan kitalah yang  membunuhNya.
Kita telah membunuh-Nya ketika kita "dipaksa" untuk membatasi hidup kita oleh penghayatan iman akan Tuhan yang adikodrati. Kita menutup pintu dan berhenti mencari dan menemukan "Tuhan", karena kita telah mempatenkan Tuhan yang adikodrati itu sebagai Tuhan kita, dan menjadi kewajiban kita untuk melakukan perintah-Nya sekaligus menjauhi larangan-Nya.
Nietzsche percaya bahwa ada kemungkinan bagi manusia tanpa Tuhan. Melepaskan kepercayaan kepada Tuhan akan membuat manusia berkembang sepenuhnya, dengan semua keunggulan yang dimilikinya, berbeda dengan mahluk lain.
 "Tuhan sudah mati", seperti kata Nietzsche, demikian juga yang kita pahami dengan konteks yang berbeda. Jika Nietzsche memang menghendaki Tuhan itu mati, kita juga sebenarnya memahaminya demikian. Tuhan yang bangkit namun sudah naik ke sorga, jauh dari bumi kita.
Lalu, Tuhan yang sudah di sorga hendak kita hadirkan di bumi sebagai Tuhan sejarah, Tuhan yang mati. Ya, kita tidak mengingini Dia hidup, kita lebih memilih Dia tetap "mati" dan menjadi Tuhan sejarah. Padahal Dia pernah berkata, bahwa Ia akan menyertai kita sampai akhir zaman, namun dimanakah janji-Nya  yang akan menyertai itu?
Janji penyertaan-Nya bisa saja dipahami secara adikodrati, namun tidak berarti bahwa kehadiranNya harus selalu bersifat mistis. Ia bisa hadir ketika kita mau menghadirkan-Nya di dalam diri dan kehidupan kita di bumi, sehingga dunia boleh melihat bahwa janji penyertaan-Nya sungguh nyata, ketika Ia hadir dengan mengambil rupa dan berkarya dengan laku kita.
Tuhan bisa hadir dengan rupamu, rupaku, dan rupa mereka yang mau memberi wadah bagi Tuhan yang sudah bangkit untuk menampakkan diriNya dan berkarya nyata menyertai mereka yang letih lesu dan berbeban berat yang sedang mencari Tuhan untuk beroleh kelegaan.
Dan faktanya banyak dari kita lebih memilih menghadirkan Tuhan sejarah, Tuhan yang telah mati. Dimana-mana "orang percaya" berusaha memperlihatkan simbol-simbol Tuhan, yang adalah Tuhan yang mati. Jika kita bisa menghadirkan Tuhan yang hidup, mengapa kita lebih memilih menghadirkan "tuhan yang mati"?