Rembulan di atas sana tak lagi nampak malam ini. Tak ada lagi malam malam dengan canda tawamu, lawakan receh di malam yang panjang di temani rembulan.
Kau berubah menjadi pendiam, tak ada lagi dirimu yang pernah kukenal di sana. Kau hanya terdiam terus di kamar putih itu, yang sorot matamu menatap tajam di setiap dindingnya. Bahkan kau selalu menolak kontak mata dengan siapa pun. Duduk diam di kursi roda itu.
Kalau saja aku cukup keras untuk melarangmu ikut denganku malam sebelum peristiwa itu terjadi pasti tak akan terjadi hal seperti ini. Aku tak tahu bagaimana lagi agar semua ini bisa baik baik saja. Aku terus menyalahkan diriku sendiri. Mengutuk kencang mengapa aku harus menyeretmu ke dalam kecelakaan sebulan yang lalu itu.
Orang tua mu tak satu pun menyalahkanku, tapi rasa itu selalu membayang bayangiku. Aku telah mencelakai sahabatku sendiri. Membuatnya lumpuh. Juga kini batinnya telah lumpuh. Tak hentinya aku menyalahkan diri ini. Aku adalah sahabat yang gagal. Saking gagalnya, bahkan aku terbangun dengan mimpi yang sangat menyeramkan.Â
Dalam mimpi itu aku terpental dari motor kita waktu itu, dan disebelahnya itu jurang, badanku terguling ke arah sana, sedikit lagi jatuh ke bawah, kemudian kau ada di sana tapi hanya diam tak memedulikanku, hingga setengah badanku jatuh dan hanya bisa berpegangan di ujungnya seerat mungkin, sampai aku terbangun dari mimpi dengan keringat yang bercucuran.
Malam malam belakangan aku sering menjengukmu, tapi hasil yang kau tunjukkan tak ada kemajuannya. Kau tetap diam dan menolak kontak mata. Aku tak tahu apa lagi yang bisa kulakukan agar kau masih bisa menerima sahabatmu ini.
Kini sudah berapa purnama yang kita lewatkan. Malam malam panjang kita yang dulu benar benar tak ada lagi sekarang. Perasaan bersalah di aku semakin memuncak. Kau seperti belum ada tanda tanda untuk menerima semua ini.
Tiba hampir setahun aku menunggu, kau mulai terbiasa dengan kehadiran diriku. Perlahan lahan kau tidak menolak kontak mata lagi. Mau ku ajak berkeliling di kompleks. Hingga hari itu kau menatap mataku lamat lamat dengan perasaan rindu. Ku tahu banyak yang ingin kau ucapkan. Tapi kau masih belum ingin menyampaikannya. Tak apa setidaknya kau masih menerima aku sebagai sahabatmu lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H