Saat sudah dalam keadaan membaik, Bunda sempat bilang kalau biaya pengobatannya habis sekian puluh juta. Saya saat itu hanya bilang:
 "pakai uangku yang ATM nya di Bunda saja, kan banyak isinya" Bunda tidak mau mengganggu tabungan saya katanya.Â
Beliau bilang "Bunda ada uang, sebenarnya mau dipakai beli mobil tapi belum rejeki malah buat bayar rumah sakit" raut kecewa tampak sekali meski sambil tersenyum.
Berkaca dari peristiwa tersebut Bunda selalu mengingatkan bahwasannya sehat itu aset yang paling mahal. Karena saat sakit, lihat saja kita harus bayar mahal biayanya demi menebus sehat. Oleh karenanya, Bunda pun selalu ingatkan kami untuk tidak terlampau ngoyo dalam bekerja, jaga kesehatan dan kalau bisa miliki asuransi. Kok, asuransi? Iya, dengan asuransi kita sudah memiliki persiapan jika ada sakitnya. Analoginya, sedia payung sebelum hujan. Jangan nunggu hujan baru bingung nyari payung.
Tapi, bukannya dengan beli polis asuransi kita ini berharap diri kita sakit, ya? Ini pemikiran awam saya awalnya. Tentu tidak. Alhamdulillah jika kita sehat terus, namun bisa dibayangkan tidak jika ceritanya seperti Bunda?Â
Beliau sakit ga punya tabungan tidak ada asuransi, kemana beliau mencari uang puluhan juta untuk biaya pengobatan dalam waktu sesingkat itu? Tidak ada yang bisa menjamin kalau Bunda mendapatkan penanganan bagus dari para dokter spesialis, kamar nyaman kalau tidak uang. Asuransi ini sama dengan invenstasi.Â
Dan tetap, andai saja punya asuransi mungkin Bunda masih tetap bisa membeli mobil impiannya karena untuk biaya sakit sudah ditanggung sepenuhnya oleh asuransi. Dari sini, kami benar-benar faham bahwa sehat adalah aset yang benar-benar tidak bisa dinilai dengan rupiah. Mahal banget.
Apa yang terjadi pada Bunda sudah terlanjur. Ibarat nasi sudah jadi bubur. Di usianya yang 50an tahun ingin membuat asuransi, apakah bisa? Saat itu tidak bisa. Saya sudah mencari-cari informasi tidak bisa apalagi dengan kondisi Bunda yang sudah pernah sakit.
" Kalian tahu kenapa harus punya asuransi?" Tanya Bunda tegas