Mohon tunggu...
Zulkarnain Nggiu
Zulkarnain Nggiu Mohon Tunggu... Lainnya - Pengangguran

(Son of Effendi Nggiu with Sa'dia Martanom) "Tapi tak semua orang Jalannya itu Jalani sendiri Jalan ninjamu Lagipula hidup Sebebas itu Jadilah apapun Yang kamu rindu"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rokokku dan Pria Muda Idealisme di Gang Kota

24 Juni 2024   03:52 Diperbarui: 24 Juni 2024   05:12 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Distrik geisha di Gion, Kyoto Jepang (AFP)

Saat saya berjalan menelusuri berbagai gang di ibu kota, saya menemukan seorang pria muda yang sibuk membaca buku dengan genre yang khas. Saya mendekatinya sambil mengeluarkan bungkusan rokok yang mengeluarkan asap berwarna-warni, yang biasa menarik perhatian para perokok. Dengan santai, saya bertanya, "Apakah pendirian idealismu membuatmu bersikeras seperti ini?"

Dia menjawab dengan senyum tipis, "Ya, kita hidup di zaman penuh dengan kemunafikan. Bawahan menjilat, atasan menindas. Bagi saya, hidup haruslah tentang mencari kebenaran."

Saya melanjutkan, "Tapi apakah hidup dalam sistem seperti itu tidak mengajarkan kita untuk menjadi lebih kritis dan mandiri?"

Dia menaikkan sedikit intonasinya, "Hidup dalam sistem seperti itu hanya akan menghukum siapa pun yang berpikir kritis. Kemandirian? Itu hanya ilusi yang diciptakan oleh para penguasa."

Saya menyalakan rokok dan menikmati isapannya sambil tersenyum. "Jadi, kamu sangat idealis dengan pandanganmu itu. Semoga kamu tidak tergoda dengan godaan di sekitarmu."

Dia tersenyum meremehkan, "Tidak ada yang bisa menggoda saya. Saya teguh pada prinsip hidup saya."

Ilustrasi Karakter Pria yang Suka Baca Buku. Sumber foto: unsplash.com/Lilly Rum
Ilustrasi Karakter Pria yang Suka Baca Buku. Sumber foto: unsplash.com/Lilly Rum

Dia kemudian meminta sebatang rokok dari saya yang manipulatif itu. Dengan santai, saya menjawab, "Saya juga memiliki sisi idealis saya sendiri. Saya bekerja keras untuk meraih rokok ini dan menikmatinya dengan tenang. Aku tidak akan membaginya, karena jika saya melakukannya, saya akan melanggar prinsipmu tentang kepemilikan bersama."

Dengan nada tajam, dia menyahut, "Sialan, sikapmu seperti penguasa yang suka menindas. Jika engkau tidak mau membagi sebatang rokok, bagaimana jika suatu hari engkau menjadi pemimpin? Apa yang akan kau berikan kepada rakyatmu?"

Dengan tenang, saya menjawab, "Jangan terus-menerus menyalahkan pemerintah. Introspeksi diri, apakah buku yang kamu baca benar-benar membuatmu bijak atau hanya membuatmu malas dengan topeng idealismemu?"

Ilustrasi perokok (Shutterstock)
Ilustrasi perokok (Shutterstock)

"Sistem mana pun akan selalu ada, dan kita akan selalu bekerja di dalamnya. Tergantung pada bagaimana kita menanggapinya. Apakah kita akan menjadi bijaksana atau hanya menjadi idealis yang malas."

Dia marah, "Aku tidak akan mendengarkan penjelasan konyolmu. Lebih baik melawan daripada hidup dalam kemunafikan." Dengan itu, dia beranjak pergi, meninggalkan saya sendirian.

Ketika dia melangkah pergi, saya berteriak, "Logika tanpa logistik = anarkis!"

Dia menoleh ke belakang, mengangkat jari tengah, dan meneriakkan kata kasar sebelum benar-benar pergi.

Membiarkan kata-kata dan pandangan kami berdua melayang di udara. Saya merenung tentang betapa berbedanya pandangan hidup kami, tentang idealisme dan realitas yang dihadapi setiap hari.

Beberapa hari kemudian, saya kembali ke tempat yang sama, berharap melihat pria muda itu lagi. Namun, ia tidak ada di sana. Saya merasa ada kekosongan di antara gang-gang yang sepi itu, tempat di mana percakapan kami terjadi.

Saya menyadari bahwa walaupun kami memiliki pendapat yang berbeda, pertukaran itu telah membawa saya untuk lebih mempertanyakan dan memahami posisi saya sendiri. Keberanian dan keyakinannya menginspirasi saya untuk lebih kritis terhadap hal-hal di sekitar saya, sambil tetap menjaga keseimbangan antara idealisme dan realitas.

Percakapan itu tidak hanya sekadar pertemuan singkat di jalanan ibu kota. Ia memperluas pandangan saya tentang berbagai sudut pandang dan membantu saya untuk lebih berempati terhadap perspektif orang lain. Meskipun kami tidak setuju pada banyak hal, saya menyadari bahwa ada nilai dalam mendengarkan dan mencoba memahami sudut pandang orang lain.

Saya berharap, di suatu tempat, pria muda itu juga mendapat pemikiran dan refleksi yang sama seperti yang saya alami. Mungkin suatu hari nanti, jalanan ibu kota akan menyatukan kembali pandangan-pandangan kami yang berbeda untuk berbagi ide dan pemahaman yang lebih dalam.

Dengan itu, saya melangkah pergi, membawa pengalaman ini sebagai bagian dari perjalanan saya menuju pemahaman yang lebih luas tentang hidup dan manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun