Mohon tunggu...
Evan Seftian Muzaki
Evan Seftian Muzaki Mohon Tunggu... Guru - Pena Wong Cilik

Manusia Paling Biasa-Biasa Saja

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hari Pendidikan Nasional: Jangan Anggap Pohon Kelapa Lebih Baik dari Pohon Mangga

2 Mei 2020   14:20 Diperbarui: 2 Mei 2020   15:46 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan mempunyai peran penting dalam perkembangan peradaban umat manusia. Pendidikan seakan menjadi roh dalam semua aspek kehidupan umat manusia. Di indonesia, pendidikan menjadi garda terdepan dalam membangunan peradaban manusia yang lebih baik lagi, meskipun realitas juga menunjukan bahwa pendidikan di Indonesia masih menimbulkan berbagai permasalahan yang pelik.

Jika kita berbicara tentang pendidikan, maka yang terlintas dalam fikiran kita pada umumnya adalah sekolah, kurikulum, dan segala kerumitannya.

Tapi apakah benar pendidikan mempunyai arti sesempit itu? Apakah kita hanya bisa menemukan makna pendidikan di bangku sekolah formal saja? Bukankah seorang yang mengalami keadaan dimana dirinya tidak merasa tau sehingga timbul reaksi untuk mencari juga merupakan hakikat dari pelaku pendidikan meskipun itu tidak terjadi di bangku sekolah. Manusia terkadang suka menciptakan batasan-batasan yang kemudian mengurung dirinya sendiri.

Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses dimana manusia menemukan sesuatu yang sebelumnya mereka tidak ketahui, entah itu dalam segi intelektualitas, sosial, spiritualitas dan lainya.

Jadi menurut saya terlalu sempit jika kita memaknai pendidikan sebagai sesuatu yang hanya bisa ditemukan di bangku sekolah formal dengan kurikulim nasional saja.

Padahal sejatinya pendidikan yang sebenarnya bisa kita temukan di keluarga, di sawah, pasar, pos ronda dan lainya.  

Meskipun kita tidak bisa menolak bahwa peran pendidikan formal juga sangat penting bagi kehidupan kita, tetapi kita tidak bisa menghilangkan peran "Universitas Kehidupan" dalam membentuk karaktek dan intelektual dari seorang hamba Tuhan, karena sejatinya kehidupan sehari-hari memberikan kita pengalaman yang lebih nyata dibandingkan sebaris teori yang dijelaskan oleh seorang guru di ruang kelas.

Makna pendidikan seakan mengalami pengikisan jika kita lihat realita dalam kehidupan kita sekarang ini, dimana seseorang hanya dianggap sebagai manusia maju jika dirinya sudah bisa bersekolah sampai ke perguruan tinggi tanpa melihat keterampilan apa yang sudah dia kuasai.

Alhasil pendidikan hanya menciptakan suatu kelas dalam masyarakat kita yang didalamnya terdapat anggapan bahwa seseorang yang mampu mendapatkan pendidikan di perguruan tinggi dianggap lebih mempunyai derajat dibandingkan dengan seorang yang tak mengenyam pendidikan formal setinggi itu.

Pendidikan modern juga membuat kita mengalami kebingungan dalam melihat nilai asli dari diri manusia dan klasifikasinya. Buktinya kita sampai sekarang masih bingung tentang siapakah ahli pertanian yang sebenarnya? Apakah ahli pertanian adalah seorang lulusan S3 jurusan pertanian dengan sekarung teorinya atau ahli pertanian adalah seorang petani lulusan SD yang sehari-hari sudah nyata menemani tanaman di sawah?

Mungkin jawaban terbaik bisa kita temukan jika kita sudah menemukan seorang Doktor dalam bidang pertanian yang mau untuk pergi ke sawah dengan cangkul di bahu dan topi caping di kepalanya, meskipun hal itu mustahil terjadi karna seorang manusia modern yang dianggap berpendidikan tak akan sudi jika tubuhnya bermesraan dengan tanah secara langsung.

Suatu hal yang sejatinya merupakan nilai utama manusia dalam  menjalani kehidupan menjadi agak samar jika kita terus menerus menghamba pada modernitas.

Misalnya dalam dunia pendidikan, manusia yang pada hakikatnya sudah diberi kelebihan masing-masing oleh Tuhan, diubah menjadi mesin yang tak mengenal dirinya sendiri. Ini juga akan berpengaruh pada bagaimana respon orang tua dalam melihat perkembangan seorang anak.

Orang tua sekarang ini sebagian besar cenderung menuntut anaknya untuk mendapatkan prestasi dengan nilai sebesar-besarnya pada kertas raport mereka. Tanpa disadari hal ini menjadi sebab bagaimana anak atau peserta didik kehilangan kesempatan mereka untuk mengasah kemampuan dan keahlianya dengan tekun, karena sudah diseragamkan oleh dorongan orang tua dan sistem pendidikan yang ada.

Sadar ataupun tidak, asumsi masyarakat kita tentang pendidikan formal sama sekali sudah memberangus serta mematikan potensi dan kemauan yang dimiliki oleh anak-anak kita. Bagaimana mungkin anak-anak kita harus menguasai semua bidang mata pelajaran tanpa ada satupun yang mereka tekuni dengan intensitas belajar yang lebih banyak.

Anak-anak kita hanya dituntut untuk belajar dan belajar tanpa memperhatikan dan meneliti kelebihan apa yang sesungguhnya Tuhan berikan kepadanya yang sudah pasti setiap anak mempunyai fadhilah atau keistimewaan yang berbeda. Sederhananya, bukankan seorang Atlit nasional tidak terlalu membutuhkan ilmu kimia, seorang seniman musik terkenal tak terlalu membutuhkan ilmu biologi dan lain sebagainya.

Jika anak kita diibaratkan pohon, kita tidak bisa menilai pohon kelapa lebih baik daripada pohon mangga hanya karena bentuknya yang lebih tinggi, karena pohon kelapa memang diciptakan sedimikaian rupa oleh Tuhan dengan kelebihannya sendiri dan juga pohon mangga diciptakan dengan kelebihanya yang khas pula.

Begitu juga dengan anak-anak kita, yang mempunyai kelebihan dan keistimewaan masing-masing oleh Tuhan. Sehingga tugas dari tenaga pendidik dan orang tua adalah untuk membimbing mereka menemukan kelebihanya, bukan untuk menyeragamkan dan menjadikan anak kita mesin produksi dan menjalani hidup tannpa perasaan gembira yang ditimbulkan dari rasa keterpaksaan atas kemauan dari orang-orang di sekelilingnya.

Oleh karena itu, momen hari pendidikan nasional ini bisa kita jadikan sebagai acuan untuk menciptakan iklim pendidikan yang lebih lebih baik lagi. Karena sejatinya pendidikan adalah hal terpenting yang harus kita laksanakan dengan baik dalam rangka mensyukuri nikmat Tuhan yang telah memberikan kita keistimewaan berupa akal untuk menjalani kehidupan.  Hentikan tuntutan-tuntutan dan egoisme dari kita sebagai orang tua dan tenaga pendidik untuk menjadikan anak sesuai yang kita inginkan , dan biarkan anak menemukan hakikat dirinya dalam menjalani kehidupan di kemudian hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun