Mohon tunggu...
bahrul ulum
bahrul ulum Mohon Tunggu... Freelancer - Kompasianer Brebes Community (KBC) - Jawa Tengah

Apa yang ditulis akan abadi, apa yang akan dihafal akan terlepas, ilmu adalah buruan, pengikatnya adalah tulisan, ikatlah dengan kuat buruan mu itu. (KBC-01)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Buta Aksara Masih Ada, Masalah Kita Semua

4 Februari 2023   07:31 Diperbarui: 4 Februari 2023   07:34 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keaksaraan penting (dok foto https://siedoo.com/)

Bicara buta aksara, memang menjadi hal yang dianggap biasa bagi suatu daerah, kenapa demikian, karena nyaris sedikit sekali upaya yang berkesinambungan untuk dipecahkan bersama, dianggap bahwa buta aksara itu sudah bebas, karena sudah banyak beberapa daerah telah mencanangkan bebas buta aksara, terlebih lagi indikator penilaian IPM sudah tidak mencantumkan masalah buta aksara, sehingga program sudah beralih ke indikator dibidang pendidikan. 

Portal Badan Pusat Statistik disebutkan Indikator,  Angka Melek Huruf pada metode lama diganti dengan Angka Harapan Lama Sekolah, kedua Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita diganti dengan Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita. Keungulan indikator yang baru Menggunakan indikator yang lebih tepat dan dapat membedakan dengan baik (diskriminatif).  Dengan memasukkan rata-rata lama sekolah dan angka harapan lama sekolah, dapat diperoleh gambaran yang lebih relevan dalam pendidikan dan perubahan yang terjadi.

Metodologi dirubah untuk perhitungan IPM, dengan melihat Beberapa indikator sudah tidak tepat untuk digunakan dalam penghitungan IPM. Angka melek huruf sudah tidak relevan dalam mengukur pendidikan secara utuh karena tidak dapat menggambarkan kualitas pendidikan. Selain itu, karena angka melek huruf di sebagian besar daerah sudah tinggi, sehingga tidak dapat membedakan tingkat pendidikan antardaerah dengan baik.

Disinilah persoalan buta aksara dianggap tidaklah seksi, kalaupun masih ada data yang tersebar dibeberapa daerah, tapi usia sasaran mereka sudah umur 30 tahun ke atas, sebenarnya mereka usia produktif, namun motivasi untuk belajar sangat rendah, pemberian ijasah sukma (surat keterangan melek aksara) sangat jarang dikeluarkan, berbeda saat indikator melek aksara ini menjadi indikator, maka sukma 1 dan sukma 2 pun masih banyak yang menerbitkan. 

Program KKN tematik dari pihak perguruan tinggi, terkadang sudah tidak melirik lagi upaya bagaimana agar masyarakat yang tidak membaca atau menulis dan berhitung untuk bisa berhitung secara instan, mereka yang sudah tua, tingkat keminatan sangatlah rendah, namun dibalik angka ini, tidak ada orangtua yang menginginkan masa depan anaknya setelah generasi gen z kemudian tidak sekolah, walaupun orangtuanya tidak bisa membaca, menulis dan berhitung, tapi mereka tetap semangat, bahwa keturunanya jangan meniru pendidikan kedua orangtuanya. Sehingga sangat terlihat tingkat kelulusan tingkat SD/sederajat semakin meningkat dibeberapa daerah. Ini adalah salah satu yang menjadi jurus cepat untuk memutus mata rantai kebodohan. Disaat orangtua sudah tinggi motivasi dalam bidang pendidikan untuk keluarganya maka dalam kurun waktu 20 tahun ke depan angka harapan lama sekolah semakin meningkat. 

Namun secara makro, jelas dengan masih banyak warga yang buta aksara ataupun tidak lulus tamat SD/MI/Sederajat maka indikator IPM pendidikan akan semakin terpuruk, oleh karena itu salah satu cara efektif adalah memastikan mereka kembali bersekolah, sinergitas program penting, koordinasi penting, regulasi juga penting termasuk ada dukungan anggaran yang tepat dan maksimal. Relawan penggerak pengembalian anak atau dewasa tidak sekolah harus mutlak ada, termasuk sebaran Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) melalui Kelompok Belajar (Pokjar) sebagai jurus pendekatan layanan pendidikan bagi sasaran. Jika ini dilakukan secara masif dan berkesinambungan, maka akan ada solusi kentara dalam perbaikan IPM di beberapa daerah. Namun sebaliknya jika ini dianggap tidak seksi dan tidak populis secara politik, maka nasib bangsa akan bermasalah, imbasnya pengangguran semakin banyak terus bonus demografi semakin parah, muncul masalah dimana-mana. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun