Mohon tunggu...
bahrul ulum
bahrul ulum Mohon Tunggu... Freelancer - Kompasianer Brebes Community (KBC) - Jawa Tengah

Apa yang ditulis akan abadi, apa yang akan dihafal akan terlepas, ilmu adalah buruan, pengikatnya adalah tulisan, ikatlah dengan kuat buruan mu itu. (KBC-01)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hidup di Desa Jiwa Gotong Royong Masih Melekat

10 Juli 2021   16:21 Diperbarui: 10 Juli 2021   16:24 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada perbedaan yang kentara saat membangun infrastruktur jalan umum ataupun fasilitas pendidikan di desa dan di kota atau pinggiran kota, yang sangat menyolok adalah budaya kirim ponggol atau gotongroyong di lingkungan desa masih sangat kental dan melekat, walaupun tukang sudah dibayar lagis (tanpa dikasih makan dan minum) tapi tetap saja warga terdekat dengan lokasi akan menyediakan nasi ponggol, jajan yang dimiliki apakah kue basah ataupun kue kering, bahkan saat mereka diminta untuk bantu lewat tenaganya tidak ada kalimat menolak. 

Berbeda dengan hidup di perkotaan, para supir dum truck saja sangat mengakuinya bahwa saat membawa muatan dan ditaruh di proyek fisik PT misalnya, air aqua segelas saja sulit untuk mendapatkannya, sangat berbeda dengan mengirim muatan di pedesaan. Disinilah betapa luar biasanya kehidupan di pedesaan, terlebih lagi jika fasilitas yang akan dibuat itu akan berdampak nyata bagi masyarakatnya atau warganya maka warga pun tidak akan menghitung berapa dana yang dikeluarkan untuk memberikan teh hangat atau kopi set-setan kepada pekerja yang membantu membuat akses jalan ataupun membangun fasilitas pendidikan ataupun keagamaan. 

Pengusaha toko bangunan juga sudah memberikan garansi harga potongan kepada siapapun yang beli untuk kepentingan umum seperti sekolah, madrasah, lembaga sosial maupun lembaga pendidikan pesantren, harga yang diberikan akan diinformasikan sesuai harga pabrik, bahkan saat lembaga tersebut mau bayar tempo saja mereka berani, asalkan diawal sudah disampaikan, sampai batas berapa dana tempo berhenti, karena kalau tidak cepat dibayar juga berimbas pada usaha mereka. 

Wajar saja ketika pengusaha material bangunan banyak nota bon pinjam material, mereka juga harus jeli dan teliti kepada siapa bon pinjam dengan bayar tempo diberikan, namun saat personal orangnya benar-benar diakui, maka berapapun yang diberikan akan dilunasi, inilah bentuk kepercayaan yang sering dan terjadi ketika usaha berada di pedesaan. 

Kalau di perkotaan, kompetitor pelaku usaha jelas sangat tinggi, dan mereka harus jeli membidik pasar ataupun pembeli yang mumpuni bayar, karena kalau salah mengambil keputusan, juga banyak piutang yang menumpuk, saat ditagih berbagai alasa yang disebutkan, ya dinamika usaha memang sering terjadi dimanapun dan kapanpun. 

Sistem tempo atau hutang dulu sangat mendominasi baik di kota maupun di desa, hanya saja jika di kota akan lebih murah harganya karena akses mereka lebih cepat dan mudah dikunjungi sales atau marketing pabrik, dan setiap marketing pabrik pun akan memberikan spesial harga kepada toko yang memilih bayar tunai atau bayar tempo, pastinya akan berbeda harganya termasuk bonusnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun