Mohon tunggu...
bahrul ulum
bahrul ulum Mohon Tunggu... Freelancer - Kompasianer Brebes Community (KBC) - Jawa Tengah

Apa yang ditulis akan abadi, apa yang akan dihafal akan terlepas, ilmu adalah buruan, pengikatnya adalah tulisan, ikatlah dengan kuat buruan mu itu. (KBC-01)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tebu Rakyat Meluas, Stok Gula Aman, Bagaimana Jika Sebaliknya?

14 Oktober 2020   17:22 Diperbarui: 14 Oktober 2020   19:36 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semakin banyak angkutan tebu menuju pabruk gula, tandanya stok tebu semakin baik, namun sebaliknya jika stoknya terbatas, jarang pemilik tanah menyewakan lahannya, maka akan berdampak pada stok ketersediaan gula bagi masyarakat.

Kebutuhan tebu jelas tak pernah sepi dari permintaan, karena setiap warung makan, minuman, ataupun restoran dan aneka roti pun membutuhkan gula. Masyarakat sepertinya membutuhkan gula putih sebagai pemanis minuman. 

Mengutip di tirto.id disebutkan, Tahun ini, menurut Asosiasu Gula Indonesia, produksi gula nasional hanya akan mencapai 2,05 juta ton sementara stok gula sisa tahun 2019 lalu hanya sebanyak 1,08 juta ton. Ada pun konsumsi gula diprediksi mencapai 3,16 juta ton.

 "Setidaknya dibutuhkan 1,33 juta ton gula impor untuk konsumsi. Selain Untuk pemenuhan kebutuhan tahun 2020 sekaligus sebagai persiapan awal 2021 maka diperlukan impor gula untuk konsumsi langsung, Kebutuhan Impor Gula Diprediksi Capai 1,3 Juta Ton Sepanjang 2020"

Semakin masyarakat menolak lahannya ditanam tebu, maka semakin berkurang stok tebu tersebut. Maka harus impor beras, Indonesia harus membeli produk gula dari negara lain, sedangkan biaya produksi menanam tebu sekarang ini semakin mahal. Belum lagi jika lahan tebu kebakar, semakin ruginya banyak. 

Menanam tebu antara tahun 90an dengan tahun ini sangat berbeda, dulu saat tahun itu saya yang merasakan naik kereta tebu pun, merasakan takut jika ketahuan sinder tebu atau mandor tebu dikira mengambil satu atau dua lonjor tebu, padahal saat itu masih anak-anak jadinya rasa ingin tahu ada, dan rasa ingin coba-coba juga dilakukan.

Tebu yang ditanam saat dulu, mencari pekerja sangatlah mudah dan tidak banyak protes, sekarang era digitalisasi, banyak tuntutan dan biaya atau ongkos buruh juga naik dan tidak mau yang sulit-sulit dalam mengerjakan pekerjaan mengolah lahan dan merawat tebu. Dulu rumput atau ama tanaman di tebu di ambil pakai tenaga tangan, sekarang disemprot dengan obat rumput biar rumputnya mati sendiri. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun