Seorang penyair ternama Hafiz Ibrahim mengungkapkan sebagai berikut: "Al-Ummu madrasatul ula, iza a'dadtaha a'dadta sya'ban thayyibal a'raq".
Artinya: Ibu adalah madrasah (Sekolah) pertama bagi anaknya. Jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya.
Untuk mewujudkan seorang anak yang sehat, ceria, dan berakhlaqul karimah, maka dibutuhkan seorang ibu yang memiliki semangat seperti Ibu Kita Kartini, dimana terkadang kesulitan harus kamu rasakan terlebih dulu, sebelum kebahagiaan yang sempurna datang kepadamu.Â
Seorang Ibu yang memiliki pendidikan yang tinggi, dan mau merawat anaknya dengan penuh kasih sayang, amanah dan memastikan ilmunya bisa bermanfaat kepada orang lain, itulah jiwa seorang ibu.Â
Baca juga: Selain Kartini, Berikut Tokoh Perempuan Nasional Daerah
Semakin banyak ibu yang berkualitas pada keluarga, maka akan kuat pondasi bangsa ini, namun bila seorang ibu atau kartini ini pendidikannya sangat rendah, hanya tamatan SD atau belum tamat, kemudian tidak bisa menyekolahkan anaknya hingga sampai jenjang pendidikan dasar.
Terlebih lagi jika keturunanya stunting, tidak sekolah lagi, pergaulannya bebas, dan tidak disekolahkan di madrasah atau pendidikan agama, maka yang akan terjadi adalah beban bagi keluarganya, desanya, kecamatannya, daerahnya dan Negaranya.Â
Bagaimana akan bisa berdaya bila kemudian nasib para perempuan selalu terpinggirkan, termarginalisasi, dan hanya suruh ngurusi dapur, sumur dan kasur seperti petuah zaman dahulu kala, kemudian diimplementasikan dalam kondisi sekarang ini, dimana tugas sekolah yang diberikan dari guru kelasnya untuk belajar di rumah dengan sistem digitalisasi.
Baca juga: Jangan Menjadikan Hari Kartini Sebatas Hafalan dan Tradisi
Semua dengan kuota internet, diskusi dengan aplikasi zoom dan sejenisnya, belum lagi harus memahami tugas-tugas sekolah sedangkan ibunya dan ayahnya tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah dasar, maka yang terjadi adalah orang tua tidak bisa berdaya sama sekali untuk mengerjakan PR dari sekolahnya.Â
Jika mereka berpenghasilan cukup, mungkin memanggil guru private untuk mengajarkan anaknya biar pandai, maklum di desa tidak tersedia lembaga bimbingan belajar gratis yang difasilitasi oleh desa, mereka harus mengadu ke mana, akhirnya pembiaran saja nasib anak, biarlah mereka pagi berangkat sekolah, pulang ya dibiarkan tidak diberikan pendampingan untuk belajar bersama keluarga.Â
Sedih memang jika kondisi seperti diatas terjadi pada nasib generasi yang akan datang, enggan sekolah diniyah tetapi mengutamakan ilmu umum, dan akhlaq atau pergaulan yang ada tidak disentuh sejak dini, maka disaat mereka sudah masa baliqh ataupun sudah menginjak dewasa, baru kesedihan dan perasaan getun mengiringi jiwanya dan badannya.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!