Mohon tunggu...
bahrul ulum
bahrul ulum Mohon Tunggu... Freelancer - Kompasianer Brebes Community (KBC) - Jawa Tengah

Apa yang ditulis akan abadi, apa yang akan dihafal akan terlepas, ilmu adalah buruan, pengikatnya adalah tulisan, ikatlah dengan kuat buruan mu itu. (KBC-01)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nenek Moyangku, Seorang Pelaut

10 September 2019   18:14 Diperbarui: 10 September 2019   18:13 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nenek moyangku, seorang pelaut #pinisiboat begitu yang ditulis oleh sahabatku yang sedang ada kegiatan di Makasar Provinsi Sulawesi Selatan. Suku bajo, suku bugis, suku madura, suku biak, suku bawean,  suku pesisir laut jawa yang mengarungi laut untuk mengais rejeki, bahkan hidup di sekitar pinnggiran pesisir laut. 

Laut yang kita miliki adalah sumber alam potensial yang ada, dan mereka yang berani menantang samudera di laut lepas adalah orang-orang pilihan, bahkan tidak takut mati, bahkan sangat lihae dan lincah dalam mencari ikan, baik dengan cara memancing, menjaring maupun harus berenang di dalam laut untuk mencari ikan dan ikan yang didapatkan bisa dikonsumsi sendiri atau di jual.

Bagi penduduk di suku ini, usia anak pun sudah dilatih untuk berenang, makanya saat usia dewasa mereka tidak takut dengan air laut dan gelombang laut, bahkan mereka seolah-olah sudah menyatu antara kehidupan di pesisir laut, atau saat mengarungi samudera laut baik antar daerah, pulau hingga manca negara. 

Suku ini hobinya berlayar dan merantau dari satu tempat ke tempat yang lin, bisa saja menginap atau membuka lahan baru dan membangun rumah beserta keluarganya, lalu berpindah lagi ke kampung lainnya dengan lokasi yang jauh dari asal kelahiranya. 

Wajar saja penghuni pri tidak banyak, penghuni perempuan bertambah termasuk keturunannya di tempat dimana mereka menentukan lokasi usahanya. Mereka para perempuan tidak merasakan kesepian ditinggal sama laki-lakinya

Dulu kerajaan sriwijaya membangun banyak pelabuhan di berbagai tempat untuk pusat perdagangan, wajar saja migrasi penduduk begitu cepat, mereka bisa saja menikah dengan penduduk setempat dan memperoleh keturunan. Makanya kemudian muncul percampuran antar suku, dampaknya dinamika sosial kemasyarakatan begitu dinamis dan tingkat mandirinya begitu kental. 

Bahkan suku bajao pun dalam melakukan transaksi perdagangannya diatas kapal kecil, seperti contoh model di kalimantan selatan ada pasar terapung, dimana cara bertransaksi di pagi hari bertemu, penjual dan pembeli bertemu antara satu perahu satu dengan perahu yang lainnya, dan ini bisa dilakukan oleh kaum hawa, mereka tidak takut tenggelam, bahkan karena kebiasaan sehari-hari,ada badai ataupum ada angin kencang, mereka bisa mengendalikan perahu yang diayunkan secara tradisional. 

Gelombang ombak laut, dianggap masih biasa, bahaya yang mengancam di laut baginya hal yang lumrah, dan resiko yang akan terjadi sudah diperhitungkan. Bukti adanya kapal pinisi inilah Indonesia dikenal seluruh dunia, karena mereka menjadi icon dunia, bahwa nenek moyangku memang seorang pelaut, yang gagah dan berani dan siap mengarungi samudera dunia dengan tenaga, ilmu dan ketelitian sama keberanian. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun