Beberapa stasiun Televisi yang ada di Indonesia, sudah berorientasi ke arah bisnis dibandingkan dengan nilai-nilai sosial, wajar saja jika mereka mencari tayangan ke hiburan remaja dan dewasa.Â
Kalaupun ada nilai tuntunan yang berkarakter pun sangat terbatas jam tayangnya dan tingkat penontonnya juga tidak maksimal. Wajar saja bila pengelola media televisi harus menguras keringat dan jam tayangan ke sisi entertainment atau tayangan dengan public pigur yang dikedepankan seperti mempublikasikan kehidupan artis ibukota.Â
Dikutip dari portal tirto.id dijelaskan  bahwa program  anak semakin minim. Posisi tayangan-tayangan itu digantikan oleh acara hiburan remaja dan dewasa.Â
Dilansir laman Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), hasil kajian dari Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) menyatakan pada Mei 2018, jumlah acara anak hanya mencapai 40 program.
Jumlah ini mengalami penurunan dibanding program anak pada Mei 2014 yang berjumlah 48 program. Sementara itu, pada dekade 2000-an, yakni pada Mei 2009 ketika program anak masih wara-wiri di televisi, jumlahnya mencapai 68 program. Jumlah program anak di lembaga penyiaran dari tahun 2009 hingga tahun 2018 ini turun hingga 41 persen.
Kenapa jam tayang anak berkarakter mesti ditambah
Jumlah potensi penonton anak yang sebanding dengan sepertiga jumlah penduduk Indonesia, acara anak anak saat ini dianggap masih kurang. Malah, mereka seakan dipaksa menikmati acara-acara yang tidak sesuai dengan umur lantaran minimnya pilihan acara anak. Padahal, jumlah penonton televisi untuk anak pada kategori Gen Z mencapai 95 persen dengan waktu menonton rata-rata 5 jam 18 menit per harinya.
Orangtua bisa kalah disaat anak sedang menonton siaran kartun, apalagi jika kartunnya berseri, maka orangtua hanya bisa mengelus dada, atau bila perlu satu rumah punya televisi lebih dari satu, sehingga tontonan anak dengan pilihannya dan tontonan orangtua dengan kesukaanya.Â
Dikutip dalam lifestyle.kompas.com dijelaskan disana Setiap hari berbagai stasiun televisi menanyangkan film dan sinetron yang penuh dengan adegan kekerasan dan mistik, juga liputan bencana alam, kerusuhan, aksi teroris, penculikan, kriminalitas atau kejahatan mengerikan yang ditonton oleh keluarga termasuk anak-anak.
Dampaknya adalah Pada anak-anak yang umumnya selalu meniru apa yang mereka lihat, tidak tertutup kemungkinan perilaku dan sikap mereka akan meniru kekerasan yang ditayangkan di televisi yang mereka tonton.
Perlu ada pengawasan dari orangtua ketika buah hati kesayangannya menonton media televisi yang bernuansa kekerasan akibatnya daya ingat anak akan cenderung negatif dibandingkan positipnya, sudah saatnya peran orangtua untuk melindung8 bahaya kekerasan yang akan menimpa buah hatinya dengan cara meniru adegan yang ada di televisi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H