Sebuah pesan moral yang menggelitik di masyarakat, mungkin efek domino yang terjadi sehingga warga akhirnya memasang pesan ini, karena tidak efektifnya regulasi peraturan daerah terhadap masalah sampah.Â
Penulis menulia ini terinspirasi ketika membaca status sahabat penulis, Seorang Fasilitator Nasional dan Ahli pada Ilmu Komunikasi  yakni Risang Rimbatmaja, pagi ini dia membuat status yang cukup menggelitik di dinding facebooknya, " Coba nanti kita lihat hasilnya. Apakah pesan seperti ini (digambar) lebih efektif dibanding denda sekian ratus ribu versi perda? "
Penulis mencoba menerjemahkan kegundahan warga terhadap masalah sampah, dan sangat takjum bercampur penasaran bagi penulis adalah kenapa kok warga enggan buang sampah ditempatnya, bahkan terkesan kaya terorganisasi dalam membuang sampah sembarangan.
Sangat terlihat dengan jelas, era 90an warga kalau buang sampah biasanya di belakang rumah atau di pekarangan orang lain yang dianggap tak bertuan, jika ada yang mengawali buang disitu dan dibiarkan tidak ada yang mengingatkan, maka akan jadi sampah yang menggunung, warga sekitarnya baru protes jika dirumahnya sudah bau busuk dan banyak lalat hijau.Â
Lingkungan sekitar tak berdaya, karena fungsi lingkungan dalam hal ini acuh tak acuh, warga hidup dibiarkan mandiri dan tidak dibuatkan aturan bersama, ada hak dan kewajiban sebagai warga bersama di lingkungan yakni bagaimana lingkungan bisa tertib, sehat dan aman.Â
Penulia berasumsi jika di tempat lingkungan ada sampah menggunung dan dibiarkan saja, dipastikan fungsi kepengurusan DT dan RW nya tidak berjalan efektif atau hanya sebagai simbol saja, warga acuh tak acuh dengan tetangganya. Mereka tidak saling kenal dan jarang ada pertemuan antar warga.Â
Kemungkinan kedua adalah, jarak antara rumah dengan tempat yang dibuang itu jauh dari pemukiman, bau hanya di lokal saja atau paling cuma lewat saja, sehingga wajR jika ada warga bukan penduduk setempat buang sampah di malam hari atau dini hari bisa dengan sepeda motor atau becak.Â
Anehnya warga hanya bisa melihat saja, tidak tahu harus kemana mengadu dan bagaimana mencari solusinya.Â
Kemungkinan ketiga adalah tempat yang dibuang adalah di lokasi tanah lepe-lepe atau tanah milik negara, dianggap tak bertuan karena aparat negara pun tidak setiap hari akan lewat sehingga mereka pun cuek saja untuk buang sampah rutin dan tidak ada yang mengingatkan.Â
Sekarang warga mulai berbenah dengan pesan-pesan moral, karena mereka tentu jenuh dengan ratusan perda tapi sanhsi yang diberikan tidak efektif. Kalaupun ada belum ada sejarah tercatat bagi warga yang membuang sampah kemudian masul pasal denda atau pasal tipiring. Jadi bagi mereka yang suka buang sampah sembarang, semakin bertaring dan menganggap lumrah atau hal biasa.Â
Bahkan di tempat tinggal penulis, ada juga warga yang gemar membuang sampah di sungai karena sungainya mengalir,anehnya lagi ada yang membuang bantal atau kasur di sungai karena dianggap kasur dan bantal sebagai tempat tidurnya keluarga yang mungkin punya riwayat penyakit dan mereka sudah meninggal dunia, jika diwariskan tidak mau dipakai, mau dibakar, tidak punya lahan untuk membakarnya.Â