Jum'at (23/3) kemarin, Menteri Susi menaiki paddle boardnya dan ikut memanen rumput laut hasil budidaya masyarakat di kampung Sahare Distrik-Fak Timur, Papua Barat. Panen tersebut, dilakukan pada lahan seluas 4 hektar yg merupakan hasil dukungan program KKP & Pemda setempat.Â
Bu Menteri Susi juga menyampaikan bahwa perairan di tanah Papua luar biasa kaya. Ia berpesan kepada masyarakat untuk menjaga kelestarian sumber daya laut, dan memanfaatkan dengan cara bertanggung jawab dan tidak merusak demi anak cucu kita.Â
Sebuah langkah yang cukup bernilai ekonomis tentunya, dimana para warga di wilayah tersebut di latih cara berbudidaya rumput laut, ini artinya alam yang ada dimanfaatkan secara optimal dan bisa meningkatkan pendapatan lebih bagi masyarakat di kampung sahare ini.Â
Tidak semua daerah berpotensi untuk ditanami rumput jenis cottoni ini, dari sisi pembiayaan tidaklah mahal, namun dari sisi hasil budidaya ini nantinya bisa di olah dengan ilmu pengolahan hasil produk ini yang bernilai ekonomis.
Rumput cottoni dengan gracilaria sangatlah berbeda. Jika cottoni bisa jadi bahan baku agar-agar atau campuran untuk industri makanan yang membutuhkan bahan rumput laut ini, juga beberapa olahan cottoni bisa untuk sirup, permen rumput laut dan bisa untuk campuran di industri pengolahan seperti bakso, kerupuk, dll.Â
Kalau rumput laut gracilaria, butuh perawatan yang sangat ekstra tinggi, hidup bisa di tambak yang sedikit berpasir, salinitasnya juga sesuai, dan bibit rumput lautnya bisa ditebarkan bebas di dalam tambak dengan sistem tumpangsari, bisa berbudidaya bandeng atau ikan mujair lainnya.Â
Rumput laut jenis gracilaria bisa untuk bahan cosmetika, warnya rumput ini jika dipanen dan dikeringkan sedikit kehitam-hitaman, jika dikirim ke pabrik dalam bentuk kering rumput laut gracilaria dipacking lalu dikirim ke pabrik. Sampai di pabrik nanti melalui proses pengolahannya bisa berubah untuk bahan kosmetika yang cukup bernilai ekonomis.Â
Pasar rumput laut bisa ekspor juga bisa impor. Sudah banyak pabrik rumput laut yang menerima produk ini, baik itu jenis cottoni maupun gracilaria. Hanya saja harga belum bisa stabil. Fluktuatif masih mendominasi pada aspek harga jualnya.Â
Faktor transportasi dan proses pengeringan ini memang sangat bergantung dengan sinar matahari, pengeringan semua rumput laut paling baik dan hasilnya memuaskan adalah dengan tenaga matahari. Jika menggunakan tenaga mesin pemanas jauh hasilnya dan rendemen keringnua airnya pun sangatlah berbeda hasilnya.Â
Kalau pakai tenaga mesin listrik atau genset itu mahal di ongkos, dan bagi para petani rumput laut jelas tidak sanggup jika saat panen raya, situasi alam hujan maka akan menjadi kendala yang berarti. Tenaga mesin berpotensi hasil keringnya akan ada jamur saat disimpan untuk beberapa hari, makanya jika sinar mataharinya panas maja hasil pengeringannya akan berkualitas.Â
Kendala budidaya juga bisa terjadi ketikadi rumput gracilaria, yakni saat salinitas airnya tidak terjaga, saat air tawarnya banyak maka akan muncul hama seperti rumput ganggang dan juga rumput liar termasuk tingkat kesehatan dan perawatan tambaknya.Â
Kalau jenis cottoni maka aspek air jelas stabil karena di laut, hanya kendalanya adalah hewan liar yang rutin menkonsumsi rumput ini. Selain itu kendala mobilisasi saat panenya yang membutuhkan banyak personil untuk memanennya.Â
Untuk gracilaria sentra rumput lautnya ada di Brebes Jawa Tengah bagian utara, Â ad di Kabupaten paloppo, mamuju, maros, sedangkan jenis cottoni lebih dominan diluar jawa dibandingkan dengan di laut jawa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H