Ketiga, sebagian besar nelayan menangani (handling) ikan hasil tangkapan selama di kapal sampai di tempat pendaratan ikan (pelabuhan perikanan) belum mengikuti cara-cara penanganan yang baik (Best Handling Practices). Â Akibatnya, mutu ikan begitu sampai di tempat pendaratan sudah menurun atau bahkan busuk, sehingga harga jualnya murah. Â Hal ini disebabkan karena kebanyakan kapal ikan tidak dilengkapi dengan palkah pendingin atau wadah (container) yang diberi es untuk menyimpan ikan agar tetap segar. Â
Selain itu, banyak nelayan tardisional yang beranggapan bahwa membawa es berarti menambah biaya melaut, apalagi kalau tidak dapat ikan atau hasil tangkapnnya sedikit, atau esnya mencair sebelum mendapatkan ikan, maka rugi besar.Â
Keempat, hampir semua nelayan tradisional mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pemukiman nelayan, tempat pendaratan ikan (TPI), atau pelabuhan perikanan pantai (PPP) yang tidak dilengkapi dengan pabrik es atau cold storage dan tidak memenuhi persyaratan standar sanitasi dan higienis. Â Sehingga, semakin memperburuk mutu ikan yang berimplikasi terhadap harga jual ikan. Â
Kelima, di masa paceklik dan kondisi laut sedang berombak besar atau angin kencang (badai), antara 2 sampai 4 bulan dalam setahun, nelayan tidak bisa melaut untuk menangkap ikan. Bagi nelayan dan anggota keluarganya yang tidak memiliki usaha lain, saat-saat paceklik seperti ini praktis tidak ada income, sehingga mereka terpaksa pinjam uang dari para rentenir yang biasanya mematok bunga yang luar biasa tinggi, rata-rata 5 persen per bulan.
Di sinilah, awal nelayan mulai terjebak dalam 'lingkaran setan kemiskinan', karena pendapatan yang ia peroleh di musim banyak ikan, selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari juga dikeluarkan untuk bayar utang sekaligus bunganya.Â
Keenam, pada musim paceklik, harga jual ikan di lokasi pendaratan ikan biasanya tinggi (mahal), tetapi begitu musim ikan (peak season) tiba, harga jual mendadak turun drastis. Â Lebih dari itu, nelayan pada umumnya menjual ikan kepada padagang perantara (middle-man), tidak bisa langsung kepada konsumen terakhir. Sehingga, harga jual ikan yang mereka peroleh jauh lebih murah dari pada harga ikan yang sama di tangan konsumen terakhir. Â Padahal, jumlah pedagang perantara itu umumnya lebih dari dua tingkatan.Â
Ketujuh, kebanyakan nelayan membeli jaring, alat tangkap lain, BBM, beras, dan bahan perbekalan lainnya untuk melaut juga dari pedagang perantara yang jumlahnya bisa lebih dari dua tingkatan, tidak langsung dari pabrik atau produsen pertama. Sehingga, nelayan membeli semua sarana produksi perikanan tersebut dengan harga yang lebih mahal ketimbang harga sebenarnya di tingkat pabrik. Kondisi ini tentu membuat biaya melaut lebih besar dari pada yang semestinya.
Kondisi sekarang ditambah dengan terus meningkatknya harga-harga kebutuhan pokok (pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi), maka pengeluaran nelayan pun terus membesar dari tahun ke tahun.Â
Wajar jika sampai saat ini nelayan, terutama yang tradisional, masih sangat sulit atau tidak bisa mendapatkan pinjaman kredit dari perbankan. Â Bayangkan, kapal ikan yang terbuat dari kayu, sebesar apapun, belum bisa dijadikan sebagai agunan. Â Prasarana pendaratan ikan atau pelabuhan yang memenuhi persyaratan santitasi dan higienis yang dilengkapi dengan industri hilir (pengolahan hasil perikanan) juga masih terbatas bagi nelayan. Â
Harga jual ikan yang sangat fluktuatif (tak menentu) juga belum secara tuntas diatasi oleh pemerintah. Alih-alih ikan impor membanjiri pasar domestik kita dalam tiga tahun terakhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H