Membaca judul saja mungkin para pembaca jadi penasaran, seperti apa sih kehidupan kampung nelayan sebenarnya, betulkah nenek moyangku memang seorang pelaut seperti lirik lagu yang dinyanyikan disekolah pendidikan anak usia dini, siapa saja suku di Indonesia yang dominan mendominasi laut kita ini, bagaimana kehidupan perempuan dan anaknya yang ditinggal suaminya untuk melaut (miyang).Â
Inilah yang mendasari tulisan ke 146 di kompasiana, penulis sengaja mengupas sebagian informasi yang dikumpulkan seputar kampung nelayan di nusantara ini.Â
Ada 5 suku hebat yang menghuni kampung-kampung nelayan di nusantara ini, mereka berasal dari suku bugis, suku bajo, suku biak, suku bawean, suku jawa dan suku madura.Â
Wajar jika dibeberapa kampung ini terjadi pertalian atau percampuran darah karena ada yang faktor pernikahan antar suku tersebut atau ada juga yang  berlayar ke kampung nelayan yang lain, ada lagi yang membuka kampung baru dan mereka berpindah-pindah ke lokasi yang dipilihnya.Â
Kampung nelayan di luar jawa seperti di jambi, kalimantan, sulawesi maupun pulau sumatera tampak terlihat rumahnya berbentuk panggung, perkampungan mereka saling berdekatan dengan bahan material rumahnya semuanya dari kayu, ada kayu ulin, kayu trembesi dan ragam kayu lainnya, bila kayu ini ditaruh permukaan air laut maka akan bertamabh kuat hasilnya, itulah hebatnya jenis kayu ini.Â
Saat musim pancaroba atau pun saat air laut rob terkadang air bisa masuk ke lantai, dan ini dianggap hal yang biasa, dinding bisa mengelupas dan berkapur karena intrusi air laut sehingga sekuat dinding rumah mereka tidak bisa kuat seperti dinding rumah dipegunungan.Â
Di kampung nelayan, perahu menjadi alat transportasi untuk mencari penghasilan, karena alat ini menjadi modal utama untuk menghidupi nafkah ekonominya sehari-hari. Bahkan sekarang ini beberapa pemilik modal (juragan) kapal sengaja menginvestasikan modalnya ratusan juta untuk mendapatkan keuntungan saat nanti kapalnya sudah kembali bersandar.Â
Mereka mencari anak nelayan dan juga karyawan atau buruh, kata orang Brebes mengenalnya dengan istilah bidak, mereka di kasih uang muka sebagai tanda jadi ikut kapal pencari ikan.Â
Kehidupan nelayan rentan dengan air bersih, kenapa penulis katakan demikian, iya untuk mendapatkan air bersih mereka harus membayar air PAM biasanya beli beberapa tengki Mobil PDAM, atau ada pemilik kendaraan L300 menjual dengan derigen dan dijual per derigen sesuai dengan harga pada umumnya ditempat tersebut.Â
Kamar mandi umum dan sanitasinya langsung dibuang ke hilir sungai bahkan ada yang langsung buang hajat di muara sungai atau di muara air laut, jarang ke pembuangan khusus atau dikasih septitank untuk BABs.Â
Di kampung nelayan seorang anak kadang diminta sama keluarganya untuk membantu menjual kue, memilih udang atau bersihkan hasil ikan laut, kadang juga disuruh ikut sama orangtua untuk berlayar, sehingga nasib pendidikan dan kesehatannya menjadi persoalan yang cukup serius, anak menjadi putus sekolah, tidak lanjut sekolah dan terkadang tidak sekolah.Â
Saat suaminya kembali berlayar dengan perahunya, berbulan-bulan mereka tidak kembali, perempuan nelayan pun terkadang harus pinjam diwarung tetangga, kondisi ini dimaklumi bagi para pemilik toko sembako, terkadang saat anak disekolahkan, kemudian anak membutuhkan dana untuk pembiayaan atau uang living costnya, mereka pun harus ekstra mencari pinjaman ditempat yang lain. Model gali lobang tutup lobang pun dilakukan, akan terbayarkan saat suaminya kembali dari laut ke kampungnya.Â
Untuk mengisi kehidupannya, para perempuan nelayan ini juga mencari pendapatan tambahan, dengan tujuan untuk menutupi beban hidup yang begitu banyak, mereka akan bertambah pinjamannya jika ada beban tambahan pada keluarganya karena anak dikampung nelayan relatif banyak, memiliki 2 anak saja hampir jarang, rata-rata lebih dari dua anak.Â
Lewat 5 suku hebat inilah, Indonesia terkenal di segala penjuru dunia, sebagai negara maritim yang tangguh, belum lagi dengan kapal pinisi yang cuku terkenal sejak abad 14 sudah bertengger menuju P.Madagaskar Afrika sebuah perjalanan dan kehidupan pelaut yang berani dan tangguh.Â
Semoga sebaran suku-suku yang ada dinusantara ini dan mereka telah menghuni di sepanjang muara sungai dan laut ini menjadi kampung yang bersih, tidak kumuh dan penghasilan mereka tidak mengalami kesulitan karena kebijakan atau kelangkaan hasil ikan di laut ini. Muncul obyek wisata baru kampung nelayan yang memiliki daya saing secara kompetitif dan komparatif.
Tuhan masih memberikan nasib terbaiknya  baik bagi nelayan kita. Bersyukurlah bagi nelayan nusantara ini, karena stok ikan masih banyak dan saat diberikan rejeki bertambah maka akan ditambahkan rejeki kita nantinya. Amin.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H