Anda akan merasa heran jika dalam satu meja  antara Ayah dan Anak bisa rebutan handphone androidnya, Ayahnya ingin berselancar di media sosial, Anaknya ingin bermain game online yang sudah diinstall di handphone Ayahnya. Ayahnya tidak mau membelikan handphone buat anaknya, dikarenakan masih kecil, bila dibelikan nanti akan berpengaruh pada sikap dan karakter anak itu sendiri.Â
Walhasil tiap hari anaknya merengek-rengek minta agar saat Ayahnya pulang langsung handphonenya diambil, jika Ayahnya tidak boleh, maka anaknya lebih baik menangis hingga beberapa menit sampai hati kedua orangtuanya luluh dan menyerahkan handphone tersebut kepada anaknya.Â
Bila anak ini sudah paham dengan akses internet dan paham cara menjalankan software youtobe atau game online, maka siap-siap saja, orangtua harus memilih sikap, anaknya dibiarkan bermain game tersebut, atau ada jeda saatnya belajar dan saatnya bermain handphone Ayahnya.Â
Coba bayangkan jika orangtuanya mempunyai anak empat dan semuanya haus dengan informasi apalagi lihat tetangganya ada yang bermain game secara bebas di handphone Ayahnya, dipastikan anak tersebut akan bertanya dengan kedua orangtuaya, " Ayah kenapa teman saya, kok banyak game permainan di hape nya, kok di handphone Ayah tidak ada game," ungkap anaknya kepada Ayahnya.Â
Kontan saja Ayahnya harus kasih alasan yang tepat agar anaknya tidak tersinggung, " Nak, Handphone Ayah itu untuk kerja, jadi khawatir ditaruh game online, dikira nanti saat kerja Ayah, dianggap teman cuma main game ajah," tutur Ayah kepada Anaknya.Â
Era digital sekarang, benar-benar orangtua harus ekstra pengawasan terhadap anaknya, tuntutan anak semakin tinggi, mereka meminta bahkan berani merengek-rengek demi mendapatkan handphone baru. Bila dibelikan yang baru dengan memory atau kapasitas kecil pun suatu saat akan ujicoba atau melihat handpone kedua orangtuanya, dan saat handphone orangtuanya lebih bagus maka anak akan meminta kepada orangtua untuk ditukar handphonenya.Â
Tren sekarang anak memang ingin perubahan yang cepat melalui akses informasi teknologi, semakin lama mrreka bahkan akan browsing sendiri karena baginya mestinya sangat penasaran, semakim banyak mereka browsing dengan browsing materi yang positif maka menjadikan anak ini semakin kreatif dan mudah memahami informasi atas perkembangan dunia secara cepat. Â
Semua berita yang ada  di dalam internet ditelan mentah-mentah, bayangkan saja bagaimana jika pendidikan kedua orangtuanya itu lulusan SD atau tidak tamat, maka anak juga akan bertanya kepada teman sekolahnya, saat teman yang diajak diskusi itu memberikan jawaban dengan negatif melalui link porno, maka apa yang terjadi dalam beberapa hari kemudian, bahaya mengancam anak ini.Â
Satu sisi anak ini dalam kondisi pubersitas awal, sedangkan dimasa-masa ini kecenderungan anak akan cepat meniru dan juga mengaplikasikan apa yang dilihat, di sinilah peran orangtua untuk mau belajat dan mengamati setiap perkembangan anaknya sendiri, pembekalan karakter secara dini dan pembekalan agama menjadi modal kuat bagi anaknya agar tidak terjerumus ke pergaulan yang tidak pantas dilakukan seorang anak diusianya.Â
Semakin canggihnya teknologi, anak biasanya enggan beraktivitas sosial bahkan kepekaan sosial menjadi rendah, mereka merasa sudah cukup berkomunikasi via handphone saja untuk minta informasi, bahkan untuk mengucapkan minta maaf pun harusnya datang ke temannya karena harus bersalaman, sekarang cukup lewat medsos mereka lakukan.Â
Anak yang dididik di pondok pesantren dengan kebijakan tidak boleh bawa handphone sama yang dibebaskan bawa hamdphone dipastikan hasilnya berbeda. Mestinya selama pendidikan di sekolah dan pondok pesantren ada larangan menggunakan handphone, orangtua yang ingin berkomunikasi bisa lewat wali kelasnya atau pengurus pondoknya, atau bisa telpon langsung ke pihak pengasuh atau pengelola ponpesnya atas perkembangan anaknya.Â
Handphone sekarang sudah menjadi gaya hidup yang luar biasa, merubah semua sikap anak dan juga kedua orangtuanya, bahkan handphone bisa membikin anak itu malas belajar dan juga malas jika dikasih tugas sekolah dimana harus mandiri mencafi referensi bukunya.Â
Mereka lebih cenderung mencari sumber di internet, jika harus mengcopy paste mungkin dilakukannya, filter belajar perubahan bisa dilakukan pafa dosen atau gurunya yang memberi tugas. Jika tegas bahwa tindakan plagiasi utu tidak dibenarkan, maka pelajar atau mahasiswa ini harus diberikan sanksi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H