Penulis merasakan kekaguman dengan perempuan hebat Desa Kayupuring, Desa Yosorejo, Desa Tlogohendro, dan Desa Kasimpar Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, pasalnya tiap hari, menjelang subuh hingga fajar menyingsing, para perempuan hebat ini menyusuri hutan lindung dan hutan rakyat untuk mencari rumput diladangnya.Â
Mereka membawa sebilah cengkrong untuk mengambil rumput yang hijau dan dibawanya dengan digendong, butuh waktu berjalan dari rumahnya ke hutan kurang lebih berkisar 15 menit hingga 30 menit, mereka berjalan kaki dengan posisi jalan naik turun, namun dengan semangat kerja keras dan rasa tanggungjawabnya, yakni merawat sapi (bagi hasil), Â perjuangan seperti ini tetap dilakukan, bahkan bisa turun temurun.
Saat masuk waktu Ashar tiba, perempuan ini pun kembali mencari rumput di hutan, bila di rasa sudah cukup satu gendongan, maka segera pulang, dan rata-rata sebelum Magrib sudah berada di rumahnya. Aktivitas ini dilakukan walaupun dalam kondisi cuaca dingin, maupun hujan rintik-rintik. Sebuah pemandangan yang sangat berbeda dan saya rasakan dengan kondisi perempuan dikota atau perempuan sepanjang jalur pantura, apalagi di ibukota negara, Provinsi atau Kabupaten.Â
Mungkin mereka bila disuruh mencari rumput seperti yang dilakukan perempuan Petungkriyono, enggan untuk melakukannya, apalagi disuruh menggendong rumput tersebut, merasakan minder dan malu. Namun berbeda dengan semangat para perempuan dipegunungan ini, mereka merasakan bangga, dan bisa memberikan beban tambahan dalam mencukupi kebutuhan keluarganya.Â
Kaget lagi, ketika penulis menyusuri jalan di Desa Kayupuring sekitar sungai tersebut, ada banyak perempuan berumur, menggendong pasir dipundaknya, mereka mengambil pasir di sungai, dimasukan ke kantong ukuran 25 kg lalu digendong dan ditaruh di pinggir jalan provinsi, mereka sengaja melakukan itu untuk mencari sesuap nasi bahkan disaat ada pembangunan tempat peribadatan pun, mereka dengan ikhlas menyumbangkan pasir yang telah diambil, untuk diberikan sebagai amal jariyah mereka, karena tidak mampu untuk memberikan dalam bentuk uang, hanya bisa mencarikan pasir untuk kebutuhan pembangunan tempat ibadah tersebut.Â
Mungkin sepuluh tahun yang lalu, penulis dapat membayangkan betapa kompleknya anak-anak dipegunungan ini, jarak sekolah yang jauh dengan pemukiman, jalannya masih rusak, dan sedikit sekali yang mempunyai kendaraan bermotor, hanya dalam beberapa tahun yang lalu saja, sudah lumayan ramai karena anak-anak berangkat sekolah dengan kendaraan bermotor, jika menggunakan sepeda onthel sepertinya sangat kasihan karena medan yang cukup terjal dan naik turun bukit.Â
Penulis juga merasakan rasa bangganya, disamping mendampingi para perempuan muda untuk menulis, ternyata tulisan mereka sangat inspiratif, dan mampu mendorong desanya berkembang, mereka perempuan ini mau belajar menyusun berita di desanya, dan mampu mempublikasikan tulisannya di media jurnalis warga sekaligus media mainstream perihal kondisi daerahnya, agar para pembaca minimal mengetahui bahwa dipegunungan yang nang jauh dari kota pekalongan ini, ada banyak potensi yang perlu diperhatikan dan dipertahankan. Â
Bumi Petungkriyono alam dan pemandangannya sangat natural dan tidak ada duanya, begitu pula cuaca dan udaranya begitu sejuk dan menyejukan, ini harus dilestarikan, jangan sampai ada makhluk yang srakah dan ingin babat alas demi mencari keuntungan sesaat, begitu pula dengan ketersediaan sarana dan prasarana, walaupun ada beberapa daerah yang tidak terkoneksi dengan sinyal pemancar telekomunikasi, mudah-mudahan ke depan pemerintah Kabupaten Pekalongan, mau membuat gebrakan agar sumbatan informasi dan komunikasi pada seluler terselesaikan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H