Hari ini saya mulai dengan cukup terlambat. Ya, kemarin saya tidur cukup larut, kurang lebih setengah 3 pagi. Namun di balik telat tidurnya saya tadi malam ada hal menarik yang baru mulai saya sadari pagi ini.
Tadi malam saya benar-benar tidak produktif sama sekali. Biasanya saya menghabiskan waktu sebelum tidur untuk menulis sesuatu yang akan dipublish keesokan harinya atau membaca berbagai macam buku, majalah, atau bahkan artikel.Â
Malam itu saya bener-bener gak ngapa-ngapain. Bahkan melirik video YouTube atau menonton film dari Netflix pun tidak. Handphone saya pun saya pinggirkan. Jadi hampir semalaman itu saya hanya bengong layaknya sapi ompong yang menunggu sang surya untuk bangkit.
Tetapi memang kejadian malam itu bukan tanpa alasan. Tadi malam berusaha untuk menahan rasa pegal di sekitaran pinggang saya dan di beberapa titik pergelangan kaki dan tangan.Â
Entah apa penyebab medisnya, namun saya mengetahui satu hal. Kemarin saya ikut membantu tukang-tukang di rumah untuk merenovasi rumah saya.Â
Saya membantu mengangkat adonan cor dari bawah ke lantai dua. Memang wajar untuk seorang yang tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan pertukangan untuk merasa sedikit encok setelah mencoba membantu para tukang untuk memuluskan pekerjaannya.
Alhamdullilah, pagi ini saya sudah merasa jauh lebih baikan. Meski sedikit terlambat saya tetap memulai hari dengan biasa. Ditemani kopi dan pisang goreng "andalan gue", saya pun mulai merefresh pikiran saya agar dapat berpikir tanpa rasa kantuk. Slurppp, ngopi dulu omm biar greget, hehehe....
Di tengah gigitan saya terhadap pisang pagata goreng ala Manado yang sedang saya nikmati pagi ini, saya mulai berpikir dan menanyakan sesuatu, "Bagaimana dengan nasib tukang-tukang itu yaa? Mereka bekerja tidak dengan safety gear yang lengkap, mengandalkan kekuatan fisik di tengah terik matahari Bekasi yang gersangnya naudzubillah, dan naik ke atap rumah dengan risiko yang sangat tinggi. Sudah begitu, pekerjaan ini masih dipandang sebelah mata oleh orang Indonesia".
Lantas bagaimana bayarannya? 200 ribu untuk tukang dan 150 ribu untuk helpernya. Harga ini memang harga standar di sekitaran rumah saya. Tapi kalau saya yang harus melakukannya, hmm seperti tidak dehh.
Sebenarnya kalau kita melihat pekerjaan si tukang ini sangatlah kompleks sekali. Bukan hanya bertaruh nyawa, untuk menjadi seorang tukang mereka harus mengerti ilmu bangunan, kelistrikan, air dan pipa, serta besi dan perkayuan.Â
Saya melihat sendiri bagaimana mereka menempatkan kusen di posisi yang tepat dengan tingkat presisi yang tinggi.Â
Banyak alat-alat sederhana seperti selang air, mistar, dan meteran yang digunakan agar supaya kusen yang dipasang itu sejajar dengan bata dan semen yang akan ditempatkan di sisi kusen itu. Hal itu sulit kawan-kawan, butuh pengalaman dan jam terbang yang tinggi.
Lingkungan kerjanya pun menurut saya tidak sehat. Para tukang yang memakai peralatan seadanya ini harus bekerja di antara debu-debu hasil bongkaran serta puing-puing yang mungkin mengandung paku di dalamnya.Â
Coba bayangkan menghirup debu bongkaran dalam situasi yang panas di bawah terik matahari langsung, mengangkat puing-puing ini dengan hanya beralaskan sendal jepit, serta naik keatap rumah tanpa alat yang aman? Taruhannya badan bos. Hebatnya lagi semua itu mereka lakukan dengan semangat yang tinggi tanpa mengeluh.
In the name of profit and efficiency, banyak standar keamanan yang diabaikan sehingga mengancam si pekerja itu sendiri. Maka itu wajar bila hal ini membuat kesejahteraan pekerja pun selalu dalam kondisi yang minim.Â
Coba kita lihat beberapa contoh tentang abainya kita tentang keselamatan pekerja. Pada November 2017 terjadi ledakan di pabrik petasan di Kosambi, Tangerang yang menewaskan kurang lebih 50 orang pekerja.Â
Penyebab hilangnya nyawa 50 manusia malang ini sebenarnya bukan karena ledakannya, tapi karena tidak adanya emergency exit untuk keluar dari pabrik yang menyebabkan angka kematian cukup tinggi.
Dari titik ini, saya mencoba untuk merefresh memori saya pada waktu saya tinggal di Belanda dulu. Saya ingat, teman saya seorang bule Jerman waktu itu ingin memperbaiki atap rumahnya.Â
Untuk itu, kami mencoba untuk memanggil tukang. Di sana, tukang-tukang itu harus Anda harus booking jauh-jauh hari karena mereka juga memiliki banyak orderan.Â
Selang 5 hari, para tukang datang dengan truk berbelalai yang memungkinkan si tukang untuk naik dengan aman. Selain itu, protective gear yang muktahir seperti mask dan helm juga dikenakan.Â
Tidak sampai 2 jam semua teratasi. Bayarannya? 500 Euro! Bagaimana, mantap bukan? Di sana, untuk benerin atap saja biayanya hampir 9 juta Rupiah. Dari 500 ini si pekerja mendapatkan kurang lebih 200.
Kaget melihat tagihan sebesar itu saya mulai bertanya pada teman saya apa itu harga yang wajar. Dia menjawab, "Yeah its actually a fair price" yang berarti itu harga yang wajar.Â
Ia menambahkan bahwa pekerjaan pertukangan di Eropa itu selalu mendapatkan gaji yang sangat tinggi, mengapa? Karena hanya sedikit orang yang mau kerja begitu, bayangkan kita harus booking jauh-jauh hari untuk bisa memperolehnya.Â
Hal ini dikarenakan orang Eropa memandang pekerjaan pertukangan itu sebagai pekerjaan yang dekat dengan kematian. Selain itu, pekerjaan tukang juga membutuhkan semacam sertifikasi yang isinya bahwa para tukang tersebut mampu bekerja dengan mengutamakan aspek keselamatan dalam bekerja.
Harusnya dari titik ini kita patut bertanya-tanya. Di zaman 4.0 ini tidak mungkin semuanya kita alihkan ke industri kreatif, kita tetap perlu tukang sampai kapanpun.Â
Ini hanya persoalan bagaimana kita menilai pekerjaan mereka yang bekerja bertaruh nyawa. Apa memang nyawa di Indonesia "murah harganya" tidak seperti di Eropa? Jadi sampai kapan para tukang ini kita marginalkan?
Bagi saya ini merupakan masalah cara pandang kita terhadap suatu pekerjaan. Masyarakat kita kurang dalam menilai pekerjaan-pekerjaan yang notabenenya menyandang kata tukang di dalamnya. Kita lebih mengapresiasi tinggi seorang manager atau direktur. Well, boleh-boleh saja.Â
Manager dan Direktur juga bekerja atas keahlian yang mereka miliki dan kita wajib menilai itu dengan upah yang tinggi. Tapi ingat, di sisi lain para pekerja Blue Collar ini sehari-hari bekerja menantang maut dan itu seharusnya kita nilai juga dengan apreasiasi yang tinggi.
Anyway, gara-gara memikirkan ini hari ini saya putuskan untuk membuat syukuran kecil dengan para tukang. Tujuannya bukan pada saya, tetapi untuk para tukang itu yang selama ini bekerja dengan luar biasa dan mau bertaruh nyawa dan badan untuk keberhasilan pekerjaanya.Â
Tidak hanya itu, saya akan membagikan beberapa baju saya yang masih bagus untuk mereka. Memang tidak seberapa mungkin, tetapi itu mungkin boleh menjadi titik balik saya untuk memperhatikan mereka lebih dalam lagi. Semoga Anda-Anda yang melihat tulisan ini juga mau untuk berlaku demikian.
Akhirnya saya ingin merujuk pada satu frasa yang sukai "Yang Penting Halal". Tukang merupakan pekerjaan yang mulia, sama mulianya dengan direktur, manager, pedangang grosir, atau pejabat. Kontribusi mereka sangatlah besar bagi kemajuan bangsa ke depan.Â
Pekerjaan yang sangat vital dan halal ini patut kita nilai lebih tinggi lagi. Tanpa kerelaan seorang tukang mempertaruhkan nyawa, siapa yang akan membangun infrastruktur? Inilah saatnya kita lebih aware lagi terhadap sesama.
Untuk para tukang di manapun Anda berada, "Lo memang terbaik!! The Bestlah pokoknya! Jangan lupa selamat! keluarga menunggu dirumah!!!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H