Mohon tunggu...
Rahmat Ars
Rahmat Ars Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Papa Minta Saham Mahal dalam Segala Aspek

20 November 2015   17:09 Diperbarui: 20 November 2015   17:58 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekacauan yang ditimbulkan Setya Novanto dan Sudirman Said, benar-benar luar biasa. Kasus Setya Novanto jika dicermati lebih jauh tidak hanya mengungkapkan permainan kotor mafia kontrak "papa minta saham" tetapi juga menampilkan wajah asli betapa rumit, lamban, dan tidak terkoordinirnya tindakan yudikatif dalam menangani kasus ini.

Lamban dalam artian MKD dan yudikatif (KPK, Polisi dan Jaksa) tidak bekerja lebih cepat. Kasus "papa minta saham" telah menjadi isu nasional, yang menghadirkan kehebohan dan kegaduhan pada seluruh lapisan masyarakat. Kasus papa minta saham perlu mendapat perhatian dan pelakuan khusus, sebab kasus ini adalah kasus luar biasa, sebab melibatkan nama-nama pejabat paling berpengaruh di negeri ini.

Dari awal KPK, Polisi, dan Jaksa harusnya mengambil tindakan cepat, bukan menunggu datangnya aduan. Mengapa harus bertindak cepat tidak menunggu finalisasi kerja MKD? Kasus papa minta saham sudah menjadi isu nasional dan menimbulkan kegaduhan, bukti awal berupa transkip percakapan juga tersedia, jadi baik KPK, Polisi, dan Jaksa, memiliki alasan untuk memulai dan memiliki bukti awal yang dapat dijadikan sebagai pijakan pertama, tinggal dikembangkan.

Yduikatif tidak perlu menunggu hasil kerja MKD, sebab MKD hanya bisa menilai dan menjatuhkan sanksi dari segi etika, bukan dari segi hukum. Sanksi hukum hanya dapat dieksekusi oleh lembaga yudikatif. Lagipula jika Yudikatif dapat membuktikan pelanggaran hukun SN maka kerja MKD tidak berarti apa-apa lagi sebab akan gugur dengan sendirinya. Logikanya, pelanggaran hukum sudah pasti juga termasuk pelanggaran etika.

KPK malah menunjukkan sinyal ingin menarik diri dan tidak terlibat. Sinyal ini dapat terbaca melalui pernyataan salah satu pimpinan KPK yang menyatakan bahwa Polri lebih memiliki kapasitas untuk mengusut kasus ini. Pernyataan yang sebenarnya tidak dapat dibenarkan. Lembaga yudikatif, memiliki kapasitas atau tidak tetap harus melakukan fungsinya sesuai dengan kemampuannya. Lembaga yudikatif tidak boleh berdiam diri melihat potensi pelanggaran hukum. Mampu atau tidak itu nomor kesekian, nomor pertama adalah kerja, lakukan dulu. Jangan melempar handuk sebelum fighting.

Selanjutnya kita patut ragu terhadap kinerja Polri mengusut kasus papa minta saham. Mengapa harus ragu? Coba sejenak kita tengok kembali apa yang terjadi beberapa waktu lalu. RJ Lino yang notabene hanya "ikan kecil" tidak dapat dieksekusi dengan cepat oleh kepolisian, padahal upaya polri mendapat dukungan dari pansus yang dibentuk oleh DPR. Setya Novanto adalah pimpinan lembaga tinggi negara, di backing partai, punya kekuasaan, dan segala hal yang dibutuhkan untuk balik melawan. Setya Novanto adalah "ikan kakap" bukan ikan kecil, karenanya kita patut ragu pada kemampuan pihak kepolisian.

Lantas bagaimana dengan kejaksaan? Silahkan menilai sendiri bagaimana kapasitas kejaksaan. Penilaian pribadi saya jika diranking kejaksaan jelas berada diurutan ketiga setelah dua lembaga sebelumnya. Jika saya atau mungkin kita semua ragu, lantas siapa yang harus kita percayai?

Jelas tidak ada pilihan lain selain ketiga lembaga yudikatif tadi, hanya saja sebagai masyarakat kita tidak boleh melepas dan membiarkan penanganan kasus tersebut pada lembaga yudikatif semata. Perlu pertisipasi, perlu dukungan dan tekanan dari masyarakat agar lembaga yudikatif mendapat suntikan moral dan tenaga dalam menjerat ikan kakap dimaksud.

Tarik ulur, saling harap, sikap melempar tanggung jawab, jelas merugikan warga masyarakat, dan memberi keuntungan dan peluang pada tersangka untuk menyiapkan pembelaan.

Mari kita tinggalkan persoalan penanganan hukumnya, mari kita lihat dimensi sosialnya. Kasus papa minta saham ternyata juga sangat mahal biayanya. Mahal dalam arti yang sesungguhnya dan mahal dalam artian khiasan. Pemberitaan, talk show dan debat yang tayang di TV selama tiga hari berturut-turut dibanjiri oleh pemberitaan Setya Novanto. Tayangan TV dibiayai oleh sponsor, jadi bisa Anda bayangkan berapa puluh/ ratus miliar uang yang harus dibayaarkan oleh sponsor/ masyarakat hanya untuk menyaksikan pemberitaan yang berulang-ulang terkait kasus papa minta saham.

Komentar dan pendapat pribadi juga membanjiri media sosial, masyarakat dengan cepat melupakan teror Paris setelah SS membuat aduan resmi pada MKD. Perdebatan, antar pelaku, pendukung lingkar dalam dan masyarakat juga sangat menguras pikiran emosi. Banyak waktu yang terbuang hanya sekedar untuk berkomentar dan menuliskan pendapat pribadi pada berbagai akun media sosial. Benar-benar mahal dan membuat lelah masyarakat khususnya pemerhati kasus papa minta saham. Papa minta sahan bahkan menjadi topik utama pemberitaan, karena besarnya perhatian masyarakat pada kasus ini.

Selanjutnya mari kita melangkah pada dimensi selanjutnya. Kasus papa minta pulsa ternyata juga harus dibayar mahal oleh pihak-pihak berkepentingan, khususnya partai dan anggota partai yang terlibat. Papa minta pulsa telah menghancurkan tatanan politik yang baru satu tahun sebelumnya terbentuk. Jelasnya KMP dan Prabowo tinggal kenangan. Saat ini yang berdiri di belakang SN hanya Fadli Zon (Gerindra), dan Fahri Hamzah (PKS). Golkar sendiri sepertinya sudah dapat menebak hasil akhirnya dan mmengambil sikap untuk tidak bertaruh dan tidak mengorbankan partai.

Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Ketua Umum Golkar (versi Munas Bali, afiliasi SN). Abu Rizal Bakri sudah menyatakan menyerahkan permasalahannya pada MKD. Sebuah langkah yang cukup bijak, mirip dengan apa yang dilakukan Surya Paloh, "melepas kader" untuk melindungi kepentingan yang lebih besar/ elektabilitas partai.

SN secara kontrofersial menduduki jabatan ketua DPR karena dukungan KMP yang penggerak utamanya adalah Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS, dkk. Walaupun tidak mewakili sikap paratai namun kader Demokrat dan PAN telah meninggalkan SN.

Selain menimbulkan kekacauan, juga mahal, sebab saat ini Golkar sedang bersiap-siap untuk melaporkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Di sisi lain Sudirman Said tentu sudah melakukan perhitungan yang matang sebelum melaporkan kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) ke Mahkamah  Kehormatan Dewan (MKD).

Banyak pengamat meyakini pelaporan kasus papa minta saham sudah mendapatkan dukungan dari partai politik pendukung pemerintah. Tidak ada dukungan gratis, tidak ada lobi yang tidak memerlukan dana.

Benar-benar sebuah perjuangan dan pertaruhan yang sangat mahal dan destruktif.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun