Jokowi adalah fenomena tapi itu dulu, tejadi pada masa awal kemunculannya sebagai walikota yang mampu mengalahkan incumbent dalam perebutan kursi 01 Jakarta.
Bahkan partai besar sekelas PDI-Perjuangan berani memingangnya untuk posisi RI 01. Melihat rekam jejaknya tentu Jokowi bukan figur sembarang. Bukan sembarang karena karena kemampun lobi dan pendekatan politiknya atau bukan sembarang karena ia sosok yang secara tidak sadar, kebetulan, dan beruntung karena dibesarkan oleh media.
Terima kasih dan rasa hormat harusnya ditunjukkan Jokowi pada PDI-Perjuangan (Megawati). Sayang hal in sepertinya ogah atau belum ditunjukkan oleh Jokowi hingga saat ini. Jokowi seolah ingin menjauhi lingkaran politik PDI-Perjuangan.Â
Tidak sekedar menjauh bahkan kini ia berani menampar sibanteng tepat di wajahnya. Mungkin karena tuntutan dan permintaan si banteng yang melewati batas dalam perspektif Jokowi atau karena perbedaan paham yang jelasnya Jokowi tidak lagi menunjukkan kemesraan dengan si banteng.
Coba kita tengok, saat lebaran idul fitri, karena ogah untuk bersilaturrahim dengan Megawati, Jokowi memutuskan untuk lebaran di Aceh, daerah yang notabene dibenci dan membenci Megawati karena memberlakukan operasi militer.
Budi Waseso yang merupakan orang kepercayaan PDI Perjuangan di lingkungan kepolisian, "dimutasi" / versi Budi Waseso sendiri naik jabatan. Jelas kerugian besar bagi Budi Waseso dan PDI perjuangan. Lingkup kerja dan instrument kepolisian lebih luas dari Badan narkotika nasional.
Jokowi adalah anak durhakan dalam pandangan ibunya, ia telah dibesarkan namun tidak mau mengikuti kehendak si ibu. "Mungkin" dalam perspektif Jokowi ia bukan petugas partai yang harus mengikuti kehendak partai melainkan pemegang kekuasaan yang harus mengedepankan kepentingan rakyat secara nasional bukan kepentingan partai.
Jika ada figur yang lebih menjual dibanding Jokowi tentu hanya masalah waktu bagi PDI Perjuangan untuk menendang Jokowi. Untungnya hingga saat ini belum ada kader PDI Perjuangan yang popularitasnya mampu sekedar mendekati Jokowi.
Artinya dalam pandangan partai Jokowi tidak lagi menjadi prioritas.
Lantas bagaimana dengan pandangna masyarakat terhadap Jokowi?
Indeks kepuasan masyarakat terus melorot dari mendekati 80% pada awal pemerintahannya hingga saat ini mendekati angka 50%. Dalam setahun turun sekitar 30% tentu bukan angka yang kecil.Â
Banyak faktor penyebab penurunan ini, masalah ekonomi yang tidak kunjung membaik, masalah penegakan hukum, masalah pemberantasan korupsi, kinerja menteri yang rendah bahkan tidak jelas membuat Jokowi menjadi sosok sentral dalam sorotan masyarakat.
Masalah hukum menjadi sorotan utama masyarakat, kriminalisasi KPK, pelemahan KPK sangat mengecewakan masyarakat. Jika tren seperti ini terus berlanjut maka bukan tidak mungkin masyarakt justru berbalik membenci dan mengkritisi Jokowi. Hal yang sedikit menolong Jokowi adalah kinerja DPR dan MPR (dianggap kelompok oposisi Jokowi) juga tidak menunjukkan kinerja memadai, apalagi setelah kunjungan kontroversial ketua dan wakil ketua MPR di Amerika.
Dari perspektif individu juga tidak ada sosok yang mampu menjadi lawan sepadan Jokowi. Saat ini praktis hanya Prabowo dan Rizal Ramli yang muncul dan dikenal secara luas.
Saat ini masyarakat perlu dan sedang mempertanyakan siapa sebenarnya Jokowi. Kapasitasnya sedang dipertanyakan apakah ia sosok pemimpin ideal yang benar-benar dibutuhkan masyarakat atau ia hanyalah sosok yang lahir secara prematur akibat kecerobohan pemberitaan media yang berlebihan.
Tersisa empat tahun lagi bagi partai (PDI Perjuangan) dan masyarakat untuk menilai dan menentukan bagaimana masa depan Jokowi selanjutnya.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H