“Jadi?” Tanya Pak Khaerul bingung.
“yah nggak jadi apa-apa,” jawab Inayah sambil tersenyum tipis.
Wajah serius Pak Khaerul melihat senyum putrinya seketika mulai hilang digantikan wajah berseri-seri yang dihiasi senyum manis.
Sempat-sempatnya gadis berparas ayu, idaman seluruh pemuda desa itu, bercanda saat-saat percakapan mulai menegangkan. Mungkinkah dia tidak merasakan apa yang dirasakan Rahman, pemuda berkulit kuning langsat yang setiap waktu shalat, suara merdunya terdengar dari arah masjid mengajak warga untuk melaksanakan shalat. Hanya dia dan tuhan yang tahu.
“Seminggu lalu kan ayah panen, dan semalam pembeli gabah itu memberikan nota beserta sejumlah uang, bagaimana kalau kita bawa Rahman ke rumah sakit. Nanti ayah yang bayar administrasinya? Diakan sering bantu ayah menanam, memupuk dan bahkan mencabuti rumput sawah.”
“Hmmm. Gimana ya? Entar duit ayah habis lagi,” kata ayahnya sembari memegang dahi bak seorang yang sedang fokus berfikir.
“Kok ayah gitu sih?” nada suara Inayah melemah. Heran mendengar perkataan ayahnya barusan. “Sosok ayah yang selama ini dia kenal baik, santun, sholeh, berahlak, tiba-tiba berkata seperti itu. Bukankah setiap kali selesai shalat berjamaah di rumah, Ayah selalu berpesan agar lebih mendahulukan orang lain? Bukankah ayah juga berpesan agar memperbanyak sedekah dan membantu orang lain? Dan bukankah harta yang kita miliki ada hak-hak orang membutuhkan di dalamnya? Ini sungguh mengherankan. Lelaki bertubuh besar yang duduk berselang kaki di atas karpet depan televisi yang nampak seperti ayahku bukanlah ayahku. Dia orang asing yang serupa dengan ayah,” keluh Inayah dalam hati.
Melihat putrinya menatap bingung ke arah Ibunya, Pak Khaerul tertawa terbahak-bahak sampai-sampai tak sadar, kopi hitam yang baru saja dibuat istrinya tumpah. Tembakau hitam lempengan, remote televisi dan asbak yang tepat berada dekat gelas mug berisikan air hitam berasap tipis, semuanya berganti warna menjadi hitam.
“Tumpah deh kopinya!” seru pak Khaerul sembari memindahkan tembakau dan remote televisi ke meja depan sofa.
“Ayah sih,nggak mau bantu orang. Jadinya dihukum sama Allah,” sahut Ibu Indah, bundanya Inayah. Ia bergegas membersihkan noda bekas kopi dengan kain lap.
“Tidak mungkin ini hukuman dari Allah. Saya kan cuman bercanda.”