Mohon tunggu...
Misbahuddin Hasan
Misbahuddin Hasan Mohon Tunggu... Petani -

menulis selalu memberikan sensasi tersendiri. Mari membiasakan diri untuk menulis. jangan biarkan hikmah yang terkandung dalam perjalanan hidup terabaikan begitu saja. ayo berbagi cerita. menuangkan hikmah perjalanan hidup dalam bentuk tulisan akan mengabadikan nama kita. Blog: http://www.penapancasila.top

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Malaikat yang Sakit Jiwa

23 Maret 2016   07:45 Diperbarui: 23 Maret 2016   08:30 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Dokter dan Perawat sedang Senam Pagi."][/caption]Betulkah para perawat adalah malaikat tanpa sayap yang menyelamatkan masyarakat dari cengkraman maut? Atau mereka tidak ubahnya seperti konglomerat yang memanfaatkan status sosialnya untuk kepentingan pribadi tanpa memperduliakan orang disekitarnya?

Saat aku berada dipuskesmas samata, terlihat sekelompok masyarakat kecil dengan kartu BPJS di tangannya sedang menikmati  goyang pinggul yang dipertontonkan para perawat dan dokter. Mereka terpaksa menyaksikan pertunjukan itu karena tak ada yang melayani. Daripada pulang kerumah, mending menunggu para petugas puskesmas selasai senam pagi.

Rasa haru menyelimutiku saat melihat seorang gadis kecil berusia 2 tahun menangis merontah-rontah. Entah dia menagis karena tak kuat melawan rasa sakit yang dialaminya atau ada faktor lain, tapi yang pastinya badan gadis mungil itu sangat panas. Ibunya hanya bisa berkata, “ cup,cup,cup. Tunggu ya nak, dokternya lagi senam pagi”

Rasa cemas bercampur haru mengantarkanku pada seorang perawat yang duduk diatas motor MIO. Aku mempertanyakan mengenai pelayanan di tempat itu. dan kenapa para dokter lebih memilih senam pagi ketimbang melayani pasiennya. Gadis berkerudung coklat itu hanya berkata “ setiap sabtu pagi, perawat maupun dokter malakukan senam pagi karena itu merupakan program dari puskesmas”.

Yaa, ini merupakan penyakit jiwa yang merusak nilai-nilai kemanusian. Para dokter yang seharusnya menomor satukan pasiennya justru lebih mementingkan senam pagi. Sungguh sangat meprihatinkan, orang-orang seperti mereka yang dibayar mahal oleh negara untuk melayani masyarakat justru lebih mementingkan hal-hal lain daripada tanggun jawabnya. Negara ini bukan untuk mereka yang kerja sedikit tapi menuntut banyak upah. Negara ini untuk masyarakat dan kaum intelektual yang sadar akan nilai universal.

***

Saat mentari menampakkan dirinya di ufuk timur, semesta alam bersorak gembira menyambut cahayanya. Embun pagi membasahi bumi yang indah dengan sejuta rahmat. Kesegaran air memperbaharui semangat beraktivitas.

Tapi sangat disayangkan, indahnya nuansa pagi berlalu tanpa meninggalkan jejak dalam diriku. Sakit gigi yang menjadi sahabat karib selama dua Minggu ini melarangku untuk ikut serta  menyaksikan keindahan mentari pagi. Aku hanya bisa terdiam dalam kamar menikmati sakit gigi. Asam Penamat, Amoxicillin yang diresepkan Dokter, ditambah lagi  AlBotil dan Ponstan telah bersemayam dalam perut tapi rasa sakit tak kunjung pergi meninggalkanku.

Akhirnya aku kembali ke puskesmas dengan niat mencabutnya. Sebelumnya, aku sudah pernah periksa gigi di puskesmas Kec. Romang Opu. Saat itu, aku hanya diberi resep obat dan disarankan agar kembali ketika obat asam penamat dan Amoxicillin yang diresepkan tersebut sudah habis diminum.

***

Sabtu, 30 Januari, Minggu kemarin, pertama kalinya aku memeriksa gigi di Puskesmas itu. saat itu, aku dan beberapa pasien lainnya harus menunggu dari jam 07:30 sampai 08:30 karena pihak registrasi sedang senam pagi di halaman Puskesmas. Hanya tukang parkir yang ditugaskan menjaga di ruangan pengambilan kartu.

Setelah meletakkan KTP di atas meja registrasi, seorang Ibu mengenakan jilbab Ungu yang menutupi sebagian badannya memanggilku dan mempertanyakan kartu BPJS.

“ anda punya kartu BPJS” kata Ibu itu

“ maaf bu, saya hanya punya KTP” jawabku

Lalu aku bertanya “ bu, emang nga boleh ya menggunakan KTP untuk periksa di puskesmas ini?” dengan raut wajah yang dihiasi senyum manis, ibu itu menjawab ” Boleh Kok, nga masalah”. Lalu ibu itu menuju kamar UGD.

Menjelang beberapa menit kemudian, registrasi pun dibuka. Para pasien antri untuk registrasi. Saat mendengar namaku disebut, aku bergegas menuju sumber suara itu.

“Iya, Ada yang bisa saya bantu bu’” candaku sambil tersenyum manis.

“ bapak punya kartu BPJS?” tanya ibu itu.

“ maaf bu’ saya tidak punya”  jawabku.

“ hari ini saya kasi kesempatan untuk periksa tapi lain kali harus bawa domisili ya!” kata dokter itu dengan wajah berkerut.

Setelah mendapatkan kartu, aku menuju kamar Poli Gigi lalu menyerahkan kartu itu. Setelah melayani beberapa pasien, dokter itu memanggil namaku dan menanyakan keluhanku. Setelah diperiksa, dokter itu berkata “ wah posisi gigi kamu miring, agak sulit untuk dicabut. Sekarang saya resepkan obat. Kalau obatnya sudah habis diminum, kamu kembali lagi yaa, nanti saya buatkan surat rujukan ke rumah sakit.”. aku hanya bisa mengangguk sebagai simbol persetujuan. Akhirnya, aku meninggalkan Puskesmas itu dengan selembar kertas yang bertuliskan Asam Penamat dan Amoxicillin.

kemarin, Jumat 05 Feb. 16, pukul 07:30, aku kembali ke puskesmas. sesampainya disana, hanya seorang lelaki yang sedang membersihkan halaman puskesmas dan sepasang suami istri yang usianya kira-kira 60 tahun yang berada di tempat itu.

Aku menghampiri lelaki yang sedang menyapu itu dan mempertanyakan jam operasional puskesmas. Lelaki itu berkata,” sekarang baru jam setengah delapan pak, puskesmas buka jam 08:00”. “Oh gitu ya pak” kataku serambi menuju motor yang kutumpangi.

Setengah jam telah berlalu, seorang wanita mengenakan kostum dan jilbab putih memarkir motornya di halaman dan bergegas memasuki ruangan puskesmas. 10 menit kemudian, dua wanita yang mengenakan kostum coklat memasuki ruangan. Dan disusul seorang wanita berjilbab ungu. Nampaknya ibu itu yang Minggu lalu memanggilku dan menanyakan kartu BPJS.

Jam 08:25, registrasi belum juga dibuka padahal pasien semakin banyak yang berdatangan. dari jarak sekitar 5 meter, terlihat seorang wanita yang mengenakan jilbab ungu keluar dari ruangan Periksa menuju ruangan registrasi lalu mengambil berkas-berkas yang diletakkan di atas meja registrasi dan menyuruh pasien untuk registrasi di ruangan UGD. Akhirnya aku dan pasien lainnya menuju kamar yang disebutkan dokter itu.

15 menit telah berlalu, pasien yang belum sempat diregistrasi di arahkan kembali ke ruangan registrasi, sesampainya di ruangan itu, terlihat seorang ibu berkacamata ditemani seorang gadis mengenakan kostum pramuka. sambil mengisi kertas registrasi, Gadis itu melontarkan beberapa pertanyaan kepada pasien sebelum memberikan kertas registrasi yang telah diisinya.

Saat namaku dipanggil, aku segera memasuki ruangan. Tiba-tiba ibu berkacamata itu bertanya “ bapak punya BPJS?” “tidak” jawabku. Lalu ibu itu berkata “ lain kali bapak harus membawah kartu BPJS kalau mau periksa”. Saya hanya menjawab “ oh iya bu’. Dan ibu juga harus tepat waktu biar kami tidak terlalu lama menunggu untuk registrasi”. Wajah para pasien yang antri di tempat itu semuanya mengarah padaku dan bahkan ibu berkacamata itu menatapku bagaikan tatapan harimau kepada mangsanya.

Dengan santainya, aku berjalan menuju ruangan Poli Gigi dan menyerahkan kartu tersebut. dari ruang tunggu yang jaraknya hanya satu meter dari ruangan Poli gigi, terlihat dokter yang waktu itu menyarankan saya untuk kembali sedang asyik menelpon. suara dokter itu terdengar di telingaku, salah satu perkataannya pada saat menelpon,” cariki teman sampai empat orang karena murah kalau banyak yang mau ambil”. Entah tema apa yang ia diskusikan, tapi dari percakapan tersebut nampaknya ia lagi promosi sesuatu.

Sekitar 10 menit menunggu, dokter itu memanggilku lalu mempersilahkanku masuk. Setelah diperiksa, dokter itu berkata “ saya kasi kamu surat rujukan ke rumah sakit ya, nanti di sana gigimu dicabut. Kamu punya kartu BPJS kan?” “tidak dok”, jawabku sambil menatap wajah dokter. “ waduh, kalau kamu tidak punya BPJS bisa-bisa kamu disuruh bayar 500 Ribu bahkan bisa sampai sejuta” mendegar ucapan dokter, aku hanya berkata “ kalau begitu nga usah dok, biar rasa sakit ini hilang dengan sendirinya”.  Aku pun mengambil tas yang kusimpan di sebala meja dokter lalu bergegas meninggalkan ruangan itu.

Dimuat juga di web pribadi saya. http://www.penapancasila.top

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun