Mohon tunggu...
Titik Annisa Nur K.
Titik Annisa Nur K. Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumah tangga yang hobi menulis dan membaca.

Penulis buku antologi fiksi dan nonfiksi. Aktif menulis di Instagram @penanies Berharap setiap tulisan terselip manfaat bagi yang membaca. Happy Reading. 😊

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selamat Tinggal, Welu

18 Agustus 2021   05:02 Diperbarui: 18 Agustus 2021   05:08 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku langsung jatuh cinta pada lelaki itu. Hidung mancung dengan rahang tegas tetapi terlihat sangat lembut dan penyayang. Saat dia sedang melihat-lihat, aku berusaha terlihat aktif dan menggemaskan. Aku berlari-larian dan beraksi selincah mungkin di rumah kecilku. Ya, aku berharap bisa lepas dari tempat sempit ini. Aku sudah tak tahan jika setiap hari harus terkena asap kendaraan yang lalu lalang di depanku dan teman-teman.

Sebenarnya, aku sudah sangat kerasan di tempat tinggalku yang lama. Bisa selalu bertemu dengan ibuku dan tercukupi kebutuhan makan sehari-hari. Apalagi suasana yang asri, jauh dari lalu lalang kendaraan bermotor yang penuh polusi. Sayangnya, setelah disapih, aku dan saudara serta teman-temanku harus rela untuk berpindah tempat. Mengikuti tuan baru yang ternyata bukan berniat mengurusi kami. Dia hanya ingin mencari keuntungan, menukar kami dengan beberapa lembar uang. Untuk itulah, aku ingin segera pergi darinya. Menemukan tuan baru yang mungkin bisa lebih menyayangiku.

Selama sepuluh menit, kugencarkan aksiku. Lelaki itu mulai menunjuk-nunjukku dan beberapa teman-temanku.

"Yang itu berapa, Pak?"

"Tujuh puluh lima ribu, seekor," jawab tuanku. "Ambil dua, seratus empat puluh ribu, Mas."

Lelaki itu tampak menimbang-nimbang. Lalu menunjukku yang berbulu cokelat semburat putih dan satu temanku yang berbulu putih semburat abu-abu. "Dua itu, ya, Pak." Dia menyerahkan dua lembar uang berwarna merah.

"Nggak ada kembalian, Mas. Ambil satu lagi jadi dua ratus ribu saja, deh," bujuk tuanku.

Lelaki itu kembali terdiam sejenak, menimbang-nimbang tawaran tuanku. "Oke, deh, Pak. Yang itu, ya!" Dia menunjuk satu lagi temanku yang berbulu putih polos.

Aku melonjak-lonjak girang. Sungguh tak sabar melihat bagaimana rumah baruku nanti. Aku pun patuh saja saat tuan lamaku memasukkan kami bertiga ke dalam satu rumah kawat kecil.

Lelaki itu, tuan baruku, mengikat rumah sempit kami di jok belakang motornya. Menepuk-nepuk perlahan rumah kami dan bergumam, "Cari kandang yang lebih gede dulu, ya?" Dia seolah-olah sedang mengajak kami berbicara. Lalu, dia pun membeli sebuah rumah dengan jeruji besi yang lebih kokoh dan luas. Setelahnya, kami diajak menyusuri jalanan berasap kendaraan bermotor menuju rumahnya. Sungguh perjalanan yang luar biasa, melihat banyak suasana baru yang sebelumnya tak pernah kulihat.

Lima belas menit kemudian, sampailah kami disebuah perkampungan yang masih cukup asri. Banyak sawah dan pepohonan. Tuan baruku memberhentikan motornya di depan sebuah rumah dengan halaman yang cukup lebar. Bukan halaman tuanku sebenarnya, tetapi jalan yang masih berupa rerumputan pendek. Aku dan teman-temanku girang bukan kepalang, melihat suasana rumah baru kami yang nyaman.

"Waaah ... Ayah bawa kelinci!" teriak anak laki-laki berusia lima tahun yang cukup mengagetkanku.

"Mana-mana?" Terlihat anak berusia lebih tua darinya, berlari menuju kami bersama beberapa teman yang lain.

Kami bertiga pun diletakkan di halaman belakang rumah. Lalu, hendak dipindah ke kandang baru yang lebih luas.

"Aku yang mindah, ya, Yah?" pinta anak perempuan yang ternyata anak sulung tuanku, usianya delapan tahun.

"Iya, hati-hati, ya. Pegang yang lembut!" perintah tuanku.

Kami bertiga pun menempati rumah baru dengan suasana baru. Melihat nyamannya suasana, aku berusaha menyelinap dari dinding rumah yang memang berupa besi-besi kecil yang berjejeran tidak terlalu rapat. Memang tidak lebar, tetapi ternyata cukup untukku menyelinap. Aku langsung berlarian di halaman samping  rumah tuanku.

"Ayah ... yang cokelat kabur!" seru Della si anak perempuan. Dia dengan lincahnya mengejarku.

Setelah tertangkap, aku pun dielusnya dengan lembut. "Namamu "Welu", ya!" serunya dengan sepasang mata yang berbinar.

"Trus, yang satu Kici, ya, Kak!" seru Alan, adiknya menunjuk temanku yang berwarna putih abu-abu.

"Oke, satu lagi Bani, ya, Anak-anak!" sahut tuanku. Kedua anaknya pun mengangguk setuju lalu kembali bermain-main bersama kami.

Aku sungguh bersyukur memiliki tuan baru yang sangat ramah dan penyayang. Mereka tak terlalu perhitungan  saat memberi makan kami bertiga. Bahkan istri tuanku, setiap hari, selalu memberi kami wortel dan kangkung yang dibelinya dari mlijo keliling langganannya. Padahal sebenarnya kami bisa makan rumput biasa yang tak perlu dibeli. Aku tahu, mereka memang tak ada waktu untuk mencari rumput-rumput itu, tetapi juga tak mau menyia-nyiakan kami.

Setiap hari, aku dan dua temanku selalu bermain dengan  Della dan Alan. Hanya saja, kedua temanku itu: Kici dan Bani, memang tak selincah tingkah polahku. Aku sering keluar kandang, demi bisa berlari-larian dan memakan rumput liar. Namun, justru karena itu, aku semakin dekat dengan Dela dan Alan, juga tuan dan istrinya. Aku sering dielus dan saat makan disuapi oleh mereka. Bahkan Della senang sekali menggendongku ke mana-mana.

Tak terasa, sebulan berlalu. Aku semakin kerasan dan menyayangi mereka. Aku masih sering menyelinap, bahkan terkadang ingin bermanja dengan terus mengekor di dekat kaki mereka. Hingga malam itu, malam yang membuatku kehilangan segalanya.

Malam hampir larut, kudengar suara pintu dibuka.  Aku yang sedari tadi memang di luar kandang, bergegas lari ke arah suara pintu. Ternyata tuanku. Aku mendekati kakinya, ingin dielus dan disuapi olehnya. Tuanku menjauhkanku darinya.

"Hush, sana bentar, Welu. Sepedanya mau dimasukkan," ucapnya pelan.

Aku yang memang tak paham dengan apa yang diucapkannya, malah kembali mendekat kepadanya. Hingga ... Jreeeshh ... Pandanganku gelap seketika, tetapi masih sempat kudengar tuanku setengah berteriak beristighfar. Lalu, aku tak mendengar apa-apa lagi.

***

Pov Della

Aku tak berhenti menangis seharian. Pagi tadi, ibu memberitahu bahwa Welu, kelinci kesayanganku mati karena tak sengaja terlindas ban belakang motor ayah semalam. Meskipun ibu menghiburku dengan kata-kata yang sejuk untuk bersabar, aku tetap merasa sedih dan kehilangan. Aku berusaha ikhlas, tapi aku ingin punya kelinci seperti Welu lagi.

"Ayah, belikan kelinci yang seperti Welu lagi, ya?" pintaku berulang kali pada ayah.

-fin-
_____
Spesial untuk mengenang Welu, kelinci kami yang telah pergi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun