Polemik politik Pemerintah Aceh yang kian marak menjadi celah 'permainan cantik' bagi oknum politik  anggaran. Program dan dana siluman mulai bermunculan. Rakyat semakin takut dan resah di saat APBA belum disahkan. Sementara nasib masih bergelantungan.
Kesempatan ini menjadi 'tambang emas' di salah satu instansi pemerintahan, mengatasnamakan monumen sejarah dunia, mengenang targedi dan bencana, Museum Tsunami Aceh.
Politik nepotisme di museum ini (baca: Museum Tsunami Aceh 'Ladang' Politik dan Nepotisme?) menjadi ambisi keluarga meraup keuntungan. Perencanaan anggaran "disulap" sedemikian rupa dengan skenario administrasi yang rapi guna menghindari pelelangan terbuka.
Setelah muncul koordinator ganda dengan peran SK Gubernur Aceh, pertemuan dadakan pengurusan Perjanjian Kerjasama (MoU) pengelolaan aset situs tsunami, diciptakan untuk membuka peluang dan kesempatan. Dokumentasi disiapkan guna memperkuat alasan menciptakan anggaran 'siluman'.
Susunan anggaran 'cantik' ini dapat dilihat dari Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Aceh (RKA-SKPA 2.2.1) 2018 Disbudpar Aceh melalui beberapa program dan kegiatan.
Dalam RKA-SKPA Per Januari 2018 dalam Program Pengelolaan Kekayaan Budaya dengan nama Kegiatan Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi program tertera Honorarium Pengelola Museum Tsunami masing-masing terpecah berdasarkan SK Gubernur Aceh; Ketua Rp 5 juta, Sekretaris Rp 4 juta, Ketua Kelompok Kerja (bidang-bidang) sebanyak 3 orang masing-masing Rp 2,8 juta, dan 8 orang anggota masing-masing Rp 2,5 juta.
Masih dalam program yang sama tertera Honorarium Tim Penyusunan dan Pembahasan Kelembagaan Museum Tsunami terhitung selama 6 bulan terdiri dari Penanggung jawab Rp 1,5 juta, koordinator Rp 1,25 juta, Ketua Rp 1,2 juta, Wakil Ketua, Sekretaris dan 5 orang anggota masing-masing Rp 1 juta. Tim yang terbentuk tak lain merupakan oknum yang sama seperti tertera dalam SK.
Biaya-biaya lain yang juga tertera dalam program ini mencakup Uang Lembur Pengelola Museum Rp 100 juta, Biaya Publikasi Museum Tsunami Aceh Rp 50 juta, Pembuatan Leaflet Rp 80 juta, Kajian Pengelolaan Rp 50 juta, Jasa Penyelenggaraan Peringatan Tsunami Rp 200 juta, Jasa Penyelenggaraan Pameran Temporer Rp 400 juta, Jasa Pembuatan Film Dokumenter Tsunami Rp 200 juta, Foto copy bahan Museum Tsunami Rp 12 juta, Jasa Pengelolaan Museum Tsunami Rp 84 juta, bahkan sampai Biaya Minuman Rapat Rp 75 juta. Pertanyaannya, seberapa mewah rapat museum hingga menghabiskan dana sebegitu besar? Lalu bagaimana jasa pengelolaan yang dimaksud dengan jumlah anggaran seperti itu?