Tulisan ini awalnya hanya iseng saja.
Iseng jalan-jalan menikmati nuansa wisata yang ada di Aceh. Nanggroe dengan polemik politik di negeri syariah.
Menyeruput kopi pagi melepas lelah setelah berkeliling di cafe Museum Tsunami Aceh. Hingar bingar suasana pagi terasa tak terlalu sepi. Sayup-sayup terdengar bisikan candaan pembicaraan sekelompok orang, ya saya rasa beberapa dari mereka adalah pekerja museum ini. Seperti ada hal menarik dalam cerita-cerita mereka. Duduk melingkar di sebuah meja bundar.
Sekilas tak ada yang istimewa. Balutan pakaian dinas hanya terlihat dari beberapa pegawai saja. Itu pun tak semua sama, baik warna maupun jenis pakaiannya.
Apakah masih terlalu pagi? Pikirku ketika memasuki ruangan demi ruangan museum. Waktu menunjukkan pukul 09.32 WIB. Tak banyak petugas yang tampak, kalau pun ada hanya satu petugas saja yang menegur sapa. Itu pun saat saya yang mulai bicara.
Menikmati pemandangan sejuk di area kolam museum ini ditemani sebatang kretek, membuat saya kembali teringat dengan tulisan sebelumnya.
Sampai kapan museum ini akan terus seperti ini tanpa perubahan? Mengenyangkan 'perut' orang-orang kaya (oknum) yang makin kaya, dan membiarkan orang-orang sederhana (pekerja) ini tak jelas masa depannya?
Hanya sedikit 'tergelitik' ketika kebetulan berpapasan dengan salah seorang pekerja museum. Beberapa pertanyaan pun saya lontarkan dan mendapatkan jawaban yang lumayan mengejutkan.
Bicara soal pelayanan, apalagi museum ini sudah dikenal mendunia. Menurut pekerja tersebut, demi meningkatkan pelayanan perlu dibuat peraturan yang amat ketat bagi seluruh staf yang bekerja di sini.
Misalkan absensi pegawai, wajib paraf pagi hari, siang saat istirahat, dan sore saat pulang. Padahal absensi sistem finger print tersedia. Lalu apa gunanya?