Mohon tunggu...
Politik Pilihan

» Detik-detik Transformasi Negara; Republik Indonesia Menuju "Indonesia Serikat"

9 Oktober 2014   18:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:44 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia hari ini

Penuh dengan polemik yang datang bertubi-tubi tiada henti

Berawal dari terbentuknya 2 kubu besar bentukan partai-partai yang berkoalisi

Masing-masing ingin mengambil kuasa penuh atas kendali negeri

Demi mencapai tujuan yang diingini

Masing-masing kubu pun sibuk mengatur strategi

Hingga akhirnya ketika matang telah datang

Mereka tak lagi menunggu waktu untuk menahan diri, siap "berperang"

Segala cara yang dianggap dapat memuluskan jalannya strategi pun dijajali dengan asik

Mulai dari mengintenskan lobi-lobi politik

Sampai menguasai media untuk mempengaruhi opini publik

Walau sekalipun penuh dengan intrik politik

Akhirnya tarik-menarik merebut kekuasan bukan lagi menjadi pemandangan asing hari ini. Tak terlihat dari masing-masing kubu dari 2 koalisi besar ini niat untuk "mengalah" dan turun dari "panggung pergulatan". Tentu dengan alibi dan argumen masing-masing yang intinya bahwa Indonesia harus diselamatkan, baik dengan Menutup Kebocoran ataupun dengan Revolusi Mental. Sehingga pada hakikatnya serasa dalam waktu yang tidak lama lagi, negara kita akan bertransformasi, yah Indonesia akan berubah bentuk dari negara kesatuan menjadi negara serikat dengan 2 negara bagian, yaitu Negara Bagian KMP (Koalisi Merah Putih) & Negara Bagian KIH (Koalisi Indonesia Hebat). Tentu tidak dalam pengertian yang sesungguhnya, namun serikat secara hakikat. Tetap berada dalam 1 negara yang sama akan tetapi saling tarik menarik kepentingan.

Parahnya adalah Indonesia sebagaimana negara demokrasi lainnya, menganut sistem politik yang didasarkan pada Trias Politika, yakni Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Sesuai keputusan KPU bahwa Presiden dan Wakil Presiden terpilih Indonesia periode 2014-2019 adalah Jokowi-JK. Ini menandakan bahwa kekuasan eksekutif berada di tangan Koalisi Indonesia hebat sebagai pengusung Jokowi-JK. Sementara di sisi lain, beberapa hari yang lalu secara berturut-turut telah ditentukan para pimpinan DPR dan MPR yang kesemuanya berasal dari Koalisi Merah Putih (kecuali Oesman Sapta Oedang yang merupakan saingan Prabowo merebut kursi pimpinan HKTI 2010-2015).

Indonesia saat ini bagaikan kakek tua yang berdiri dengan 2 kaki yang dibantu dengan 1 tongkat. Kedua kakinya adalah Eksekutif dan Legislatif, dan tongkatnya adalah Yudikatif. Negara muda namun terlihat tua karena tak lagi mampu berdiri dengan gagah, hanya bisa bersandar papah kepada negara-negara penyokong hutang yang berlimpah. Namun saat ini pun kedua kakinya berjalan entah kemana, namun yang jelas keduanya berjalan berlawanan arah. Sementara tongkat (yudikatif) pun tak berani memukul (mengadili) kedua kaki (kedua kubu) yang bandel itu. Membiarkannya berjalan ke arah yang berlawanan, dan hanya mampu terus berdiri sambil bergetar ketakutan khawatir jangan sampai justru dia yang akan patah. Akhirnya ini pun merupakan detik-detik jatuhnya negeri ini.

Sistem yang Tidak Islami adalah Dalang Kekacauan Ini

Sampai detik ini pergumulan itu masih terus terjadi dan akan terus terjadi sampai ada yang mau turun dari atas panggung dan ngalah. Tapi maim kira itu adalah hal yang mustahil. Sampai kapanpun kedua kubu besar ini akan terus bergumul dan tak ada yang mau mengalah. Mengapa? Sistem inilah penyebabnya. Demokrasi telah memberi peluang untuk terjadi seperti ini. Demokrasi secara bebas memberi kesempatan kepada seluruh masyarakat untuk memilih wakil-wakil mereka yang "terbaik". Preman, Pencuri, Pelacur, Orang yang tidak sekolah pun ikut memilih. Apa standar mereka memilih wakil terbaik? Yang mereka tahu hanyalah memilih wakil yang akan memenuhi kebutuhannya, bukan demi perbaikan bangsa. sehingga jika ada wakil yang mendatanginya dengan memberi uang sebesar Rp 200.000 maka cukuplah wakil tersebut dikatakan sebagai wakil yang "terbaik" karena yang lain hanya memberikan Rp 50.000 bahkan ada yang tidak memberikan apa-apa kepada mereka. Akhirnya duduklah para wakil rakyat "terbaik" itu di parlemen menentukan kebijakan-kebijakan yang di luar dari kebiasaan (luar biasa). Dalam proses pembuatan kebijakan pun mereka seperti tidak pernah belajar tata krama. Gedung Mewah akhirnya tak ayal bak pasar malam, banjir teriakan karena banyak yang telah naik pitam, katanya sih gedung tempat kumpulnya para kaum intelek, namun nyatanya lebih nampak sebagai kandang bebek yang ribut berkotek. Tak hentinya menggema kalimat saling ejek-mengejek, seakan tidak pernah sekolah, para anggota dewan itu terus berulah, saling tunjuk-menunjuk sumpah serapah. Itulah mereka yang lahir dari rahim demokrasi.

Sekalipun katanya Demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, tapi pada nyatanya tidak pernah ada pemerintahan yang dijalankan secara langsung oleh semua rakyat; dan tidak pernah ada pemerintahan sepenuhnya untuk semua rakyat (Dahl 1971; Coppedge dan Reinicke 1993).

Sistem yang Islami sebagai Solusi

Tidak usah panjang lebar soal ini

Sejarah panjang sudah menjadi bukti

Rakyat Sejahtera di bawah hukum islami

Iman kepada Allah dan Beramal sholeh adalah yang menjadi inti

Muhammad Adhan Ibnu Muhammad

Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun