Mohon tunggu...
‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎
‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ Mohon Tunggu... Mahasiswa - ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎

‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penjualan Senjata AS ke Taiwan: Ketegangan Baru di Asia Timur dan Implikasi Hukum Global

27 Desember 2024   17:18 Diperbarui: 27 Desember 2024   17:18 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Zhang Xiaogang (Source: Global Times)

Penjualan senjata oleh Amerika Serikat ke Taiwan merupakan bagian dari dinamika geopolitik yang rumit di Asia Timur, khususnya dalam konteks hubungan antara Republik Rakyat Tiongkok dan Taiwan. Pada Desember 2024, Juru Bicara Kementerian Pertahanan Tiongkok, Zhang Xiaogang, menyatakan bahwa pengadaan tank M1A2T oleh Taiwan dari AS "tidak akan menjadi solusi ajaib" untuk mempertahankan kedaulatan Taiwan, yang mencerminkan respons keras Tiongkok terhadap setiap langkah yang mendukung kemerdekaan Taiwan atau bertentangan dengan prinsip "Satu Tiongkok." Penjualan ini berada dalam kerangka hukum dan politik, termasuk Taiwan Relations Act dari AS, prinsip "Satu Tiongkok" yang diakui secara luas, serta hukum internasional mengenai kedaulatan dan non-intervensi.

Dalam perspektif hukum internasional, penjualan senjata oleh Amerika Serikat ke Taiwan dapat dilihat sebagai pelanggaran prinsip kedaulatan dan non-intervensi menurut Pasal 2(4) Piagam PBB, yang melarang ancaman atau penggunaan kekuatan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara lain. Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menganggap Taiwan sebagai bagian integral dari wilayahnya, sehingga penjualan senjata ini dapat dianggap sebagai dorongan terhadap aktivitas separatis. Kebijakan "Satu Tiongkok" yang ditegaskan dalam tiga komunike bersama antara AS dan Tiongkok---Komunike Shanghai 1972, di mana AS menyatakan bahwa "Taiwan adalah bagian dari Tiongkok"; Komunike 1979, di mana AS memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan untuk mengakui RRT sebagai satu-satunya pemerintahan Tiongkok; dan Komunike 1982, di mana AS sepakat untuk secara bertahap mengurangi penjualan senjata ke Taiwan---berkonflik dengan Taiwan Relations Act (TRA), yang menjadi landasan hukum bagi AS untuk mendukung Taiwan secara militer.

Taiwan Relations Act (TRA) yang disahkan oleh Kongres AS pada tahun 1979 setelah normalisasi hubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mencakup beberapa ketentuan utama, termasuk Pasal 3(a) yang menyatakan bahwa AS akan menyediakan senjata pertahanan yang diperlukan untuk memungkinkan Taiwan mempertahankan diri, Pasal 3(b) yang menetapkan bahwa Presiden dan Kongres akan menentukan kebijakan pertahanan berdasarkan "penilaian ancaman" di kawasan, serta Pasal 2(b)(4) yang menegaskan bahwa setiap upaya untuk menentukan masa depan Taiwan selain melalui cara damai akan menjadi "kekhawatiran serius" bagi AS. TRA memberikan dasar hukum bagi AS untuk menjual senjata ke Taiwan, namun hal ini sering dianggap oleh Tiongkok sebagai provokasi yang melanggar komitmen dalam tiga komunike bersama antara AS dan Tiongkok.

Tank M1A2T, varian modifikasi dari M1A2 Abrams, dirancang untuk medan pertempuran modern dengan spesifikasi seperti material komposit berlapis pelindung uranium terdeplesi, teknologi avionik dan elektronika canggih dengan sistem kontrol tembakan presisi tinggi dan termal imager generasi terbaru, serta mobilitas tinggi melalui mesin AGT1500 gas-turbine. Namun, Tiongkok berpendapat bahwa tank ini tidak efektif dalam konflik nyata karena rentan terhadap rudal anti-tank dan drone bersenjata Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok (PLA). Dari perspektif geopolitik, keberadaan tank ini di Taiwan menimbulkan risiko eskalasi militer di Selat Taiwan, dengan PLA meningkatkan latihan militer di sekitar perairan Taiwan sebagai "pesan strategis" kepada aktor eksternal seperti AS dan Jepang.

Langkah yang diambil oleh AS bisa dianggap tidak sejalan dengan kebijakan "Satu Tiongkok" yang telah disepakati, meskipun Taiwan Relations Act (TRA) memberikan dasar hukum domestik, dari sudut pandang hukum internasional, tindakan ini mungkin dikritik sebagai pelanggaran prinsip non-intervensi. Pasal 51 Piagam PBB mengatur hak negara untuk membela diri jika terjadi agresi, dan dalam perspektif Tiongkok, dukungan militer AS kepada Taiwan dapat dianggap sebagai ancaman langsung terhadap integritas teritorialnya. Selain itu, langkah ini berpotensi melanggar Deklarasi ASEAN tentang Zona Damai, Bebas, dan Netral (Zone of Peace, Freedom, and Neutrality Declaration), yang bertujuan menjaga stabilitas di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya.

Penjualan senjata AS ke Taiwan merupakan tindakan kontroversial yang berdampak signifikan terhadap stabilitas regional dan hubungan bilateral AS-Tiongkok. Walaupun Taiwan Relations Act (TRA) memberikan dasar hukum domestik bagi AS, Tiongkok sering kali memandang tindakan ini sebagai provokasi dan pelanggaran prinsip "Satu Tiongkok." Secara strategis, keberadaan senjata seperti M1A2T tidak serta-merta memperkuat pertahanan Taiwan secara signifikan, mengingat keunggulan teknologi dan taktik Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok (PLA). Oleh karena itu, solusi jangka panjang memerlukan pendekatan diplomasi multilateral yang menghormati hukum internasional dan mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terlibat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun