Mohon tunggu...
‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎
‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ Mohon Tunggu... Mahasiswa - ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎

‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Bagaimana AS Membentuk Ulang Dunia Pasca-Perang Dunia II: Pelajaran untuk Menghadapi China

25 Desember 2024   17:53 Diperbarui: 25 Desember 2024   19:51 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Joe Biden (Source: whitehouse.gov)

Setelah Perang Dunia II, Amerika Serikat memimpin upaya rekonstruksi di Eropa dan Asia, memulihkan negara-negara seperti Jepang, Inggris, Jerman, dan Prancis yang hancur akibat perang. Melalui dua instrumen utama---Marshall Plan (1948), yang disahkan melalui Economic Cooperation Act of 1948, dan Perjanjian San Francisco (1951)---AS memberikan dukungan keuangan sebesar USD 13 miliar (setara USD 160 miliar hari ini) untuk membangun kembali Eropa Barat, sesuai dengan Pasal 55 Piagam PBB yang mendorong kerjasama internasional dalam pembangunan ekonomi dan sosial, serta memastikan Jepang memperoleh kembali kedaulatannya dengan membangun institusi demokratis di bawah Artikel 9 Konstitusi Jepang, yang mencerminkan filosofi hukum AS. Rekonstruksi ini mencakup reformasi institusional besar-besaran termasuk sistem politik demokrasi parlementer (seperti di Jerman dan Jepang) dan ekonomi kapitalis berbasis pasar bebas, sejalan dengan visi Pasal 1(2) Piagam PBB. Kerangka hukum yang mendukung tindakan ini mencakup Geneva Conventions (1949) yang melindungi penduduk sipil selama dan setelah konflik bersenjata serta memberikan mandat bagi kekuatan pendudukan untuk membangun kembali wilayah yang diduduki, mencerminkan komitmen hukum humaniter internasional.

Pasca-rekonstruksi, hubungan diplomatik dan ekonomi yang erat antara negara-negara seperti Jepang, Inggris, Jerman, Prancis dengan Amerika Serikat tidaklah kebetulan. Artikel 51 Treaty of Paris (1951) yang menginisiasi pembentukan Komunitas Batubara dan Baja Eropa (cikal bakal Uni Eropa), menciptakan dasar ekonomi bersama yang mendukung kepentingan strategis AS. Begitu pula, perjanjian NATO seperti North Atlantic Treaty (1949), Pasal 5, menegaskan pentingnya aliansi keamanan yang menjadi fondasi hubungan politik dan militer setelah masa rekonstruksi.

Persaingan antara Amerika Serikat dan China bukan sekadar konflik perdagangan, tetapi juga perebutan dominasi teknologi global, dengan kerangka hukum seperti Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (WTO, 1995) yang mengatur praktik subsidi pemerintah sering menjadi akar perselisihan. Amerika Serikat, sebagai eksportir teknologi tinggi berdasarkan laporan World Intellectual Property Organization (WIPO), memimpin dalam inovasi teknologi dengan perlindungan paten ketat di bawah hukum domestik seperti Patent Act of 1952, dengan produk utama meliputi kendaraan listrik, telekomunikasi, dan AI. Di sisi lain, China, melalui program seperti Made in China 2025, menargetkan supremasi teknologi, meskipun beberapa tindakannya sering dianggap melanggar Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS Agreement), terutama terkait kewajiban perlindungan hak kekayaan intelektual. Selain itu, China menawarkan investasi besar dalam infrastruktur kepada negara berkembang melalui Belt and Road Initiative (BRI), yang sering dikritik dari perspektif hukum internasional karena diduga melanggar prinsip debt sustainability yang ditetapkan oleh PBB, seperti UNCTAD Principles on Promoting Responsible Sovereign Lending and Borrowing.

Dari perspektif hukum, kebijakan Joe Biden dan Donald Trump mencerminkan pendekatan yang berbeda terhadap hukum internasional, di mana Biden menegaskan kembali komitmen terhadap institusi multilateral seperti WTO dan NATO sesuai Pasal 2 Piagam PBB yang menyerukan penyelesaian sengketa secara damai, serta mendorong CHIPS and Science Act (2022) untuk meningkatkan produksi semikonduktor domestik, sementara Trump lebih fokus pada tindakan unilateral termasuk penggunaan Section 301 of the Trade Act (1974) untuk mengenakan tarif kepada China, yang kritik terhadap multilateralisme dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip good faith dalam hukum perjanjian internasional.

Rekonstruksi pasca-Perang Dunia II yang dipimpin oleh Amerika Serikat terhadap Jepang, Inggris, Jerman, dan Prancis menjadi salah satu tonggak penting dalam hukum internasional, mengintegrasikan prinsip-prinsip humaniter, ekonomi, dan geopolitik. Hubungan erat yang tercipta di antara negara-negara ini sangat dipengaruhi oleh rekonstruksi yang dibimbing oleh visi dan kerangka hukum AS. Sementara itu, persaingan antara AS dan China saat ini mencerminkan pergeseran geopolitik global, di mana tantangan utama dalam konteks hukum adalah harmonisasi aturan perdagangan internasional dan perlindungan hak kekayaan intelektual. Untuk pemimpin AS di masa depan, rekomendasi hukum yang paling penting adalah memperkuat kerangka multilateral sambil menjaga supremasi teknologi melalui investasi domestik yang solid, sebagaimana diatur oleh undang-undang seperti America COMPETES Act.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun