Dari sudut pandang hukum internasional, tindakan pencurian data militer melalui serangan siber merupakan pelanggaran yang jelas sesuai dengan Pasal 2 dan 11 Konvensi Budapest tentang Kejahatan Siber, yang menetapkan bahwa pencurian data yang dilakukan dengan cara siber adalah ilegal.
Jika tuduhan tersebut terbukti benar, negara-negara yang menjadi korban dapat mengajukan klaim reparasi berdasarkan ketentuan Pasal 41 Piagam PBB, yang mengatur hak untuk memperoleh kompensasi atas kerugian yang timbul akibat pelanggaran tersebut.
Keberadaan jet tempur Chengdu J-20 telah menambah ketegangan geopolitik di kawasan Asia Pasifik, terutama terkait dengan sengketa di Laut China Selatan, di mana pesawat ini meningkatkan kemampuan serangan China terhadap sistem pertahanan udara negara-negara tetangga, termasuk Amerika Serikat dan sekutunya.
Dalam konteks hukum internasional, Konvensi Chicago Pasal 3 bis mengatur bahwa penggunaan pesawat militer untuk memasuki wilayah udara negara lain tanpa izin merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan negara tersebut.
Selain itu, dalam hukum konflik bersenjata, penggunaan J-20 untuk menyerang sasaran yang berhubungan dengan infrastruktur sipil akan melanggar Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa (1977), Pasal 52, yang secara tegas melindungi objek sipil dari serangan yang tidak sah dalam perang.
Kemampuan produksi massal China, yang didukung oleh teknologi canggih dari jet tempur Chengdu J-20, menjadi ancaman yang signifikan bagi dominasi udara Amerika Serikat dan sekutunya, serta dapat mempengaruhi keseimbangan kekuatan di kawasan Indo-Pasifik.
Selain itu, sistem pengendalian yang canggih pada J-20 turut memicu perdebatan mengenai batasan penggunaan teknologi militer yang didukung oleh kecerdasan buatan, khususnya dalam konteks drone dan sistem otonom.
Dari perspektif hukum internasional, pengembangan dan penggunaan J-20 menimbulkan isu terkait pelanggaran kekayaan intelektual, tantangan terhadap kedaulatan negara, serta penerapan prinsip-prinsip hukum humaniter internasional.
Hal ini menuntut kerja sama internasional yang lebih erat untuk mengatasi dampak geopolitik yang ditimbulkan, serta untuk mendorong pembatasan yang lebih ketat dalam penggunaan teknologi militer untuk tujuan ofensif.
J-20, meskipun dikritik sebagai hasil imitasi, tetap membuktikan dirinya sebagai ancaman nyata dalam perang modern, yang mengharuskan refleksi lebih dalam terhadap dampaknya di bidang hukum dan keamanan global.