Mohon tunggu...
Pena Kusumandaru
Pena Kusumandaru Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang

Mahasiswa Fakultas Hukum dengan ketertarikan mendalam dalam menganalisis dan mengembangkan pemahaman yang komprehensif terkait isu-isu militer global serta implikasinya terhadap kebijakan hukum dan keamanan nasional.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Aliansi Nuklir dan Polarisasi Global: saat Diplomasi Tertidur, Senjata Berbicara

26 November 2024   18:14 Diperbarui: 26 November 2024   18:21 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kerja sama militer antara Rusia, China, dan potensi transfer teknologi ke Korea Utara memunculkan sejumlah isu hukum internasional yang signifikan. Pertama, dalam konteks Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT), meskipun Korea Utara telah menarik diri pada tahun 2003, negara tersebut tetap tunduk pada berbagai sanksi PBB. Transfer teknologi strategis, seperti kapal selam berkemampuan nuklir, ke Korea Utara dapat dianggap melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB, termasuk Resolusi 1874 dan 2270, yang secara tegas melarang pengalihan teknologi militer semacam itu. Kedua, sebagai anggota Missile Technology Control Regime (MTCR), Rusia memiliki kewajiban untuk membatasi ekspor teknologi rudal dengan jangkauan lebih dari 300 km ke negara-negara non-anggota seperti Korea Utara, sehingga kerja sama terkait teknologi rudal dapat melanggar prinsip-prinsip MTCR. Selain itu, dalam konteks United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), ketegangan di Laut China Selatan yang melibatkan dukungan Rusia terhadap China berpotensi memperburuk pelanggaran terhadap Pasal 87 mengenai kebebasan navigasi serta Pasal 192 yang mengatur kewajiban perlindungan lingkungan laut. Aktivitas militer, khususnya yang melibatkan penggunaan kapal selam nuklir, tidak hanya menimbulkan risiko strategis tetapi juga ancaman serius terhadap lingkungan, yang memperkuat relevansi perlindungan laut sesuai UNCLOS. Secara keseluruhan, isu-isu ini menggarisbawahi kompleksitas hukum internasional dalam mengatur hubungan antarnegara dalam konteks keamanan dan lingkungan global.

Kemajuan Rusia dalam teknologi militer, khususnya pada kapal selam dan sistem rudal, menunjukkan tingkat kecanggihan yang signifikan dan potensi dampak besar terhadap keamanan global. Dalam aspek teknologi kapal selam, Rusia telah mengembangkan platform mutakhir seperti kelas Yasen dan Borei, yang dilengkapi dengan sistem propulsion berbasis tenaga nuklir serta teknologi stealth yang canggih. Teknologi ini mencakup berbagai inovasi, seperti desain hidrodinamika lambung untuk mengurangi hambatan air dan meningkatkan kemampuan siluman, sistem air-independent propulsion (AIP) dan reaktor nuklir yang memungkinkan operasi di bawah air selama berminggu-minggu tanpa perlu muncul ke permukaan, serta perangkat avionik dan elektronika canggih, termasuk sonar pasif dan aktif yang didukung teknologi penangkal sinyal akustik. Di sisi lain, Rusia juga menguasai teknologi sistem rudal balistik kapal selam (submarine-launched ballistic missile atau SLBM), seperti Bulava, yang mampu diluncurkan dari bawah air dengan jangkauan antarbenua dan kapasitas muatan nuklir. Teknologi ini tidak hanya memperkuat daya tawar strategis Rusia tetapi juga mengubah konfigurasi keamanan regional secara signifikan, karena kemampuannya dalam mendukung peluncuran serangan dengan tingkat deteksi rendah dan dampak destruktif yang tinggi.

Kerja sama militer Rusia dengan China dan Korea Utara membawa implikasi strategis yang signifikan, terutama dalam konteks perubahan dominasi militer dan polarisasi geopolitik. Dukungan Rusia terhadap pengembangan kemampuan bawah laut China berpotensi mengikis keunggulan militer Amerika Serikat di wilayah Indo-Pasifik, yang selama ini ditopang oleh armada kapal selam kelas Virginia dan Seawolf. Situasi ini mengancam keberlanjutan strategi AS yang berfokus pada kebijakan free and open Indo-Pacific, dengan mempersulit dominasi militer bawah laut mereka di kawasan tersebut. Selain itu, kolaborasi antara China dan Rusia mencerminkan penguatan aliansi strategis di tengah intensifikasi rivalitas dengan negara-negara Barat, menunjukkan pergeseran keseimbangan kekuatan global. Sementara itu, dukungan teknologi militer Rusia kepada Korea Utara berkontribusi pada peningkatan kemampuan nuklir Pyongyang, yang memperburuk dinamika keamanan di Semenanjung Korea dan menambah ketegangan regional. Kombinasi faktor-faktor ini tidak hanya mengubah lanskap militer dan geopolitik, tetapi juga memperdalam polarisasi antara kekuatan besar dunia.

Dukungan militer Rusia terhadap China dan potensi transfer teknologi ke Korea Utara membawa dampak luas dalam ranah hukum nasional, keamanan regional, dan dinamika global. Di Amerika Serikat, langkah-langkah mitigasi ancaman strategis diatur melalui National Defense Authorization Act (NDAA), yang memprioritaskan peningkatan anggaran untuk pertahanan laut dan pengembangan teknologi anti-kapal selam. Selain itu, Countering America's Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) memberikan kerangka hukum untuk menjatuhkan sanksi kepada Rusia atas keterlibatannya dalam transfer teknologi militer. Di sisi lain, kebijakan dalam negeri Rusia dan China juga mencerminkan dukungan terhadap kerja sama militer ini. Doktrin militer Rusia menitikberatkan pada aliansi strategis untuk menghadapi ancaman dari NATO dan AS, sementara Konstitusi China membenarkan modernisasi militer sebagai bagian dari strategi pertahanan aktif. Secara keseluruhan, kolaborasi ini tidak hanya melibatkan pelanggaran potensial terhadap berbagai perjanjian internasional tetapi juga meningkatkan risiko konflik dan instabilitas regional. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan terkoordinasi yang melibatkan diplomasi multilateral melalui lembaga-lembaga seperti ASEAN dan PBB, penguatan kapasitas militer AS dan sekutunya di kawasan Indo-Pasifik, serta penegakan hukum internasional melalui sanksi terhadap transfer teknologi ilegal. Pendekatan tersebut krusial dalam memastikan stabilitas, menegakkan supremasi hukum internasional, dan menghadapi tantangan keamanan yang semakin kompleks.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun