Pelintasan kapal perang Amerika Serikat (USS Higgins) dan Kanada (HMCS Vancouver) melalui Selat Taiwan pada 20 Oktober 2024 merupakan bagian dari kebijakan kebebasan navigasi yang diakui secara internasional. Berdasarkan hukum laut internasional, terutama Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, tindakan ini sah. Dalam Pasal 38(1) UNCLOS, disebutkan bahwa semua kapal dan pesawat, tanpa memandang bendera atau kargo, menikmati hak lintas damai melalui selat yang digunakan untuk pelayaran internasional. Karena Selat Taiwan memiliki panjang sekitar 180 kilometer dan memenuhi syarat sebagai jalur perairan internasional, negara-negara seperti AS dan Kanada memiliki hak hukum untuk melintasinya, selama mereka mematuhi prinsip lintas damai (innocent passage) sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UNCLOS.
Tindakan pelintasan oleh kapal perang AS (USS Higgins) dan Kanada (HMCS Vancouver) melalui Selat Taiwan pada 20 Oktober 2024 mengirim sinyal jelas mengenai komitmen kedua negara untuk menegakkan kebebasan navigasi di kawasan yang semakin diperebutkan. Selat Taiwan merupakan jalur pelayaran strategis yang harus tetap terbuka untuk lalu lintas komersial dan militer. Ini sesuai dengan prinsip kebebasan navigasi yang mendasari kebijakan maritim global AS. Prinsip ini juga menentang klaim eksklusif China atas wilayah perairan tersebut, karena Beijing menganggap Selat Taiwan sebagai bagian dari zona pengaruhnya dan menegaskan kedaulatan atas Taiwan sebagai bagian dari "satu China."
Pelintasan kapal perang USS Higgins dan HMCS Vancouver adalah bagian dari operasi kebebasan navigasi (FONOP) yang bertujuan untuk menentang klaim maritim berlebihan, seperti yang dilakukan oleh China. USS Higgins, sebagai bagian dari Armada Ketujuh AS yang beroperasi di kawasan Indo-Pasifik, menunjukkan komitmen AS dan sekutunya bahwa Selat Taiwan harus tetap menjadi jalur pelayaran internasional. Ini berlawanan dengan klaim teritorial China yang menganggap Selat Taiwan sebagai bagian dari zona pengaruhnya. Operasi ini menegaskan bahwa wilayah tersebut harus tetap terbuka untuk navigasi komersial dan militer internasional, sesuai dengan prinsip kebebasan navigasi yang diterapkan secara global.
China bereaksi keras terhadap pelintasan militer asing di Selat Taiwan. Beijing secara konsisten menolak tindakan ini dengan alasan bahwa pelintasan tersebut melanggar kedaulatannya atas Taiwan dan meningkatkan ketegangan di kawasan. Komando Teater Timur Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) menyatakan bahwa tindakan AS dan Kanada "mengganggu perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan." Dalam konteks hukum internasional, status Selat Taiwan sebagai jalur pelayaran internasional masih menjadi perdebatan antara klaim China dan prinsip kebebasan navigasi yang didukung negara-negara Barat.
Sebagai respons militer, China meningkatkan pengawasan dan kesiapan dengan memobilisasi angkatan laut dan angkatan udara selama transit tersebut. Ini bukan pertama kali terjadi, karena beberapa tahun terakhir, China rutin mengirim pesawat tempur dan kapal perang untuk memantau aktivitas militer asing di dekat Taiwan. Pada 14 Oktober 2024, China juga mengadakan latihan militer skala besar di sekitar Taiwan, yang dianggap sebagai simulasi blokade atau invasi, sehingga meningkatkan kekhawatiran internasional akan potensi eskalasi militer di kawasan tersebut.
Dari sudut pandang hukum internasional, tindakan China bisa dianggap sebagai penggunaan kekuatan yang melanggar Pasal 2(4) Piagam PBB, yang melarang ancaman atau penggunaan kekuatan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara lain. Walaupun China mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya berdasarkan kebijakan "satu China," Taiwan beroperasi sebagai entitas terpisah dengan sistem pemerintahan dan militer independen. Taiwan juga menyatakan bahwa situasi di wilayah laut dan udara tetap normal selama pelintasan kapal AS dan Kanada, menunjukkan bahwa tindakan ini bukanlah provokasi langsung.
Pelintasan kapal AS dan Kanada di Selat Taiwan memiliki dampak signifikan terhadap hubungan AS-China dan dinamika keamanan di Indo-Pasifik. Melalui kebijakan kebebasan navigasi, AS berusaha menjaga status quo di Selat Taiwan, sementara China terus meningkatkan tekanan militernya terhadap Taiwan, yang menimbulkan risiko eskalasi konflik. Dalam konteks ini, langkah-langkah militer AS dan sekutunya seperti Kanada memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan tersebut. Secara keseluruhan, tindakan AS dan Kanada dalam melintasi Selat Taiwan sah menurut hukum laut internasional, namun menghadapi tantangan geopolitik dan militer dari China, yang terus berupaya memperkuat klaim teritorialnya atas Taiwan dan wilayah sekitarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H