Pengoperasian kapal Landing Helicopter Dock (LHD) oleh TNI AL di masa depan diperkirakan akan memberikan dampak besar terhadap kemampuan proyeksi kekuatan maritim Indonesia. Hal ini terutama relevan dalam konteks operasi amfibi, bantuan kemanusiaan, dan keamanan wilayah perairan. Namun, sebelum implementasi lebih lanjut, diperlukan analisis mendalam dari perspektif hukum, anggaran, dan strategi pengawalan yang optimal.
Pengadaan kapal Landing Helicopter Dock (LHD) oleh TNI Angkatan Laut harus mematuhi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan (UU 16/2012). Pasal 11 UU TNI menggarisbawahi tugas TNI dalam mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah NKRI, termasuk pengamanan wilayah laut. Kapal LHD, dengan kemampuan operasi amfibi dan proyeksi kekuatan lintas laut, sangat mendukung tugas ini. Selain itu, Pasal 43 UU 16/2012 menyatakan bahwa pemerintah mendukung pengembangan dan produksi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam) oleh industri pertahanan dalam negeri. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pengadaan kapal LHD dapat dilakukan melalui pembelian dari luar negeri, keterlibatan industri pertahanan dalam negeri tetap harus diupayakan, terutama dalam aspek pemeliharaan dan peningkatan kemampuan operasional kapal tersebut.
Biaya pengadaan kapal Landing Helicopter Dock (LHD) sangat bervariasi, tergantung pada apakah kapal tersebut dibeli baru atau merupakan kapal bekas yang telah di-upgrade. Sebagai contoh, Brasil membeli HMS Ocean dari Inggris seharga £84,3 juta (sekitar Rp1,7 triliun), menunjukkan bahwa harga kapal bekas sekelas LHD lebih rendah dibandingkan dengan kapal baru. Kapal baru dapat berkisar antara USD 500 juta hingga USD 1 miliar, tergantung pada tonase, sistem persenjataan, sensor, dan kemampuan pengangkutan. Selain biaya pengadaan, terdapat juga biaya operasional dan pemeliharaan jangka panjang yang signifikan, mengingat kompleksitas kapal LHD, terutama dalam perawatan mesin, deck penerbangan, dan hanggar pesawat yang memerlukan infrastruktur pendukung yang kuat. Menurut Pasal 43 UU 16/2012, alokasi anggaran untuk pengadaan dan pemeliharaan kapal LHD harus disusun berdasarkan prioritas anggaran pertahanan yang efisien dan berkelanjutan.
Kapal Landing Helicopter Dock (LHD), dengan ukurannya yang besar dan kemampuannya mengangkut pasukan, helikopter, serta peralatan tempur lainnya, memerlukan pengawalan ketat dalam setiap misinya. Pengawalan optimal biasanya melibatkan frigat dan destroyer multimission yang mampu melakukan pertahanan udara, anti-kapal, dan anti-kapal selam. Untuk TNI Angkatan Laut, pengawalan kapal LHD dapat dilakukan oleh frigat FREMM (Frégate Européenne Multi-Mission) jika pengadaan ini terealisasi. FREMM adalah frigat kelas berat dengan kemampuan serangan permukaan, udara, dan bawah laut yang memadai, serta dilengkapi dengan sistem radar dan persenjataan modern. Alternatif lain yang dapat dipertimbangkan adalah frigat kelas Sigma 10514 atau frigat kelas Iver Huitfeldt, yang juga dilengkapi dengan sistem radar AESA dan rudal pertahanan udara jarak menengah hingga jauh, sehingga mampu mendukung tugas pengawalan kapal LHD.
Strategi pengawalan kapal Landing Helicopter Dock (LHD) di Indonesia harus mempertimbangkan pengalaman negara lain seperti Prancis dengan kapal Mistral dan Jepang dengan kapal Izumo, yang biasanya dikawal oleh frigat atau destroyer. Di Indonesia, kapal LHD TNI AL akan menghadapi tantangan pengawalan di wilayah strategis seperti Laut China Selatan dan Samudra Hindia, sehingga pengawalan oleh frigat atau destroyer dengan kemampuan anti-udara dan anti-kapal selam yang kuat sangat penting. Jika TNI AL tidak memilih FREMM, alternatifnya bisa berupa pengadaan frigat kelas PPA (Pattugliatori Polivalenti d’Altura) dari Italia atau kelas FMP (Frégates de Taille Intermédiaire) dari Prancis, yang memiliki kemampuan pertahanan komprehensif dan cocok untuk mengawal kapal LHD dalam berbagai misi.
Pengoperasian kapal Landing Helicopter Dock (LHD) oleh TNI Angkatan Laut akan memperkuat kemampuan maritim Indonesia, namun memerlukan biaya besar dan strategi pengawalan yang cermat. Biaya pengadaan kapal LHD, baik baru maupun bekas, berkisar antara USD 500 juta hingga USD 1 miliar. Pengawalan optimal membutuhkan frigat atau destroyer dengan kemampuan pertahanan udara dan anti-kapal selam yang kuat. Berdasarkan UU 16/2012, pengadaan ini juga harus melibatkan industri pertahanan dalam negeri, terutama dalam hal pemeliharaan dan dukungan infrastruktur. Dalam konteks pertahanan nasional, pengoperasian kapal LHD ini harus dipadukan dengan doktrin pertahanan yang adaptif, terutama untuk menghadapi tantangan di wilayah perairan strategis Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H