Meskipun kekuatan TNI AU sering dianggap lemah dibandingkan dengan kekuatan udara negara-negara besar di kawasan Asia-Pasifik seperti Tiongkok, India, dan Australia, terutama dalam hal teknologi dan kesiapan tempur, pemahaman yang komprehensif mengenai kelemahan ini memerlukan tinjauan dari sudut pandang hukum dan regulasi. Pengembangan dan pengadaan alutsista bagi TNI AU diatur oleh berbagai regulasi yang sering kali menjadi hambatan dalam upaya memperkuat kekuatan udara Indonesia. Oleh karena itu, analisis mendalam terhadap aspek hukum dan regulasi ini sangat penting untuk mengidentifikasi dan mengatasi kendala yang ada dalam penguatan TNI AU.
Kerangka hukum pertahanan udara di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Pasal 3 undang-undang ini menegaskan bahwa pertahanan negara bersifat semesta, melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Meskipun demikian, TNI AU menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan mandatnya, terutama terkait dengan keterbatasan sumber daya, teknologi, dan infrastruktur yang memadai. Keterbatasan ini sering kali disebabkan oleh rendahnya anggaran militer dan tantangan dalam pengadaan alutsista yang canggih.
Keterbatasan anggaran dan pengadaan alutsista TNI AU masih menjadi tantangan signifikan. Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, Pasal 5, pemerintah menjamin pengembangan industri pertahanan dengan menjaga kepentingan nasional, kemandirian, dan kepentingan jangka panjang negara. Namun, kenyataannya, Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan alutsista modern TNI AU, seperti pesawat tempur, sistem radar, dan sistem pertahanan udara lainnya. Pengadaan pesawat seperti F-16 dan Sukhoi Su-27/30 sering kali terhambat oleh negosiasi politik, sanksi internasional, dan kendala anggaran. Data tahun 2023 menunjukkan bahwa alokasi anggaran pertahanan Indonesia masih jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura dan Australia, yang menghambat kemampuan TNI AU untuk melakukan modernisasi secara menyeluruh.
Tingkat kesiapan dan kekuatan tempur TNI AU masih berada di bawah negara-negara lain di kawasan Asia-Pasifik, menurut data dari Global Firepower. Saat ini, TNI AU memiliki keterbatasan dalam jumlah pesawat tempur generasi modern, dengan hanya sebagian kecil armada yang terdiri dari pesawat generasi keempat seperti F-16 dan Sukhoi Su-27/30. Sementara itu, negara-negara lain di kawasan sudah mulai mengoperasikan pesawat tempur generasi kelima seperti F-35 di Australia dan J-20 di Tiongkok. Selain itu, TNI AU juga menghadapi tantangan dalam pelatihan dan kesiapan pilot, di mana jam terbang rata-rata pilot masih di bawah standar internasional yang diperlukan untuk kesiapan tempur optimal. Keterbatasan ini diperparah oleh infrastruktur pelatihan dan simulasi yang belum memadai, yang berdampak pada kemampuan operasional TNI AU.
Keterbatasan teknologi dan infrastruktur pendukung menjadi salah satu kelemahan signifikan bagi TNI AU. Selain alutsista, banyak sistem radar yang sudah usang dan tidak mampu mendeteksi pesawat tempur modern dengan teknologi siluman seperti J-20 milik Tiongkok. Upaya modernisasi sistem radar dan sistem pertahanan udara darat-ke-udara (SAM) seperti S-300 atau S-400 masih sangat terbatas, yang berpotensi melemahkan pertahanan udara Indonesia dalam menghadapi ancaman udara modern.
Di tengah berbagai tantangan, pemerintah Indonesia berupaya meningkatkan kemampuan TNI AU melalui program modernisasi yang komprehensif. Salah satu inisiatif utama adalah program Minimum Essential Force (MEF) yang diatur oleh Peraturan Presiden No. 41 Tahun 2010, bertujuan untuk mencapai kekuatan pertahanan minimum yang diperlukan guna menjaga kedaulatan negara. Program ini mencakup pengadaan pesawat tempur baru seperti Dassault Rafale dan rencana pengadaan Sukhoi Su-35, meskipun pengadaan Sukhoi Su-35 masih menghadapi kendala diplomatik dan ekonomi.
Namun, pencapaian target MEF masih jauh dari harapan, terutama karena keterbatasan anggaran pertahanan yang dialokasikan setiap tahun. Selain itu, percepatan pengembangan industri pertahanan dalam negeri, sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 16 Tahun 2012, juga menghadapi berbagai hambatan, yang menghalangi terciptanya kemandirian pertahanan udara Indonesia.