F-16 Block 70/72, yang juga dikenal sebagai F-16V (Viper), adalah salah satu pesawat tempur multirole paling canggih di kelasnya. Versi terbaru ini menawarkan peningkatan signifikan dalam avionik, radar, dan sistem persenjataan, menjadikannya sangat relevan dalam menghadapi ancaman modern. Dari sudut pandang hukum, pengadaan pesawat ini oleh suatu negara melibatkan proses yang kompleks dan harus mematuhi berbagai aturan hukum nasional dan internasional. Ini termasuk ketentuan hukum terkait akuisisi teknologi militer, kedaulatan negara, dan perjanjian pertahanan internasional.
F-16 Block 70/72, atau yang dikenal sebagai F-16V (Viper), menampilkan sejumlah peningkatan signifikan dibandingkan varian sebelumnya. Radar AESA AN/APG-83 yang canggih meningkatkan kemampuan deteksi dan pelacakan target secara simultan, yang sangat penting dalam operasi udara modern. Mesin Pratt & Whitney F100-PW-229 atau General Electric F110-GE-129 memberikan tenaga lebih besar, meningkatkan kemampuan manuver dan akselerasi. Sistem avionik yang lebih maju mencakup komputer misi yang lebih cepat, layar kokpit yang lebih besar, dan sistem navigasi yang lebih akurat. Selain itu, pesawat ini mampu membawa berbagai jenis senjata, termasuk rudal udara-ke-udara seperti AIM-120 AMRAAM, rudal udara-ke-darat AGM-65 Maverick, serta bom berpemandu laser dan bom pintar.
Dalam konteks hukum di Indonesia, pengadaan pesawat tempur F-16 Block 70/72 harus mematuhi kerangka peraturan yang mengatur alutsista dan pertahanan nasional. Undang-Undang No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan adalah salah satu regulasi utama yang relevan, bertujuan untuk memperkuat kemandirian industri pertahanan dan meningkatkan kapasitas lokal dalam pengadaan alutsista. Pasal 43 undang-undang ini menegaskan bahwa pengadaan alutsista harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan memperhatikan kepentingan pertahanan nasional serta kemampuan industri pertahanan dalam negeri. Oleh karena itu, dalam pengadaan F-16 Block 70/72, Indonesia perlu mempertimbangkan komponen lokal melalui kerja sama produksi, transfer teknologi, atau offset. Selain itu, perjanjian pertahanan internasional, seperti kerja sama militer antara Indonesia dan Amerika Serikat, juga mempengaruhi proses pengadaan ini.
Secara internasional, pengadaan F-16 Block 70/72 oleh Indonesia harus mematuhi ketentuan International Traffic in Arms Regulations (ITAR) yang diberlakukan oleh Amerika Serikat. ITAR mengatur ekspor dan transfer teknologi militer AS ke negara-negara mitra, termasuk pembatasan penggunaan dan pengalihan teknologi oleh negara pembeli. Kepatuhan terhadap ITAR dapat mempengaruhi sejauh mana transfer teknologi dan keterlibatan industri pertahanan lokal dalam program ini.
Pengadaan F-16 Block 70/72 oleh Indonesia tidak hanya harus mematuhi regulasi nasional dan internasional, tetapi juga mempertimbangkan beberapa aspek tambahan. Kebijakan Keamanan Nasional, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, menekankan pentingnya modernisasi alutsista untuk meningkatkan kapabilitas pertahanan udara. Selain itu, penggunaan alutsista asing seperti F-16 harus tetap mempertahankan kontrol penuh oleh Indonesia, sesuai dengan prinsip kedaulatan negara yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang menyatakan bahwa setiap perjanjian internasional harus menjamin kepentingan nasional dan tidak boleh mengurangi hak-hak kedaulatan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H