Pembelian jet tempur Rafale oleh TNI Angkatan Udara (TNI-AU) diharapkan dapat menggantikan sebagian armada Su-27 dan Su-30, terutama dalam upaya modernisasi alutsista TNI-AU. Dalam beberapa tahun terakhir, TNI-AU menghadapi tantangan besar terkait pemeliharaan dan keberlanjutan operasional armada Sukhoi Su-27 dan Su-30. Keterbatasan suku cadang serta sanksi internasional terhadap Rusia, negara asal Su-27/30, menambah kesulitan dalam memastikan kesiapan operasional pesawat tersebut dalam jangka panjang.
Pembelian jet tempur Rafale dari Prancis oleh Indonesia merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kemampuan tempur udara negara tersebut. Sebagai pesawat tempur multirole generasi 4.5, Rafale menawarkan fleksibilitas yang lebih tinggi dibandingkan Su-27 dan Su-30, berkat sistem avionik dan persenjataan yang lebih modern. Selain itu, kompatibilitas Rafale dengan teknologi dan dukungan logistik dari negara-negara Barat memberikan keuntungan tambahan. Pesawat ini mampu menjalankan berbagai misi, termasuk pertahanan udara, serangan darat, dan operasi maritim, yang sebelumnya diemban oleh Su-27 dan Su-30.
Meskipun demikian, pernyataan resmi dari TNI Angkatan Udara dan Kementerian Pertahanan menegaskan bahwa akuisisi Rafale tidak semata-mata dimaksudkan untuk menggantikan Su-27/30. Sebaliknya, langkah ini bertujuan untuk memperkuat kapabilitas udara yang diperlukan dalam menghadapi tantangan keamanan yang semakin kompleks di kawasan Asia-Pasifik.
Kebijakan modernisasi alutsista TNI Angkatan Udara secara hukum berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, khususnya Pasal 16. Pasal ini menyatakan bahwa pengadaan peralatan dan persenjataan pertahanan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar pertahanan negara dan meningkatkan kemampuan pertahanan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam konteks ini, akuisisi Rafale oleh TNI Angkatan Udara dapat dipandang sebagai langkah untuk memenuhi kebutuhan Minimum Essential Force (MEF) yang diatur dalam kebijakan pertahanan nasional. Selain itu, Pasal 30 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menegaskan pentingnya TNI, termasuk TNI Angkatan Udara, untuk memiliki kemampuan dan kesiapan yang sejalan dengan perkembangan teknologi dan ancaman yang ada.
Secara empiris, pesawat tempur Rafale menunjukkan efisiensi operasional yang unggul, terutama dalam aspek keandalan sistem dan biaya pemeliharaan yang lebih rendah dibandingkan dengan pesawat Sukhoi, yang telah menjadi tantangan bagi TNI-AU selama beberapa dekade terakhir. Selain itu, Rafale memiliki kemampuan integrasi yang lebih baik dengan sistem pertahanan udara dan peralatan militer dari negara-negara mitra Indonesia seperti Prancis, Amerika Serikat, dan negara-negara NATO lainnya. Hal ini menjadikan Rafale sebagai pilihan yang lebih strategis dan ekonomis dalam konteks modernisasi angkatan udara Indonesia.
Mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, peralihan dari Su-27/30 ke Rafale merupakan langkah yang masuk akal untuk memperkuat postur pertahanan udara Indonesia. Namun, perlu dicatat bahwa transisi ini belum sepenuhnya dikonfirmasi sebagai pengganti langsung untuk seluruh armada tempur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H