Pertimbangan untuk mengakuisisi Su-57 oleh Angkatan Udara Indonesia harus memperhatikan berbagai tantangan yang ada. Keputusan ini perlu didasarkan pada beberapa aspek penting, termasuk kebutuhan strategis Angkatan Udara Indonesia, kapabilitas teknis Su-57, serta kendala operasional yang mungkin dihadapi dalam konteks militer Indonesia.
Angkatan Udara Indonesia perlu mengevaluasi kemampuan pertahanan udara yang mutakhir untuk menghadapi ancaman regional. Jet tempur Su-57, sebagai pesawat generasi kelima, menawarkan teknologi siluman, manuverabilitas tinggi, dan integrasi sistem senjata canggih, menjadikannya komponen vital untuk mencapai superioritas udara. Di kawasan Asia Tenggara, terutama dengan meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan, peningkatan kemampuan tempur udara akan memperkuat posisi Angkatan Udara Indonesia dalam menjaga kedaulatan wilayah udaranya.
Namun, sebelum memutuskan pembelian, perlu dipertimbangkan bagaimana Su-57 dapat diintegrasikan dengan struktur dan strategi pertahanan udara Indonesia yang saat ini masih mengandalkan pesawat tempur generasi keempat seperti F-16 dan Su-27/30.
Pemeliharaan dan logistik Su-57 memerlukan infrastruktur yang lebih maju serta pasokan suku cadang yang konsisten, mengingat statusnya sebagai jet tempur baru. Dengan adanya sanksi internasional terhadap Rusia, termasuk di sektor teknologi militer, terdapat risiko terhadap ketersediaan suku cadang dan dukungan teknis jangka panjang. Tantangan logistik ini dapat berdampak pada kesiapan operasional Su-57 dalam jangka panjang.
Interoperabilitas: Salah satu tantangan utama adalah memastikan kompatibilitas dengan sistem pertahanan yang ada. Saat ini, Angkatan Udara Indonesia mengoperasikan berbagai jet tempur dari Amerika Serikat dan Eropa (seperti F-16 dan Rafale), sehingga penting untuk memastikan bahwa Su-57 dapat diintegrasikan secara efektif ke dalam sistem pertahanan yang sebagian besar berbasis teknologi Barat. Perbedaan standar teknologi antara Rusia dan Barat, terutama dalam hal sistem radar dan komunikasi, dapat menjadi hambatan yang signifikan.
Keberlanjutan Teknologi dan Adaptasi Sistem: Rusia masih dalam tahap pengembangan lanjutan Su-57, dengan beberapa laporan menunjukkan bahwa program produksinya belum sepenuhnya matang. Hal ini berarti bahwa Angkatan Udara Indonesia mungkin perlu menyesuaikan diri dengan kemungkinan peningkatan di masa depan, yang dapat mengakibatkan biaya tambahan.
Dalam konteks kebutuhan strategis, TNI-AU memerlukan modernisasi aset udara untuk mempertahankan superioritas udara dan menyesuaikan diri dengan dinamika ancaman regional. Jet tempur generasi kelima seperti Su-57 menawarkan keunggulan signifikan dalam hal kemampuan stealth, kemampuan tempur jarak jauh, dan kemampuan untuk bersaing dengan jet tempur canggih lainnya yang dioperasikan oleh negara-negara di kawasan Asia Pasifik, seperti F-35. Namun, sebelum memutuskan untuk mengakuisisi Su-57, perlu dilakukan pertimbangan yang cermat terhadap opsi lain seperti F-35 atau Rafale, yang memiliki dukungan internasional yang lebih luas dan telah terbukti interoperable dengan aliansi pertahanan yang lebih kuat.
Dalam kerangka hukum, pembelian alutsista oleh TNI diatur oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, khususnya Pasal 43 yang menegaskan bahwa pengadaan alutsista harus memperhatikan aspek kemandirian, keberlanjutan, dan kemampuan operasional jangka panjang. Pasal ini menyoroti pentingnya keberlanjutan operasional alutsista yang diimpor, termasuk kesiapan industri dalam negeri untuk mendukungnya. Dalam konteks pengadaan Su-57, tantangan logistik dan keberlanjutan dukungan teknis harus diatasi untuk memenuhi ketentuan ini.