SANG GURU
Adriansyah A. Katili
Aku  sedang mengenang dua orang mantan guru agamaku di SMA tiga puluh delapan tahun yang lalu. Yang pertama adalah seorang pria yang selalu mengenakan jubah, bersurban dan berjanggut tebal. Namanya Syafii. Seorang yang boleh dikatakan sangat puritan dalam beragama, mendekati kolot dalam menyikapi situasi sosial dan sangat anti pada kebebasan berpikir.
Aku teringat pertama kali dia masuk. Mulai dengan pelajaran tentang sholat. Aku ingat dialog antara kami dalam kelas.
"Apakah arti sholat? Â Siapa yang bisa menjawab?"
Aku yang mengangkat tanganku menjawab dengan penuh percaya diri, "Sholat adalah pertemuan puitis antara dua maha, maha pendamba dan Maha Pencinta."
"Jawaban apa itu?" Katanya dengan marah." Ini pelajaran agama, jangan ngawur. Sholat adalah ibadah wajib yang kalau kalian tidak laksanakan akan menyebabkan kalian berdosa dan akan dibakar di neraka."
Itulah kali pertama aku mendapat semprotan dari guru. Sebelumnya tidak ada guru yang menyemprot aku sedemikian.
Minggu berikutnya dia bertanya, "Apakah Alquran itu?"
Setelah tidak ada teman-temanku yang mengangkat tangannya, aku angkat tanganku dan aku menjawab, "Alquran adalah surat cinta Tuhan kepada hambaNya."