AKREDITASI PUASA
Pada tanggal 22 Maret 2024, saya menulis sebuah artikel sederhana di Kompasiana. Artikel itu saya beri judul Universitas Ramadan. Artikel itu mengibaratkan Ramadan sebagai sebuah universitas di mana kita menjalani pendidikan dengan harapan kita bisa memperoleh gelar Takwa sebagaimana menjadi tujuan puasa yang dikatakan Allah SWT dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 183. Artikel ini lebih jauh lagi menginspirasi saya untuk menulis artikel dengan topik Akreditas Puasa.
Apakah akreditasi itu? Dalam dunia perguruan tinggi akreditasi itu adalah sebuah sertifikat yang menunjukan kualitas perguruan tinggi. Sebuah peguruan tinggi yang terakreditasi  menunjukkan bahwa perguruan tinggi itu berkualitas. Tingkat kualitas diindikasikan dengan tingkat akreditasi A atau B. Tingkat kualitas A adalah tingkat akreditasi tertinggi. Belakangan tingkat akreditasi itu kemudian berubah menjadi terakreditasi unggul yang menunjukkan bahwa perguruan tinggi itu unggul baik dari segi manajemen, kualitas SDM, sarana prasarana, maupun kegiatan akademisnya.
Bagaimana dengan akreditasi puasa? Mungkinkah kita menerapkan akreditasi puasa? Bagaimana menerapkan akreditasi puasa? Menurut saya puasa bisa diakreditasi, bahkan menjadi suatu kebutuhan untuk tidak mengatakan sebagai suatu keharusan. Namun bila yang mengkareditasi perguruan tinggi adalah lembaga akreditasi perguruan tinggi semisal BAN PT atau lembaga akreditasi lainnya, maka yang melakukan akreditas puasa adalah masing-masing individu yang berpuasa. Puasa siapa yang diakreditasi? Maka jawabnya adalah puasa masing-masing kita. Ringkasnya setiap kita mengakreditasi puasa kita, bukan puasa orang lain.
Lantas bagaimana kita mengakreditas puasa kita masing=masing? Bagaimana kriterianya akreditas puasa? Kita bisa menerapkan kriteria puasa yang diusulkan oleh Al Gazali. Al Gazali mengatakan bahwa kualitas puasa itu terbagi tiga tingkatan. Tingkatan pertama puasa awam. Indikator puasa ini adalah puasa yang hanya menahan diri dari lapar dan haus, tidak melakukan hubungan suami isteri. Namun hal-hal yang bersifat etika sosial tidak terlaksana. Orang yang berada pada tingkat puasa ini masih menggibah, bergosip, menyakiti orang lain, dan yang parah masih korupsi (pejabat).
Kulitas Tingkat kedua adalah puasa hawas. Indikatornya adalah bila kita tidak hanya menahan diri untuk tidak makan dan minum, tidak berhubungan intim suami isteri, tapi juga mengamalkan etika. Dia tidak menggibah, tidak menzalimi orang lain, tidak merusak lingkungan, dan para pejabat tidak korupsi.
Kualitas tingkat ketiga atau tertinggi adalah hawasul hawas. Indikator lualitas puasa ini sudah pada tingkat spiritual. Mereka yanjh tidak hanya tidak kakan dan minum, tidak melakukan hubungan suami isteri, menjaga etika moral, tapi juga melakukan olah spiritual. Mereka yang hatinya senantiasa terpaut kepada Allah dan tidak berpaling dari-Nya walau hanya sejenak adalah yang termasuk dalam puasa Tingkat ini.
Kapan kita melakukan akreditasi puasa kita? Menurut saya sapnjang waktu, sejak kita melakukan ibadah ini sampai salesai. Singkatnya saat berpuasa sampai pasca puasa. Saat berpuasa untuk meningkatkan kualitas puasa, dan sampai pasca puasa untuk menjaga supaya puasa kita berbekas dalam bentuk kita menjadi insan bertakwa.
Demikian, pertanyaannya adalah, bagaimana akreditasi puasa kita? Sudahkan kita melakukan akreditasi puasa kita masing-masing?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H