Dalam ritual itu saudara-saudara kita melakukan ritual sebagai penghormatan kepada Yesus yang mereka yakini sebagai Putera Tuhan yang lahir kedunia untuk mati sebagai penebus dosa.
Yang Muslim, karena Aqidah Islam yang mengatakan Bahwa Tuhan Allah itu esa, tidak beranak dan tidak sebagai anak, tidak dianjurkan untuk ikut melakukan ritual itu.Â
Namun kita diwajibkan oleh ajaran Islam untuk bersikap toleran terhadap saudara-saudara yang melakukan ibadah ritual agama lain termasuk Natal. Kita tidak boleh mengganggu mereka, baik dengan tindakan ataupun dengan ucapan yang memecah belah kita.
Namun bagaimana toleran itu? Apakah harus mengorbankan aqidah Islam dengan cara ikut melakukan ritual Natal seperti ikut menyanyikan lagu Malam Kudus? Menurut hemat saya, yang Muslim tidak harus seperti itu. Kita tidak dianjurkan mencampuradukkan ajaran kita dengan ajaran lain.
Sama seperti sholat Idul Fitri dan Idul Adha. Umat beragama lain tidak harus ikut sholat Idul dan sholat Idul Adha ataupun sholat lainnya. Karena itu adalah wilayah peribadatan Muslim.
Toleransi, sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Ing B.J. Habibie, adalah seperti minuman kopi dan teh. Kita tidak perlu mencampuadukkan kedua jenis minuman itu karena keduanya memiliki karakteristik sendiri. Yang memilih kopi tidak boleh memaksa yang memilih teh untuk mencampurkannya dengan teh, demikian juga sebaliknya.
Saya memisalkan kita bersama-sama menikmati minuman pilihan kita. Kedua minuman itu berada di atas meja besar benama Indonesia. Meja itu berdiri di atas landasan Pancasila. Kita duduk bersama-sama menikmati minuman kita masing-masing. Duduk akrab, saling tersenyum saling memahami, saling menghormati pilihan minuman pilihan masing-masing. Dan saling mengucapkan kata "Silahkan dan selamat menikmati minuman Anda." Dengan cara itu kita tetap bersaudara meski memiliki pilihan yang berbeda.