Pendidikan yang memghasilkan generasi bisu diulas oleh Paulo Freire dalam bukunya berjudul The Politic of Education: Culture, Power, and Liberation yang diterjemahkan oleh Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartato ke Bahasa Indonesia menjadi Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Buku terjemahan ini diterbitkan oleh READ (Research, Education, and Dialogue).Â
Apakah generasi bisu itu? Â Menurut Freire, generasi bisu adalah generasi yang sengaja dibisukan oleh institusi pendidikan melalui kekuasaan. Generai yang dididik seharusnya diberi kebebasan berpikir dan menyuarakan idea. Namun dalam institusi itu siswa tidak diberikan kesempatan berpikir dan menyuarakan pikirannya. Bagaimana proses pembisuan itu? Mari kita bahas.
Proses pembisuan dilakukan melalui metode pendidikan yang diintrodusir oleh pihak yang menguasai masyarakat secara politik. Itu dilakukan melalui kebijakan pendidikan yang kemudian dijalankan oleh institusi pendidikan melalui para guru. Bagaimana sistem pendidikan yang yang membisukan generasi kita? Bisa kita lihat, misalnya pemberantasan buta huruf. Apakah yang dimaksudkan dengan pemberantasa buta huruf? Apakah sekedar agar masyarakat bisa membaca rangkaian huruf, meski rangkaian itu tidak bermakna bagi mereka? Sebagai misal, rangkaian huruf yang membentuk kalimat Burung terbang tinggi. Apa makna burung terbang tinggi bagi masyarakat? Apakah ini bermakna bagi peningkatan kesadaran reflektif bagi mereka, bahwa mereka adalah manusia yang hidup di alam, yang memiliki hak? Bukankah akan lebih bermakna bila kalimat Burung terbang tinggi diganti dengan, misalnya Tanahku subur, atau Lautku luas? Kedua kalimat itu akan meningkatkan kesadaran reflektif, bahwa mereka memiliki kekayaan alam dan mereka berhak atas kekayaan alam itu. Maka kalimat ini bukan hanya membebaskan mereka dari kondisi buta huruf tapi juga dari buta kesadaran.
Maka ketika mereka akan berlatih menulis, mereka bukan hanya merangkaikan huruf menjadi bunyi, tapi menyuarakan kepentingan dan hak mereka atas kehidupan ini. Bahwa mereka adalah manusia yang memiliki hak yang sama dengan para pemilik modal atas kekayaan alam ini. Bahwa mereka harus berubah menjadi lebih berkualitas sehingga mampu menggunakan kekayaan alam denga lebih baik.
Proses pembisuan generasi juga dilakukan melalui materi bahan ajar. Saat masih menjalani pendidikan di sekolah dasar di zaman Orde Baru, saya diajarkan dua pepatah yang berasal dari buku paket Bahasa Indonesia. Pepatah yang pertama Tong kosong nyaring bunyinya. Pepatah ini kemudian diikuti dengan penjelasan bahwa mereka yang banyak cakap adalah mereka yang berotak kosong. Ini menimbulkan kesan bahwa setiap mereka yang vokal pasti berotak kosong.
Pepatah kedua berbunyi Diam-diam ubi berisi. Pepatah ini kemudia diikuti penjelasan bahwa mereka yang pintar adalah mereka yang diam, tak banyak cakap. Maka kemudian timbul endapan dalam alam bawah sadar bahwa mereka sebaiknya diam karena itu ciri dari orang yang pintar.
Lantas, apa definisi pintar? Selama puluhan tahun, dimulai dari zaman kekuasaan pemerintah Orde Baru, generasi yang dianggap pintar adalah mereka yang memiliki pengetahuan yang dihapal dari ruang kelas. Hapalan itu kemudian diujikan dalam ujian yang terstandar. Bentuk ujiannya adalah pilihan ganda, di mana tak ada kesempatan bagi peserta didik untuk mengutarakan pikirannya. Pemeriksaan terhadap hasil ujian dilaksanakan untuk menentukan benar tidaknya pilihan jawaban. Penentuan kebenaran didasarkan pada kunci jawaban yang telah ditentukan dari penentu kebijakan bidang pendidikan. Maka di sinilah terjadinya proses penggiringan pikiran, bukan kebebasan berpikir secara kritis.
Pendidikan yang demikian sukses menjadikan generasi bisu. Generasi yang dianggap pintar tapi tidak mampu mengartikulasikan pikiran dan perasaannya. Mereka mampu menghapal tapi tak mampu berpendapat. Dari sisi politik kekuasaan, ini berkontribusi bagi bertahannya kekuasaan orde baru selama 30 tahun. Â Saya katakan berkontribusi karena generasi bisu adalah generasi yang kehilangan daya nalar dan kehilangan kekuatan kritis terhadap segala keadaan dan ini berpotenasi melanggengkan kekuasaan.
Lantas bagaimana pendidikan yang menghasilkan generasi yang vokal? Menurut Freire, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang transformatif. Pendidikan yang transformatif adalah pendidikan yang mampu mengubah manusia, dan manusia itulah yang akan mengubah dunia. Ini dicontohkan oleh H. Ahmad Dahlan dengan gerakan pendidikan dalam Muhammadiyah. Model pendidikan Muhammadiyah ini menghasilkan generasi yang mampu berbuat. Dengan metode pendidikan dalam mengimplementasikan Surat Almaun, Haji Ahmad Dahlan mampu menghasilkan generasi yang bukan hanya vokal, tapi juga mampu beraksi nyata. Dalam mengajar Haji Ahmad Dahlan sering membuka dialog dengan para muridnya. Proses dialog inilah yang menjadikan sekolah Muhammadiyah  menjadi pusat perubahan yang pada gilirannya menghasilkan agen perubahan yang hasilnya kita bisa nikmati hingga kini.
Model pendidikan ini juga yang menghasilkan seorang penulis legendari, Hamka. Hamka bukanlah generasi yang bisu, tapi generasi yang vokal melalui tulisan-tulisan dan ceramahnya. Pidato dan tulisan yang mampu menggugah masyarakat untuk memiliki kesadaran berbangsa, yang mampu melawan kekuasaan penjajahan Belanda, dan kemudian kekuasaan pemerintahan orde lama yang dirasakan keluar dari rel Pancasila.
Lantas, apa peran guru? Peran guru, menurut Freire, adalah bersama-sama dengan murid membaca kenyataan untuk menjadi bahan pelajaran. Kemudian bersama-sama murid merumuskan keadaan. Lalu bersama-sama menciptakan idea perubahan. Singkatnya, bersama-sama murid belajar menciptakan dan menyuarakan idea perubahan, bukan mengkonsumsi idea yang belum tentu bermanfaat bagi mereka.
Bagaimana kita bisa mewujudkan pendidikan seperti itu? Jawabannya adalah dengan membebaskan pendidikan dari belenggu kekuasaan. Jangan biarkan pendidikan menjadi agen pelestari kekuasaan, tapi sebagai sumber perubahan. Dan guru sebagai ujung tombak pendidikan harus dimerdekakan dari kewajiban menjadi agen kekuasaan. Jadikan guru sebagai agen perubahan seperti H. Ahmad Dahlan dan para murid serta pengikutnya yang menjadi agen perubahan cara berpikir umat pada masanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H