Tolangga ini kemudian diarak menuju masjid di mana peringatan maulid nabi sedang berlangsung. Khusus peringatan Maulid Nabi di desa Bongo, tempat peringatan adalah Masjid Attaqwa yang merupakan masjid tertua di desa itu. Â Ketersediaan kue ini seolah melambangkan kesyukuran dan kegembiraan atas datangnya nabi dan rasul.
Tolangga-tolangga itu kemudian dipajang di pelataran masjid dan kemudian menjadi obyek wisata tersendiri bagi pengunjung. Bahkan tolangga ini menjadi latar belakang para pengunjung yang ingin melakukan foto selfie sebagai kenang-kenangan. Menurut pemantauan penulis, pelataran pelataran masjid dipenuhi dengan tolangga.
Menurut penuturan Junus Dama, pada tahun ini, kue kolombengi yang dibawa ke masjid bejumlah 46.500 kue. Kue ini kemudian akan dibagikan kepada para pelantun dikili. Pada umumnya para pelantun dikili sangat bersuka dengan kue ini karena dianggap sebagai kue yang membawa berkah.
Namun masih menurut Junus Dama, bukan hanya para pekantun dikili yang mendapat kue ini. Pada umumnya setiap keluarga membuat kue kolombengi yang ditempatkan di tolangga dan mengaraknya ke masjid. Namun jumlah kue yang dibawa ke masjid hanya sepertiga dari keseluruhan kue yang dibuat. Sebagian besar, atau dua pertiga dari kue yang ada berada di rumah-rumah keluarga yang membuat. Kue-kue yang berada di rumah itu yang kemudia dibagikan pada para pengunjung yang datang, baik pengunjung yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Para pengunjung pada umumnya sangat bergembira mendapat kue ini karena dianggap istimewa dan membawa berkah. Para pengunjung membawa pulang kue-kue ini sebagai oleh-oleh untuk keluarga dan teman-teman akrab mereka.
Ajang Melepas Rindu
Bagi warga Desa Bongo, saat untuk mudik ke desa melepas rindu pada tanah leluhur dan keluarga bukanlah pada saat Idul Fitri sebagaimana Ummat Islam pada umumnya. Bagi mereka saat untuk melepas rindu pada tanah leluhur adalah pada saat peringatan Maulid Nabi di desa mereka. Warga desa Bongo di perantauan, di mana saja mereka merantau akan pulang mudik ke desa tempat kelahiran mereka, atau bila mereka tidak dilahirkan di desa itu nereka akan mengok kampung leluhur.
Kue kolombengi bagi mereka adalah simbol kegembiraan. Mereka akan datang pulang ke desa itu untuk sebuah kerinduan yang disimbolkan dengan kue kolombengi yang menjadi kue khas maulud. Mereka akan menyantap kue itu dengan penuh kerinduan, sebagaimana terpancar dari wajah-wajah mereka.
Di samping sebagai simbol kerinduan pada tanah leluhur, maulud menjadi simbol kesalehan berbingkai kearifan lokal. Â Kesalehan bisa diartikan sebagai kecintaan kepada agama, nabi, dan ketaatan kepada perintah agama. Kesalehan dalam beragama itu dapat dibagi dua, kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kesalehan ritual diiimpelentasikan dalam bentuk ibadah ritual. Kesalehan sosial diwujudkan dalam bentuk saling tolong menolong, saling berbagi. Bergembira dalam menyambut kelahiran nabi adalah salah satu dari kesalehan ritual itu. Kue kolombengi yang ditata dalam tolangga yang dihias indah menyimbolkan keindahan iman, keindahan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang kelahirannya sedang diperingati. Kesadaran akan keindahan ajaran itu kemudian melahirkan kesalehan ritual dalam bentuk ketaatan beribadah.
Sementara itu, semangat berbagi kue adalah implementasi dari kesalehan sosial. Semangat berbagi, semangat menjamu tamu dengan kue adalah wujud dari kepedulian. Menghargai tamu, berbagi rezeki, dan aneka keperdulian sosial lainnya adalah wujud dari ajaran Islam.
Sebuah implementasi kesalehan dan sekaligus sebuah ekspresi kerinduan pada tanah leluhur. Islam memang indah dan budaya lokal memang sangat ekspresif. Sebuah perpaduan yang ekslusif dan patut dipertahankan.