Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Editor Video, Graphic Designer

SRI WINTALA ACHMAD, pernah belajar di Fak. Filsafat UGM Yogyakarta. Karya-karya sastranya dipublikasikan di Kompas, Republika, Suara Karya, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Lampung Pos, Trans Sumatera, Bangka Pos, Solo Pos, Surabaya Pos, Banjarmasin Pos, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Bernas, Masa Kini, Yogya Pos, Merapi, Fajar Sumatera, Amanah (Malaysia), Aksara International Journal of Indonesian Literature (Australia), Suara Muhammadiyah, Adiluhung, Trapsila, Bakti, Praba, Gong, Artista, Mata Jendela, Jaya Baya, Djaka Lodang, Penyebar Semangat, Mekarsari, Pagagan, Sempulur, Swaratama, Karas, dll. Antologi sastra dan esai kolektifnya: Pelangi (Karta Pustaka/Rasialima, 1988); Nirmana (Wirofens Group, 1990); Alif-Lam-Mim (Teater Eska/SAS, 1990); Zamrud Katulistiwa (Balai Bahasa Yogyakarta/Taman Budaya Yogyakarta, 1997); Sastra Kepulauan (Dewan Kesenian Sulawesi Selatan, 1999); Pasar Kembang (Komunitas Sastra Indonesia, 2000); Embun Tajali (FKY 2000); Lirik Lereng Merapi (Dewan Kesenian Sleman, 2000); Bilah Belati di Depan Cermin (Dewan Kesenian Sleman, 2002); Di Batas Jogja (FKY, 2002); Code (FKY, 2005); Musik Puisi Nasional (LKiS, 2006); Malioboro (Balai Bahasa Yogyakarta, 2008); Perempuan Bermulut Api (Balai Bahasa Yogyakarta, 2010); Tiga Peluru (Kumpulan Cerpen Pilihan Mingguan Minggu Pagi Yogyakarta, 2010); Pasewakan (2011), Kembali Jogja Membaca Sastra (Rumah Budaya Tembi, 2011); Suluk Mataram (Great Publisher, 2011); Jejak Sajak (Jambi, 2012); Dari Sragen Memandang Indonesia (Dewan Kesenian Sragen, 2012); Sauk Seloko – Pertemuan Penyair Nusantara VI (Dewan Kesenian Jambi, 2012); Indonesia di Titik 13 (Dewan Kesenian Pekalongan, 2013); Spring Fiesta [Pesta Musim Semi] (Indonesian & English Poetry Grup & Araska Publisher, 2013); Tifa Nusantara I (Temu Penyair Nusantara – Dewan Kesenian Tangerang, 2013); Sesotya Prabangkara ing Langit Ngayogya (Yogyakarta, 2014); Negeri Langit (Komunitas Radja Ketjil Jakarta, 2014); Rantau Cinta, Rantau Sejarah (Jurnal Sajak, 2014); Tifa Nusantara II (Temu Penyair Nusantara – Dewan Kesenian Tangerang, 2015); Pesta Rakyat Sleman (Digna Pustaka dan Lingkar Budaya Sleman, 2015); Jalan Remang Kesaksian (LPSK/Rumah Budaya Tembi, 2015); Jejak Tak Berpasar (Komunitas Sastra Indonesia/Yayasan Laksita, 2015); Memandang Bekasi (Dewan Kesenian Bekasi/Dinas Parbudpora Kabupaten Bekasi, 2015); Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Ije Lela Tifa Nusantara 3 (Marabahan, 2016); Klungkung Tanah Tua, Tanah Cinta (Klungkung Bali, 2016); Matahari Cinta Samudra Kata (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2016); Seratus Puisi Qurani (2016); Kopi Penyair Dunia (2016); Pesan Damai untuk Seluruh Manusia (PCIUN Maroko, 2017); Kota Terbayang (Taman Budaya Yogyakarta, 2017); Puisi Tentang Bogor (2017); Puisi Tentang Masjid (2017); Dari Partai Demokrat untuk Indonesia (2017); Senja Jati Gede (2017); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018); Dari Cempuring ke Sunan Panggung (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018); Kembang Glepang (2018); Sesapa Mesra Selinting Cinta – Temu Penyair Nusantara XI (Kudus, 2019); Terus Berkarya di Usia Senja, Brengkesan 72 Tahun Ahmad Tohari (2020); Nalika Rembulan Bunder (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2020); Nunggak Semi Dunia Iman Budhi Santosa (2021), naskah lakon terjemahan Dahuru ing Negeri Semut (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2021); Sejuta Puisi untuk Jakarta (2022), dan Kembang Glepang 3 (2023). Novel, fiksi sejarah, cerita rakyat, cerita wayang: Centhini: Malam Ketika Hujan (Diva Press Yogyakarta, 2011); Dharma Cinta (Laksana, 2011); Jaman Gemblung (Diva Press Yogyakarta, 2011); Sabdapalon (Araska, 2011); Dharma Gandul: Sabda Pamungkas dari Guru Sabdajati (Araska, 2012); Ratu Kalinyamat: Tapa Wuda Asinjang Rikma (Araska, 2012); Kiamat: Petaka di Negeri Madyantara (In AzNa Books, 2012); Centhini: Kupu-Kupu Putih di Langit Jurang Jangkung (Araska, 2012); Serial Crita Rakyat Dahuru ing Praja Wilwatikta (Majalah Djaka Lodang, 2022); Serial Crita Rakyat Pletheke Surya Wilwatikta (Majalah Jayabaya, 2022-2023); dan Serial Crita Rakyat Sigare Bumi Wilwatikta (Majalah Penyebar Semangat, 2023); dan Serial Crita Wayang Kresna Duta (Majalah Jayabaya, 2024). Buku-buku lainnya yang sudah terbit: Membuka Gerbang Dunia Anak (Annora Media, 2009); Suyudana Lengser Keprabon (In AzNa Books, 2011); Kisah Jagad Pakeliran Jawa (Araska, 2011); Wisdom Van Java (In AzNa Books, 2012); Falsafah Kepemimpinan Jawa: Soeharto, Sri Sultan HB IX & Jokowi (Araska, 2013); Sejarah Kejayaan Singhasari & Kitab Para Datu (Araska, 2013); Babad Tanah Jawa (Araska, 2014); Sejarah Raja-Raja Jawa (Araska, 2014); Satriya Piningit (Araska, 2014); Geger Bumi Mataram (Araska, 2014); Geger Bumi Majapahit (Araska, 2014); Ensklopedia Kearifan Jawa (Araska, 2014); Sejarah Perang di Bumi Jawa (Araska, 2014); Sejarah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan di Nusantara (Araska, 2014); Ensklopedia Raja-Raja Nusantara (Araska, 2014); Ensklopedia Karakter Tokoh-Tokoh Wayang (Araska, 2014); Wanita dalam Khasanah Pewayangan (Araska, 2015); Aja Dumeh: Buku Pintar Kearifan Orang Jawa (Araska, 2015); Panduan Praktis Menjadi Penulis Andal: Karya Ilmiah, Artikel, Resensi, Apresiasi & Kritik Seni, Naskah Lakon, Puisi, Cerpen, dan Novel (Araska, 2015); Buku Induk Bahasa dan Sastra Indonesia (Araska, 2015); Mahir Peribahasa Indonesia (Araska, 2015); Buku Induk EYD (Araska, 2015); Politik dalam Sejarah Kerajaan Jawa (Araska, 2016); Babad Tanah Jawa: dari Watugunung yang Menikahi Ibunya hingga Geger PeChinan (Araska, 2016); Petuah-Petuah Leluhur Jawa (Araska, 2016); Babad Giyanti: Palihan Nagari dan Perjanjian Salatiga (Araska, 2016); 13 Raja Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah Kerajaan di Tanah Jawa (Araska, 2016); Sejarah Kerajaan-Kerajaan Besar di Nusantara (Araska, 2016); Menulis Kreatif itu Gampang (Araska, 2016); Sejarah Pemberontakan Kerajaan di Jawa (Araska, 2017); Filsafat Jawa (Araska, 2017); Sejarah dan Asal-Usul Orang Jawa (Araska, 2017); Sejarah Raja-Raja Jawa dari Kalingga hingga Mataram Islam (Araska, 2017); Sejarah Istri-Istri Raja Jawa (Araska, 2017); Sejarah Islam di Tanah Jawa (Araska, 2017); Kisah Horror Ketemu Genderuwo (Araska, 2017); Sang Jenderal: Riwayat Hidup, Perjuangan, dan Cinta Jenderal Soedirman (Araska, 2017); Sejarah Perang Kerajaan-Kerajaan di Nusantara (Araska, 2017); Etika Jawa (Araska, 2018); Filsafat Kepemimpinan Jawa (Araska, 2018); Kronik Perang Saudara dalam Sejarah Kerajaan di Jawa 1292-1767 (Araska, 2018); Sejarah Runtuhnya Sriwijaya dan Majapahit (Araska, 2018); Hitam Putih Mahapatih Gajah Mada (Araska, 2018); Sultan Agung: Menelusuri Jejak-Jejak Kekuasaan Mataram (Araska, 2019); Sejarah Kejayaan Singhasari Antara Mitos, Fakta, Pesona, dan Sisi Kelamnya (Araska, 2019); Untung Surapati: Pemberontakan Seorang Budak (Araska, 2019); Ratu Kalinyamat (Araska, 2019); Hitam Putih Majapahit (Araska, 2019); Gajah Mada Kisah Cinta dan Kisah Penakluk-Penaklukannya (Araska, 2019); Perang Bubat (Araska, 2020); Babad Diponegoro: Kisah Sejarah, Silsilah & Pemikiran Sufistik Pangeran Diponegoro (Araska, 2023), Etika Jawa: Prinsip Hidup dan Pedoman Hidup Orang Jawa (Araska, 2023), Falsafah Kepemimpinan Jawa: Menyelami Kearifan dan Filosofi Kepemimpinan dalam Budaya Jawa (Araska, 2024), Perang Suksesi Jawa: Melacak Konflik dan Intrik para Pangeran Darah Biru dalam Pergeseran Kekuasaan Di Keraton Jawa (Araska, 2024), dan Horror Tanah Jawa Tumbal Genderuwo (Araska, 2024). Bersama Indra Tranggono dan R. Toto Sugiharto, menulis buku Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #15 (Taman Budaya Yogyakarta, 2016), Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #16 (Taman Budaya Yogyakarta, 2017). Prestasi yang diraih dalam dunia kepenulisan: Nominasi Lomba Cipta Puisi Esai tingkat nasional (2014), Juara II Lomba Cipta Cerpen Sanggar Sastra Bukit Bintang Yogyakarta (2018), Nominasi Lomba Cipta Puisi Nasinal “Sejuta Puisi untuk Jakarta” (2022), dan Juara III Lomba Cipta Puisi Multimedia “Keris,” Dinas Kebudayaan Yogyakarta (2023). Nama kepenyairannya dicatat dalam: Buku Pintar Sastra Indonesia (Pamusuk Eneste, Penerbit Kompas, 2001), dan Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Abdul Hadi WM, Ahmadun Yosi Herfanda, Hasan Aspahani, Rida K Liamsi, dan Sutardji Calzoum Bachri, Yayasan Hari Puisi, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017), Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018), dan Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #18 (Taman Budaya Yogyakarta, 2021). Selain menulis buku, sering menjadi juri lomba baca dan cipta karya sastra di lingkungan sekolah, juri lomba teater dan pantomim, serta dipercaya sebagai nara sumber dalam pelatihan cipta karya sastra untuk siswa dan guru. Sekarang mengelola Paguyuban Sholawat Jawa Langen Ambiya dan Sanggar Lierasi Laras Aksara (Selaksa) Yogyakarta. Yogyakarta. Tinggal di Gejawan Kulon 02/034, Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarta. WA: 0856-0007-1262.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Empat Kesadaran: Dasar Menerapkan Etika Jawa

30 Agustus 2024   21:13 Diperbarui: 30 Agustus 2024   21:25 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ajaran etika Jawa akan dianggap berhasil bila seorang yang melaksanakannya bukan karena terpaksa, sekadar melaksanakan, atau takut mendapatkan sanksi dari orang lain (masyarakat) bila melanggarnya. Keberhasilan ajaran etika Jawa sangat ditentukan dengan si pelaksana yang menerapkannya berdasarkan kesadaran.

Bagi generasi muda yang melaksanakan ajaran etika Jawa berdasarkan kesadaran senantiasa mengacu pada kesadaran peran; kesadaran ruang, tempat, dan wilayah; kesadaran waktu, dan kesadaran sikap. Karena kesadarannya, ia melaksanakan etika tersebut tidak tampak dibuat-buat. Sehingga etika yang sudah melekat dengan perilaku generasi muda menjadi faktor pembentuk kepribadiannya.

Melalui empat kesadaran tersebut, generasi muda akan dapat diketahui sudah melaksanakan ajaran etika Jawa atau belum. Bila sudah, setiap perilakunya akan mengundang simpatik orang lain. Bila belum, segala perilakunya akan membuat orang lain tidak merasa suka.

 

Kesadaran Peran 

Setiap orang senantiasa memiliki suatu peran. Ada seorang yang memiliki peran tunggal, ada pula yang memiliki dua atau bahkan tiga peran. Karena tingkatan peran yang berbeda, seorang menerapkan unggah-ungguh ketika berinteraksi dengan orang lain yang perannya lebih tinggi. 

Di dalam kehidupan rumah tangga, setiap penghuninya memiliki peran yang berbeda. Suami berperan sebagai pimpinan, istri berperan sebagai tetimbangan, anak-anak berperan sebagai anggota. Karena menempati peran tertinggi, suami layak mendapatkan penghormatan dari istri dan anak-anaknya. Di samping kepada ayahnya, anak-anak pula menghormati ibunya.

Di lingkup sekolah, seorang yang memiliki peran tertinggi adalah Kepala Sekolah. Karenanya ia layak dihormati oleh para guru, karyawan, dan seluruh siswa. Sementara, orang-orang yang berperan sebagai siswa musti menghormati kepada guru serta karyawan sekolah. Orang-orang yang berperan sebagai mahasiswa di perguruan tinggi juga harus menghormati kepada dosen, dekan, dan rektor.

Bukan hanya di lingkup keluarga atau sekolah (perguruan tinggi), etika Jawa diterapkan. Di lingkup RT, semua orang yang berperan sebagai warga semustinya menghormati Pak RT. Pak RT menghormati Pak RW. Pak RW menghormati Pak Dukuh. Pak Dukuh menghormati Pak Lurah. Pak Lurah menghormati Pak Panewu. Pak Panewu menghormati Pak Buapati. Pak Bupati menghormati Pak Gubernur. Pak Gubernur menghormati Pak Presiden.

Orang-orang yang berperan sebagai karyawan di suatu perusahaan swasta atau instansi pemerintah semustinya menghormati pimpinannya. Sekalipun usia lebih muda dan secara tingkatan ekonomi lebih rendah, seorang pimpinan semustinya dihormati oleh seluruh karyawan.

Demikianlah aturan tidak tertulis di mana seorang bawahan semustinya menghormati pimpinan. Aturan tersebut tidak hanya berlaku di lingkungan keluarga, namun pula di lingkungan sekolah atau kampus, perusahaan swasta, instansi pemerintah, dan lingkungan lainnya.

Kesadaran Ruang, Tempat, dan Wilayah 

Ruang adalah sutau tempat yang dibatasi dengan dinding-dinding dan berpintu. Sehingga ukuran ruang berukuran lebih sempit dari tempat, area, atau wilayah suatu kampung, desa, kalurahan, kapanewon, kabupaten, provinsi, atau negara. Karena perbedaan makna substansinya tersebut, maka terdapat perbedaan dalam penerapan etika Jawa yang dilakukan oleh seseorang. Perbedaan di dalam penerapan etika berdasarkan ruang, tempat, dan wilayah tersebut kemudian memunculkan ajaran empan papan.

Kesadaran Ruang

Bagi masyarakat Jawa tidak pernah meninggalkan unggah-ungguh bila berada di suatu ruang. Di dalam rumah, anak-anak, remaja, atau pemuda senantiasa diajarkan untuk menerapkan etika. Bukan hanya sewaktu mereka di dalam ruang tamu, namun juga saat berada di ruang makan dan ruang keluarga.

Ketika berada di ruang tamu, mereka harus bisa menghargai dan menghormati tamunya. Di saat bersama keluarga di ruang makan, mereka tidak diperkenankan makan dengan tangan kiri atau menyantap makanan sambil bicara. Di ruang keluarga, mereka harus menerapkan etika seperti tidak boleh ngemil sambil tiduran, tertawa cekakakan, bicara keras, dan sebagainya.

Di dalam ruang kelas atau ruang kuliah, siswa atau mahasiswa harus menggunakan etika. Mereka harus duduk sopan di kursi, menyimak pelajaran dengan baik, menghormati guru atau dosen, mereka harus meninggalkan ruang kelas atau ruang kuliah tanpa berisik seusai pelajaran.

Demikian pula ketika berada di ruang rapat atau pertemuan. Seandainya hanya sebagai anggota dalam organisas, kita tidak diperkenankan duduk di kursi pimpinan. Kita tidak diperkenankan untuk bicara ketika seorang pimpinan, pengurus, atau anggota lain sedang bicara. Bermain android ketika berada di ruang rapat juga dianggap tidak beradab. Unggah-ungguh di dalam ruang rapat hendaklah senantiasa dijaga dengan baik oleh anggota, pengurus, dan pimpinan.

Bukan hanya di ruang makan, ruang tamu, ruang keluarga, ruang kelas (kuliah), atau ruang rapat (pertemuan); etika Jawa tetap digunakan sewaktu berada di dalam perkantoran. Di mana, semua karyawan harus menghormati pimpinan dan staf. Sesama karyawan juga harus saling menghargai antara satu dengan lainnya dan menjaga ruang kerja tetap kondusif.

Berbapai perilaku semisal: bersiul, berlari-lari, atau membuka payung di dalam rumah, kelas, atau kantor dianggap tidak etis. Bila hal itu dilakukan akan muncul komentar negatif dari orang lain kepada si pelaku. Karenanya, perilaku empan papan hendaklah selalu diterapkan,

Kesadaran Tempat

Tempat bisa berada di luar atau di dalam ruang. Karenanya tempat bisa dibatasi oleh dinding-dinding atau di alam bebas. Sekalipun di alam bebas, seorang harus menerapkan etika Jawa ketika berhadapan dengan orang lain baik sudah maupun belum dikenal.

Selain menerapkan unggah-ungguh dengan orang lain, seorang harus menjaga kebersihan dan kenyamanan tempat tersebut. Sebab dengan mengotori akan menyebabkan kuman penyakit yang dapat menyerang penghuni tempat tersebut. Membuat gaduh suasana di suatu tempat akan menimbulkan ketidaknyamanan dan bisa berujung pada pertikaan.

Tempat-tempat yang layak dijaga kebersihan dan kenyamannya, semisal: rumah-rumah ibadah (masjid, gereja, vihara, pura); ruang publik (alun-alun, taman kota); tempat wisata, pasar, dll. Bila semua tempat itu tetap bersih dan kondusif suasananya, maka semua penghuninya akan tetap sehat dan merasa nyaman.

Kesadaran Wilayah

Setiap wilayah yang sering diidentikkan dengan daerah tersebut memiliki tradisi dan budaya yang berbeda. Etika yang diterapkan oleh warga dari masing-masing daerah pula berbeda.

Berpijak pada perbedaan yang ada, seorang dari daerah lain tidak bisa memaksakan etika untuk dianut oleh warga daerah asli. Bila hal itu terjadi, bukan kerukunan warga, namun  konflik hingga pertikaian antara warga pendatang dengan warga asli yang bakal terjadi.

Hanya dengan berpedoman pada peribahasa: Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya; seorang warga pendatang harus menghargai etika yang telah diterapkan oleh warga asli secara turun-temurun. Demi kebaikan bersama, warga pendatang harus menerapkan etika yang dianut oleh warga asli. 

Apabila warga dari daerah satu menghargai etika warga daerah lain, maka kerukunan akan dapat tercipta. Seluruh orang akan hidup damai. Dengan spirit Bineka Tunggal Ika, mereka akan dapat hidup damai bersama warga daerah lain di seluruh kepulauan Indonesia.

Kesadaran Waktu

Seorang yang telah menerapkan etika Jawa di dalam kehidupan kesehariannya senantiasa memiliki kesadaran waktu. Pada waktu tertentu, ia pantang melakukan perbuatan yang mengganggu kenyamanan orang lain. Sungguhpun memiliki kebebasan, namun ia menyadari bahwa perbuatannya tidak memberikan pemerdekaan orang lain.

Bagi seorang yang memiliki unggah-ungguh, ia tidak akan membunyikan speaker keras ketika terdengar adzan dari masjid. Ia tidak akan ramai-ramai ketika orang-orang beristirahat di waktu malam. Ia akan pulang dari rumah orang lain ketika menjelang maghrib. Selain menyampaikan kabar duka, ia tidak akan bertamu ke rumah seseorang pada waktu pagi hari.

Seorang yang telah menerapkan unggah-ungguh berdasarkan kesadaran waktu niscaya tidak akan mengganggu orang lain pada waktu-waktu tertentu. Waktu di mana orang lain tengah bersembahyang, rapat atau diskusi, belajar, atau melakukan aktivitas lain yang sifatnya sangat privatif.

Apabila unggah-ungguh yang melekat di dalam kehidupan masyarakat Jawa itu dilanggar, maka si pelanggar niscaya dicemooh oleh orang lain. Mengingat apa yang ia lakukan akan mengganggu aktivitas orang lain baik tengah bersembahyang, istirahat, maupun menyelesaikan pekerjaan rumah.

Agar tidak dicemooh orang lain (masyarakat), kepekaan rasa untuk tidak melanggar etika pada waktu-waktu tertentu harus dimiliki. Hal ini dilakukan agar keselarasan hubungan antar personal atau personal dengan masyarakat tetap terjaga dengan baik.

Kesadaran Sikap

Sejauh mana seorang memiliki unggah-ungguh dapat dilihat dari sikap (solah bawa) dirinya. Bagaimana sikap tubuhnya ketika berhadapan dengan orang lain sangat menentukan penilaian apakah ia beretika atau tidak. Di sini dapat disebutkan bahwa sikap merupakan cermin etika seseorang.

Penilaian terhadap seseorang yang memiliki unggah-ungguh atau tidak berdasarkan sikap sudah menjadi kelaziman. Seorang akan ditinilai tidak etis bila berjalan di hadapan orang tua tanpa membungkukkan badan, duduk dengan kaki di kursi, berdiri di atas meja, berdialog tanpa memandang lawan bicara, makan dengan tangan kiri, dan lain-lain.

Sikap yang menunjukkan seorang memiliki unggah-ungguh tidak bisa dibuat-buat. Bila belum menaluri dalam jiwanya, unggah-ungguh yang dilakukan orang itu tampak semu (basa-basi). Bila sudah menaluri, setiap sikap tubuhnya niscaya mengundang simpatik orang lain. Untuk menjadi naluri, unggah-ungguh tersebut harus diterapkan setiap hari.

Agar seorang dapat bersikap yang mencerminkan etika idealnya musti dibina sejak dini. Mengingat fakta membuktikan bahwa sikap tidak sopan dari seseorang akan sulit untuk diubah ketika berusia remaja atau dewasa. Karenanya orang tua senyogianya memberikan pelajaran etika Jawa sejak balita. Di mana pada usia tersebut, sifat buruk seorang masih dapat diubah menjadi baik.[ ]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun