KEBANGGAAN bagi masyarakat Jawa apabila dianggap sebagai ksatria. Namun seorang untuk menjadi ksatria tidak semudah membalik telapak tangan. Pengertian lain, orang tersebut harus memenuhi persyaratan yang sangat berat. Apa saja yang menjadi persyaratan untuk menjadi ksatria Jawa?
Menurut pendapat dari para pengkaji keilmuan Jawa, terdapat lima persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk menjadi Ksatria Jawa. Kelima persyaratan tersebut, yakni: pertama, memiliki wisma atau rumah. Kedua, memiliki wanita atau istri. Ketiga, memiliki kukila atau burung. Keempat, memiliki turangga atau kuda. Kelima, memiliki curiga atau keris. Lebih jauh kita tilik makna substansial dari kelima persyaratan tersebut.
Secara dangkal wisma diartikan rumah atau tempat tinggal. Namun bila dikaji secara substansial, rumah yang menjadi syarat seseorang untuk menjadi ksatria Jawa tersebut memiliki pengertian sebagai tempat perlindungan atau tempat kepercayaan.
Seorang yang memiliki wisma sebagai tempat perlindungan akan merasa nyaman, tenteram, dan tenang. Berbeda dengan orang yang tidak memiliki wisma sebagaimana gelandangan, hidupnya akan gelisah serupa sesobek kapas atau balon tertiup angin.
Wisma sebagai tempat kepercayaan akan menjadikan seseorang memiliki rasa percaya diri dan tidak minder di hadapan orang lain. Dengan rasa percaya diri, seseorang akan memiliki modal besar di dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita luhurnya.
Dengan demikian, salah besar apabila wisma dimaknai sebagai tempat tinggal mewah yang menunjukkan kekayaan seseorang. Kenapa dianggap salah? Mengingat ksatria Jawa tidak mementingkan kebutuhan material melainkan kebutuhan spiritual.
Wanita yang merupakan salah satu persyaratan bagi ksatria Jawa bukan sekadar dimaknai dengan perempuan atau istri. Tetapi, wanita dimaknai sebagai kehidupan, kesuburan, kemakmuran, dan kesejahteraan yang memberikan ketenteraman jiwa. Bukan kemakmuran dan kesejahteraan yang diwujudkan melakui jalur sesat seperti melakukan korupsi atau bersekutu dengan syetan.
Lebih jauh wanita dimaknai sebagai sumbu penghidupan dan kehidupan yang berputar dan berasal. Dengan wanita, seorang ksatria Jawa akan menyala semangatnya di dalam mewujudkan tujuan hidupnya. Bahkan melalui doa dari seorang wanita (istri), tujuan dari seorang suami akan dikabulkan Tuhan.
Dari pemahaman di muka, tidak benar bila wanita yang diidentikkan dengan banyak istri merefleksikan kesuksesan seseorang. Mengingat seorang yang ingin menjadi ksatria Jawa tidak menjadi budak berahi dengan memiliki banyak istri atau selingkuhan.
Turangga memiliki makna harfiah kuda. Akan tetapi, turangga yang menjadi salah satu persyaratan seseorang menjadi ksatria Jawa tidak dimaknai sebagai kuda atau kendaraaan. Pengertian lain, turangga memiliki makna yang lebih dalam yakni pengetahuan, kemampuan, keterampilan, dan keahlian.
Melalui pengetahuan, seseorang akan memperluas dunia sehingga tidak serupa katak di dalam tempurung. Melalui kemampuan, keterampilan, dan keahlian; seseorang akan dibutuhkan oleh banyak orang lain di dalam menyelesaikan pekerjaan khusus yang tidak dimiliki oleh orang lain. Karenanya orang tersebut akan bergerak lebih cepat ketimbang orang lain yang tidak memiliki pengetahuan, kemampuan, keterampilan, dan keahlian.
Dari pemahaman tentang makna substansial wanita di muka, maka amat salah bila turangga dimaknai secara dangkal sebagai kendaraan. Terlebih turangga dimaknai sebagai salah satu kekayaan seseorang karena memiliki banyak kendaraan seperti mobil atau motor mewah.
Kukila memiliki arti burung. Akan tetapi, kukila yang merupakan salah satu persyaratan seseorang untuk menjadi ksatria Jawa tidak dimaknai sebagai burung. Mengingat seseorang yang dianggap ksatria Jawa tidak harus memelihara burung dengan memenjarakannya di dalam sangkar.
Berkaitan sebagai persyaratan seseorang menjadi ksatria Jawa, Kukila dimaknai sebagai keindahan yang memenuhi kebutuhan rohani. Keindahan yang dapat memberikan kebutuhan batin tersebut dapat datang dari benda-benda atau pertunjukan seni, sastra, dan pemandangan alam.
Bagi seorang yang telah memiliki kukila akan selalu santun dalam berbicara, mempesona dalam bertindak, dan menawan tindak-tanduknya. Sehingga orang tersebut akan dikasihi banyak orang. Tidak banyak lawan yang akan menjatuhkan dirinya ke jurang kesengsaraan.
Sebagai salah satu persyaratan untuk menjadi ksatria Jawa, curiga tidak dimaknai secara harfiah sebagai keris. Akan tetapi, curiga memiliki makna simbolis sebagai kewaspadaan, kesiagaan, dan keperwiraan. Waspada terhadap cobaan dan godaan. Siaga terhadap serangan orang lain baik datang dari belakang, kiri, kanan, dan depan. Perwira di dalam menghadapi kejahatan yang tengah menghadang langkah hidupnya.
Kewaspadaan, kesiagaan, dan keperwiraan tersebut merupakan sejatinya curiga. Pusaka yang tidak diselipkan di pinggang atau terpegang tangan, melainkan ketajaman jiwa di dalam menangkap setiap godaan atau cobaan yang datang dari delapan mata angin. Dengan kewaspadaan, kesiagaan, dan keperwiraan; seorang ksatria Jawa akan selamat selama meniti jalan hidupnya ke depan. (Sri Wintala Achmad)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H