"Sawitri," akunya. Perempuan paruh baya yang meninggalkan kota seusai suaminya mati lantaran kecelakaan lalin di jalan tol. Di desa terpencil, ia tinggal di rumah tabon milik mendiang bapaknya. Bila teringat ayah dan suaminya, wajahnya senampak matahari berselimut awan. Bertanya pada Tuhan, "Ya, Allah. Kenapa cepat Kau panggil orang-orang yang teramat aku cintai?"
Sawitri bangkit dari kursi kayu. Berdiri di balik jendela terbuka. Menatap sungai yang mengalir jernih. Teringat semasih kanak. Mandi bersama kawan-kawan sebayanya sambil bermain air. Tersenyum tipis.
Mata Sawitri sembab selagi terbayang wajah ketiga anaknya di perantauan yang jarang mengirim kabar, lantaran ponselnya tak bisa meng-install WA. Demi memenuhi keinginan anak-anaknya, ia pergi ke kota. Menjual kalung emas warisan mendiang suaminya. Dari uang itu, ia membeli android bekas.
Usai seharian bekerja di ladang warisan mendiang bapaknya; Sawitri video call-an dengan ketiga anaknya, menantu, dan cucu-cucunya. Belum sebulan berpelukan dengan rasa bahagia, ia tampak murung. Si sulung Pras yang mengikuti seminar di ibukota tewas karena serangan jantung.
Sawitri mulai dapat melupakan meninggalnya Pras. Terlebih saat ia mendapat kabar dari Santi yang melahirkan anak ketiganya. Hatinya berbuncah-buncah usai anak keduanya itu mengirim foto buah hatinya semirip Pras. "Pras lahir kembali di dunia lewat pintu rahim adiknya. Tuhan Maha Besar!"
Mendadak Sawitri berduka usai membaca pesan WA dari Santi, "Menantu Emak. Mas Bram meninggal ketika pesawat yang ditumpanginya menabrak gunung...." Selagi membalas pesan WA dari Santi, air mata membasahi kedua pipinya yang berkeriput.
Hingga dua bulan, Sawitri tak mengawatirkan nasib Santi. Mengingat Santi masih bisa menghidupi anak-anaknya dengan tabungan mendiang suaminya. Menginjak bulan ketiga, Santi mulai hutang sana sini untuk menyambung hidup anak-anaknya. Bulan keempat, Santi diburu dept collector. Bulan kelima, Santi menggantung diri di dapur.
Mendengar Santi bunuh diri, Sawitri pingsan. Usai siuman, androidnya berdering. Ia membaca pesan WA dari bungsunya, Sam. "Jangan gundah, Mak! Seluruh anak Mbak Santi akan aku rawat sampai bisa mandiri."
Sawitri lega. Namun pada penghujung tahun, ia merasa cemas tiada tara. Berita tentang penyakit aneh yang lebih ganas dari Covid 19 disaksikannya lewat televisi. Wabah itu bukan hanya membunuh jutaan manusia di dunia, namun puluhan warga di kampungnya. Akibatnya, ia diisoma. Nasibnya lebih buruk dari seorang napi. Dipenjara di rumahnya sendiri.
Selama isoma, Sawitri hanya menghabiskan waktu di depan televisi. Menyaksikan berita hanya membuatnya semakin bosan tinggal di dalam rumah. Menyaksikan sinetron, tak menghibur hatinya. Menyaksikan produk-produk yang diiklankan, tak terjangkau harganya.
Sawitri yang hampir gila diselamatkan oleh Sam. Melalui pesan WA-nya, Sam bilang, "Sabar ya, Mak! Zaman petaka akan segera berlalu."
Dengan bibirnya yang pucat, Sawitri mencoba tersenyum. Wajahnya yang muram mulai berbinar. Kedua matanya yang cekung berkabut mulai bening serupa embun di pucuk daun. Sungguh! Pesan WA dari Sam membuatnya bangkit.
Empatbelas hari kemudian, isoma berakhir. Seperti warga lainnya, Sawitri keluar rumah dengan mengenakan masker rangkap tiga. Menjaga jarak ketika berbincang dengan tetangga kiri-kanannya. Mencuci tangan dengan hand sanitizer usai memegang sembarang benda.
Serupa burung terlepas dari sangkar, Sawitri kembali pergi ke ladang yang terlantar. Ia tak menanam jagung, kedelai, dan kacang; selain ingin mencari angin segar sambil tiduran di gubug. Menghibur diri dengan menyaksikan bentangan langit biru tak ternoda awan.
Hampir setiap hari, Sawitri tinggal di gubug di tengah bentangan ladang. Apa yang dilakukannya lebih baik ketimbang duduk di depan televisi. Di mana, berita penyakit aneh telah menjelma terror di sepanjang siang. Melampaui hantu-hantu yang bergentayangan malam hari. Selagi i akan tidur selepas siang, androidnya berdering. Pesan Sam terkirim ke nomer WA-nya. Terbaca, "Kita sudah bebas dari penyakit aneh, Mak. Bergembiralah!"
Membaca pesan WA dari Sam, Sawitri berbinar wajahnya. Bergegas ia meninggalkan gubug. Menyampaikan kabar gembira dari rumah ke rumah tetangga. "Kita sudah terbebebas dari penyakit aneh! Kita sudah terbebas!"
Mendengar kabar dari Sawitri, orang-orang gembira.
Di halaman rumah selepas matahari terbenam, Sawitri menyalakan api unggun. Sambil bernyanyi dengan nada sumbang, ia mengitari api unggun sambil mengayun-ayunkan kedua lengannya serupa merak mengepakkan sayapnya. Ia melemparkan masker-masker bekas satu persatu ke kobaran api. Hangus tanpa sisa, selain abu yang bertebaran disapu angin.
Sawitri memasuki rumah. Sewaktu akan merebahkan tubuhnya di ranjang berkasur dengan sprei lusuh, androidnya berdering. Ia membaca pesan WA dari Sam dengan bibir bergetar, "Mak.... Insya Allah. Akhir bulan, Aku pulang...."
Tepat sebulan kemudian, Sam pulang. Bukan ke pangkuan Sawitri, namun ke pelukan Tuhan. Mati bukan karena penyakit aneh, melainkan kecapekan sesudah siang malam bekerja sebagai sukarelawan. Menyelamatkan orang-orang dari serangan penyakit aneh yang sesungguhnya belum berakhir.
Serupa hujan tumpah dari langit, air mata Sawitri menderas di pipinya. Entah iblis mana yang berbisik ke telinganya, "Hiduplah damai bersama suami dan ketiga anakmu di surga!"
Sawitri ingin bunuh diri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI