Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Editor Video, Graphic Designer

SRI WINTALA ACHMAD, pernah belajar di Fak. Filsafat UGM Yogyakarta. Karya-karya sastranya dipublikasikan di Kompas, Republika, Suara Karya, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Lampung Pos, Trans Sumatera, Bangka Pos, Solo Pos, Surabaya Pos, Banjarmasin Pos, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Bernas, Masa Kini, Yogya Pos, Merapi, Fajar Sumatera, Amanah (Malaysia), Aksara International Journal of Indonesian Literature (Australia), Suara Muhammadiyah, Adiluhung, Trapsila, Bakti, Praba, Gong, Artista, Mata Jendela, Jaya Baya, Djaka Lodang, Penyebar Semangat, Mekarsari, Pagagan, Sempulur, Swaratama, Karas, dll. Antologi sastra dan esai kolektifnya: Pelangi (Karta Pustaka/Rasialima, 1988); Nirmana (Wirofens Group, 1990); Alif-Lam-Mim (Teater Eska/SAS, 1990); Zamrud Katulistiwa (Balai Bahasa Yogyakarta/Taman Budaya Yogyakarta, 1997); Sastra Kepulauan (Dewan Kesenian Sulawesi Selatan, 1999); Pasar Kembang (Komunitas Sastra Indonesia, 2000); Embun Tajali (FKY 2000); Lirik Lereng Merapi (Dewan Kesenian Sleman, 2000); Bilah Belati di Depan Cermin (Dewan Kesenian Sleman, 2002); Di Batas Jogja (FKY, 2002); Code (FKY, 2005); Musik Puisi Nasional (LKiS, 2006); Malioboro (Balai Bahasa Yogyakarta, 2008); Perempuan Bermulut Api (Balai Bahasa Yogyakarta, 2010); Tiga Peluru (Kumpulan Cerpen Pilihan Mingguan Minggu Pagi Yogyakarta, 2010); Pasewakan (2011), Kembali Jogja Membaca Sastra (Rumah Budaya Tembi, 2011); Suluk Mataram (Great Publisher, 2011); Jejak Sajak (Jambi, 2012); Dari Sragen Memandang Indonesia (Dewan Kesenian Sragen, 2012); Sauk Seloko – Pertemuan Penyair Nusantara VI (Dewan Kesenian Jambi, 2012); Indonesia di Titik 13 (Dewan Kesenian Pekalongan, 2013); Spring Fiesta [Pesta Musim Semi] (Indonesian & English Poetry Grup & Araska Publisher, 2013); Tifa Nusantara I (Temu Penyair Nusantara – Dewan Kesenian Tangerang, 2013); Sesotya Prabangkara ing Langit Ngayogya (Yogyakarta, 2014); Negeri Langit (Komunitas Radja Ketjil Jakarta, 2014); Rantau Cinta, Rantau Sejarah (Jurnal Sajak, 2014); Tifa Nusantara II (Temu Penyair Nusantara – Dewan Kesenian Tangerang, 2015); Pesta Rakyat Sleman (Digna Pustaka dan Lingkar Budaya Sleman, 2015); Jalan Remang Kesaksian (LPSK/Rumah Budaya Tembi, 2015); Jejak Tak Berpasar (Komunitas Sastra Indonesia/Yayasan Laksita, 2015); Memandang Bekasi (Dewan Kesenian Bekasi/Dinas Parbudpora Kabupaten Bekasi, 2015); Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Ije Lela Tifa Nusantara 3 (Marabahan, 2016); Klungkung Tanah Tua, Tanah Cinta (Klungkung Bali, 2016); Matahari Cinta Samudra Kata (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2016); Seratus Puisi Qurani (2016); Kopi Penyair Dunia (2016); Pesan Damai untuk Seluruh Manusia (PCIUN Maroko, 2017); Kota Terbayang (Taman Budaya Yogyakarta, 2017); Puisi Tentang Bogor (2017); Puisi Tentang Masjid (2017); Dari Partai Demokrat untuk Indonesia (2017); Senja Jati Gede (2017); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018); Dari Cempuring ke Sunan Panggung (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018); Kembang Glepang (2018); Sesapa Mesra Selinting Cinta – Temu Penyair Nusantara XI (Kudus, 2019); Terus Berkarya di Usia Senja, Brengkesan 72 Tahun Ahmad Tohari (2020); Nalika Rembulan Bunder (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2020); Nunggak Semi Dunia Iman Budhi Santosa (2021), naskah lakon terjemahan Dahuru ing Negeri Semut (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2021); Sejuta Puisi untuk Jakarta (2022), dan Kembang Glepang 3 (2023). Novel, fiksi sejarah, cerita rakyat, cerita wayang: Centhini: Malam Ketika Hujan (Diva Press Yogyakarta, 2011); Dharma Cinta (Laksana, 2011); Jaman Gemblung (Diva Press Yogyakarta, 2011); Sabdapalon (Araska, 2011); Dharma Gandul: Sabda Pamungkas dari Guru Sabdajati (Araska, 2012); Ratu Kalinyamat: Tapa Wuda Asinjang Rikma (Araska, 2012); Kiamat: Petaka di Negeri Madyantara (In AzNa Books, 2012); Centhini: Kupu-Kupu Putih di Langit Jurang Jangkung (Araska, 2012); Serial Crita Rakyat Dahuru ing Praja Wilwatikta (Majalah Djaka Lodang, 2022); Serial Crita Rakyat Pletheke Surya Wilwatikta (Majalah Jayabaya, 2022-2023); dan Serial Crita Rakyat Sigare Bumi Wilwatikta (Majalah Penyebar Semangat, 2023); dan Serial Crita Wayang Kresna Duta (Majalah Jayabaya, 2024). Buku-buku lainnya yang sudah terbit: Membuka Gerbang Dunia Anak (Annora Media, 2009); Suyudana Lengser Keprabon (In AzNa Books, 2011); Kisah Jagad Pakeliran Jawa (Araska, 2011); Wisdom Van Java (In AzNa Books, 2012); Falsafah Kepemimpinan Jawa: Soeharto, Sri Sultan HB IX & Jokowi (Araska, 2013); Sejarah Kejayaan Singhasari & Kitab Para Datu (Araska, 2013); Babad Tanah Jawa (Araska, 2014); Sejarah Raja-Raja Jawa (Araska, 2014); Satriya Piningit (Araska, 2014); Geger Bumi Mataram (Araska, 2014); Geger Bumi Majapahit (Araska, 2014); Ensklopedia Kearifan Jawa (Araska, 2014); Sejarah Perang di Bumi Jawa (Araska, 2014); Sejarah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan di Nusantara (Araska, 2014); Ensklopedia Raja-Raja Nusantara (Araska, 2014); Ensklopedia Karakter Tokoh-Tokoh Wayang (Araska, 2014); Wanita dalam Khasanah Pewayangan (Araska, 2015); Aja Dumeh: Buku Pintar Kearifan Orang Jawa (Araska, 2015); Panduan Praktis Menjadi Penulis Andal: Karya Ilmiah, Artikel, Resensi, Apresiasi & Kritik Seni, Naskah Lakon, Puisi, Cerpen, dan Novel (Araska, 2015); Buku Induk Bahasa dan Sastra Indonesia (Araska, 2015); Mahir Peribahasa Indonesia (Araska, 2015); Buku Induk EYD (Araska, 2015); Politik dalam Sejarah Kerajaan Jawa (Araska, 2016); Babad Tanah Jawa: dari Watugunung yang Menikahi Ibunya hingga Geger PeChinan (Araska, 2016); Petuah-Petuah Leluhur Jawa (Araska, 2016); Babad Giyanti: Palihan Nagari dan Perjanjian Salatiga (Araska, 2016); 13 Raja Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah Kerajaan di Tanah Jawa (Araska, 2016); Sejarah Kerajaan-Kerajaan Besar di Nusantara (Araska, 2016); Menulis Kreatif itu Gampang (Araska, 2016); Sejarah Pemberontakan Kerajaan di Jawa (Araska, 2017); Filsafat Jawa (Araska, 2017); Sejarah dan Asal-Usul Orang Jawa (Araska, 2017); Sejarah Raja-Raja Jawa dari Kalingga hingga Mataram Islam (Araska, 2017); Sejarah Istri-Istri Raja Jawa (Araska, 2017); Sejarah Islam di Tanah Jawa (Araska, 2017); Kisah Horror Ketemu Genderuwo (Araska, 2017); Sang Jenderal: Riwayat Hidup, Perjuangan, dan Cinta Jenderal Soedirman (Araska, 2017); Sejarah Perang Kerajaan-Kerajaan di Nusantara (Araska, 2017); Etika Jawa (Araska, 2018); Filsafat Kepemimpinan Jawa (Araska, 2018); Kronik Perang Saudara dalam Sejarah Kerajaan di Jawa 1292-1767 (Araska, 2018); Sejarah Runtuhnya Sriwijaya dan Majapahit (Araska, 2018); Hitam Putih Mahapatih Gajah Mada (Araska, 2018); Sultan Agung: Menelusuri Jejak-Jejak Kekuasaan Mataram (Araska, 2019); Sejarah Kejayaan Singhasari Antara Mitos, Fakta, Pesona, dan Sisi Kelamnya (Araska, 2019); Untung Surapati: Pemberontakan Seorang Budak (Araska, 2019); Ratu Kalinyamat (Araska, 2019); Hitam Putih Majapahit (Araska, 2019); Gajah Mada Kisah Cinta dan Kisah Penakluk-Penaklukannya (Araska, 2019); Perang Bubat (Araska, 2020); Babad Diponegoro: Kisah Sejarah, Silsilah & Pemikiran Sufistik Pangeran Diponegoro (Araska, 2023), Etika Jawa: Prinsip Hidup dan Pedoman Hidup Orang Jawa (Araska, 2023), Falsafah Kepemimpinan Jawa: Menyelami Kearifan dan Filosofi Kepemimpinan dalam Budaya Jawa (Araska, 2024), Perang Suksesi Jawa: Melacak Konflik dan Intrik para Pangeran Darah Biru dalam Pergeseran Kekuasaan Di Keraton Jawa (Araska, 2024), dan Horror Tanah Jawa Tumbal Genderuwo (Araska, 2024). Bersama Indra Tranggono dan R. Toto Sugiharto, menulis buku Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #15 (Taman Budaya Yogyakarta, 2016), Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #16 (Taman Budaya Yogyakarta, 2017). Prestasi yang diraih dalam dunia kepenulisan: Nominasi Lomba Cipta Puisi Esai tingkat nasional (2014), Juara II Lomba Cipta Cerpen Sanggar Sastra Bukit Bintang Yogyakarta (2018), Nominasi Lomba Cipta Puisi Nasinal “Sejuta Puisi untuk Jakarta” (2022), dan Juara III Lomba Cipta Puisi Multimedia “Keris,” Dinas Kebudayaan Yogyakarta (2023). Nama kepenyairannya dicatat dalam: Buku Pintar Sastra Indonesia (Pamusuk Eneste, Penerbit Kompas, 2001), dan Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Abdul Hadi WM, Ahmadun Yosi Herfanda, Hasan Aspahani, Rida K Liamsi, dan Sutardji Calzoum Bachri, Yayasan Hari Puisi, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017), Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018), dan Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #18 (Taman Budaya Yogyakarta, 2021). Selain menulis buku, sering menjadi juri lomba baca dan cipta karya sastra di lingkungan sekolah, juri lomba teater dan pantomim, serta dipercaya sebagai nara sumber dalam pelatihan cipta karya sastra untuk siswa dan guru. Sekarang mengelola Paguyuban Sholawat Jawa Langen Ambiya dan Sanggar Lierasi Laras Aksara (Selaksa) Yogyakarta. Yogyakarta. Tinggal di Gejawan Kulon 02/034, Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarta. WA: 0856-0007-1262.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perempuan-Perempuan Perkasa Sepanjang Sejarah

20 Agustus 2024   18:02 Diperbarui: 20 Agustus 2024   18:02 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan merupakan makhluk yang penuh misteri. Sehingga banyak pria sering menginterpretasikan salah tentang perempuan. Mereka pun tidak pernah memeroleh jawaban yang tepat dan memuaskan atas pertanyaan siapakah sejatinya perempuan?

Muncul asumsi bahwa perempuan adalah makhluk yang memiliki sifat lembut, sabar, baik, dll. Namun bila merunut pada sejarah Hawa, perempuan adalah makhluk yang tergoda bujuk rayu iblis. Akibatnya, Hawa yang meminta Adam untuk memetik dan menyantap buah terlarang bersamanya di taman Eden harus turun di dunia. Menjalani hidup penuh penderitaan.

Sewaktu di dunia, Hawa ditakdirkan sebagai ibu yang harus melahirkan anak-anak Adam. Melalui perempuan, benih dari seorang pria dapat ditumbuhkembangkan di dalam rahim dan dilahirkan pada masanya. Sehingga sepasang manusia beranak-pinak dan berlipat ganda jumlahnya.  Dari jumlah yang sangat banyak itu, manusia mendiami seluruh benua di dunia.

Terdapat dugaan bahwa perempuan merupakan makhluk lemah dan sangat tergantung dengan kaum pria. Benarkah demikian? Jawabnya, tidak. Mengingat banyak perempuan tangguh dilahirkan di bumi. Mereka tidak menyandang predikat perempuan, namun wanita yang dalam pemahaman orang Jawa, wani ditata (berani diatur) dan sekaligus wani nata (berani mengatur) sebagaimana kaum pria.

Pengertian wani ditata, wanita wajib mendengarkan dan melaksanakan petuah-petuah yang baik dari guru laki (suami). Sementara pengertian wani nata, wanita musti mampu memberikan pertimbangan atas pemikiran suami hingga lahirlah keputusan arif demi kebaikan bersama dalam keluarga. Terwujudnya simbiosis mutualisme antara wanita dengan pria akan menjadi kunci di dalam menciptakan stabilitas kehidupan di dalam rumah tangga.

Hubungan simbiosis mutualisme antara wanita dan pria selaras dengan simbolisasi hubungan dinamis antara warangka dengan curiga, lumpang (lesung) dengan antan, yoni dengan lingga, gunung dengan samudra, atau ibu pertiwi dengan bapa angkasa. Dua unsur yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Dua unsur yang saling melengkapi guna menciptakan keselarasan hidup bersama. Sebaliknya bila dua unsur itu tidak terjalin secara dinamis, maka bukan kedamaian yang bakal tercipta. Melainkan petaka besar yang dapat menghancurkan bangunan rumah tangga.

Apabila berpijak pada persepsi filosofis yang menempatkan peran wanita merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam hubungan simbiosis mutualisme, maka pemikiran-pemikiran masyarakat Jawa lebih maju dari yang kita duga. Karenanya, asumsi perihal wanita sekadar sebagai kanca wingking, isi-sining omah, atau partner seks sesungguhnya sangat bertentangan dengan kearifan masyarakat Jawa. 

***

Perihal pemosisian wanita yang setara dengan kaum pria oleh masyarakat Jawa sesungguhnya sudah ada sejak zaman Ratu Jay Shima dari Kalingga atau mungkin sejak zaman sebelumnya. Fakta ini dibuktikan melaluai catatan-catatan sejarah yang menyatakan bahwa wanita bukan sekadar menduduki posisi sebagai kanca wingking, isi-isining omah, atau partner seks; tetapi memiliki posisi penting sebagai ratu.

Perihal beberapa wanita yang menduduki posisi sebagai ratu tidak hanya ada di Pulau Jawa, namun pula di luar Pulau Jawa. Beberapa wanita yang menyandang predikat sebagai ratu di Pulau Jawa, antara lain: Ratu Jay Shima (Kalingga), Pramodhawardhani (Medang periode Jawa Tengah dari Dinasti Sailendra), Sri Isana Tunggawijaya (Medang Periode Jawa Timur), Tribhuwana Wijayatunggadewi (Majapahit), Sri Suhita (Majapahit); Ratu Kalinyamat (Jepara); Mahisa Suramardini Warmandewi dan Sphatikarnawa Warmandewi (Salakanagara); serta Nyi Mas Ratu Patuakan dan Nyi Mas Ratu Inten Dewata (Sumedanglarang).

Adapun para wanita yang menjabat sebagai ratu dari luar Pulau Jawa adalah Sultanah Nahrasiyah (Samudera Pasai); Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam, Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam, Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah, dan Sri Ratu Zainatuddin Kamalat Syah (Kesultanan Aceh Darussalam); Maharatu Mayang Mulawarni (Kutai Martapura); Tumanurung (Gowa); Sultana Zainab Zakiyatud-din, I-Danraja Siti Nafisah Karaeng Langelo, We Maniratu Arung Data, dan Sri Sultana Fatima (Bone); serta Ratu Wa Kaa Kaa dan Ratu Bulawambona (Buton).

***

Tercatat terdapat sembilan wanita yang pernah berkuasa sebagai ratu di Pulau Jawa. Dari kesembilan wanita tersebut, yakni: Ratu Jay Shima, Pramodhawardhani, Sri Isana Tunggawijaya, Tribhuwana Wijayatunggadewi, Sri Suhita, Ratu, Mahisa Suramardini Warmandewi, Sphatikarnawa Warmandewi, Nyi Mas Ratu Patuakan, Nyi Mas Ratu Inten Dewata, dan Ratu Kalinyamat.

Ratu Jay Shima

Ratu Jay Shima yang merupakan putri seorang pendeta dari Kerajaan Melayu tersebut lahir di sekitar muara Sungai Musi Banyuasin pada tahun 611. Ratu Jay Shima menikah dengan Kartikeyasingha, raja Kalingga yang memerintah dari tahun 648 hingga 674. Sesudah Kartikeyasinga mangkat, Ratu Jay Shima menjadi ratu Kalingga bergelar Sri Maharani Mahissasuramardini Satyaputikeswara (674-695).

Semasa pemerintahan Ratu Jay Shima, Kalinga mencapai puncak keemasan. Di masa itu, Kalingga berhasil menjalin persahabatan dengan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Galuh. Jalinan persahabatan ketiga negara itu dikenal dengan Mitra Pasamayan. Namun, pendapat ini ditentang oleh sebagian sejarawan yang menyebutkan bahwa Kalingga hanya menjalin persahabatan dengan Galuh. Mengingat Sriwijaya pernah menyerang hingga menaklukkan Melayu, kerajaan yang dikuasai Sribuja, raja dan mertua Ratu Jay Shima.

Nama Ratu Jay Shima sangat tersohor karena berhasil mengembangkan kebudayaan, agama, sistem irigasi Subak dan pertanian (bercocok tanam). Ratu Jay Shima sangat disegani oleh seluruh rakyat Kalingga dan raja-raja manca negara karena menerapkan hukum yang tegas dan adil.

Pramodhawardhani

Pramodhawardhani merupakan putri Samaratungga (Samaragrawira) yang menjabat sebagar raja Medang dari Dinasti Sailendra. Pramodhawardhani yang namanya ditemukan pada Prasasti Kayumwungan tersebut merupakan cucu Samaragriwa dan cicit Dyah Dharanendra yang semuanya dari Dinasti Sailendra, raja-raja pemeluk agama Buddha.

Pramodhawardhani dinikahkan oleh Samaratungga dengan Rakai Pikatan Mpu Manuku yang berasal dari Dinasti Sanjaya. Hasil perkawinanannya dengan Mpu Manuku, Pramodhawardhani memiliki putra Rakai Gurunwangi Dyah Saladu (Dyah Badra) dan Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.

Dyah Lokapala yang merupakan keturunan Pramodhawardhani dan Mpu Manuku kelak menjadi raja Medang sesudah berhasil menumpas pemberontakan Rakai Walaing Mpu Kombhayoni yang berpusat di Bukit Baka. Sementara Dyah Saladu kakaknya kelak melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Dyah Lokapala karena cemburu tidak dinobatkan sebagai raja Medang oleh Mpu Manuku.

Sri Isana Tunggawijaya

Jika menilik silsilahnya, Sri Isanatunggawijaya merupakan putri Mpu Sindok. Karena Mpu Sindok menggunakan gelar raja Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa, maka para sejarawan menyatakan bahwa Sri Isanatunggawijaya merupakan anggota Dinasti Isana.

Ketika menjabat sebagai ratu Medang periode Jawa Timur ke-2, Sri Isanatunggawijaya didampingi suaminya yakni Sri Lokapala. Hasil perkawinannya dengan Sri Lokapala, Sri Isanatunggawijaya memiliki putra bernama Sri Makutawangsawardhana (raja Medang periode Jawa Timur ke-3). Dengan demikian, Sri Isanatunggawijaya merupakan nenek Dharmawangsa Teguh (raja Medang periode Jawa Timur terakhir) dan Mahendratta (istri Dharmmodayana Warwadewa Udayana.

Tribhuwana Wijayatunggadewi

Tribhuwana Wijayatunggadewi merupakan putri Dyah Wijaya dan Gayatri yang menjabat sebagai ratu Majapahit ke-3 dari tahun 1328 hingga 1350. Tribhuwana memiliki adik kandung bernama Dyah Wiyat, dan kakak tiri bernama Jayanagara. Semasa pemerintahan Jayanagara, Tribhuwana menjabat sebagai Bhre Kahuripan.

Berdasarkan Serat Pararaton, Tribhuwana Wijayatunggadewi menikah sesudah kemangkatan Jayanagara. Karena semasa Jayanagara masih menjadi raja Majapahit, Tribhuwana dilarang menikah. Tribhuwana baru menikah sesudah terlaksananya sayembara adu kesaktian antar ksatira di dalam memerebutkan putri Majapahit. Dari sayembara itu, terpilihlah Cakradhara (Kertawardhana Bhre Tumapel) yang merupakan putra Kebo Anabrang sebagai suami Tribhuwana.

Hasil pernikahannya dengan Cakradhara, Tribhuwana Wijayatunggadewi melahirkan seorang putra bernama Hayam Wuruk dan Dyah Nertaja. Kelak Hayam Wuruk menjadi raja tersohor di Kerajaan Majapahit. Sementara, Dyah Nertaja adiknya kelak diangkat sebagai Bhre Pajang.

Sri Suhita

Sri Suhita merupakan putri pasangan Wikramawardhana dan Bhre Daha II (putri Bhre Wirabhumi). Karenanya sebelum menjabat sebagai ratu Majapahit ke-6 dari tahun 1429 hingga 1447, Sri Suhita yang menurut Kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong bernama Su-king-ta tersebut menjabat sebagai Bhre Dhaha III. Sementara, Bhre Dhaha I adalah istri Bhre Wirabhumi yakni Rajadewi (putri bungsu Dyah Wijaya).

Ratu Kalinyamat

Ratu Kalinyamat yang bernama lain Retna Kencana merupakan putri Sultan Tranggono yang menjadi bupati di Jepara. Di kalangan orang-orang Portugis, Ratu Kalinyamat dipandang sebagai sosok wanita Jawa yang gagah, berani, dan tidak pernah takut mati. Sewaktu berusia remaja, Retna Kencana dinikahkan dengan Pangeran Kalinyamat yang berasal dari luar Pulau Jawa.

Ratu Kalinyamat bersikap anti Portugis. Pada tahun 1550, Ratu Kalinyamat mengirim 40 kapal dengan bermuatkan 4.000 tentara Jepara guna memenuhi permintaan sultan Johor dalam upaya membebaskan Malaka dari kekuasaan Portugis. Pasukan Jepara yang kemudian bergabung dengan pasukan Persekutuan Melayu itu menyerang dari utara hingga merebut sebagian Malaka. Namun, Portugis berhasil membalasnya. Hingga pasukan persekutuan Melayu itu dapat dipukul mundur. Sementara, pasukan Jepara masih bertahan. Baru setelah pemimpinnya gugur, pasukan Jepara ditarik mundur.

Kekalahan pasukan Jepara di Malaka tampaknya tidak membuat jera Ratu Kalinyamat. Terbukti pada tahun 1573, Ratu Kalinyamat kembali mengirimkan pasukan sebanyak 15.000 prajurit dengan 300 kapal perang untuk membantu Sultan Aceh di dalam menyerang pasukan Portugis di Malaka. Namun karena Aceh telah dipukul mundur oleh Portugis, pasukan Jepara yang dipimpin Ki Demang Laksamana juga menderita kekalahan. Sebanyak 30 kapal Jepara terbakar. Enam kapal perbekalan direbut Portugis. Dua pertiga dari seluruh pasukan Jepara tidak kembali ke Jawa.

Sekalipun dua kali mengalami kekalahan, Ratu Kalinyamat telah menunjukkan dirinya sebagai wanita perkasa dan tidak pernah takut mati. Bahkan orang-orang Portugis pun mencatat bahwa Ratu Kalinyamat sebagai Rainha de Jepara, senhora ponderosa e rica, de kranige dame. Pada tahun 1579, Ratu Kalinyamat meninggal. Jenazahnya dimakamkan di dekat makam Pangeran Hadiri yakni di Desa Mantingan.

***

Berkaitan dengan wanita berpredikat sebagai ratu, ternyata tidak hanya di Jawa; namun pula di beberapa pulau di Sumatera, Jawa Barat, Kalimantan, dan Sulawesi. Adapun beberapa ratu dari luar Jawa adalah Sultanah Nahrasiyah (Samudera Pasai); Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam, Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam, Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah, dan Sri Ratu Zainatuddin Kamalat Syah (Kesultanan Aceh Darussalam); Mahisa Suramardini Warmandewi dan Sphatikarnawa Warmandewi (Salakanagara); Nyi Mas Ratu Patuakan dan Nyi Mas Ratu Inten Dewata (Sumedanglarang); Maharatu Mayang Mulawarni (Kutai Martapura); Tumanurung (Gowa); Sultana Zainab Zakiyatud-din, I-Danraja Siti Nafisah Karaeng Langelo, We Maniratu Arung Data, dan Sri Sultana Fatima (Bone); serta Ratu Wa Kaa Kaa dan Ratu Bulawambona (Buton).

Selain para ratu dari Jawa dan luar Jawa, banyak perempuan perkasa yang berpredikat sebagai permaisuri, pahlawan, pemikir, politikus, menteri, dll. Mereka antara lain: Ken Dedes (Tumapel), Nyi Ageng Serang (Mataram), RA. Kartnini (Jepara), Cut Nyak Dhien (Aceh), dan lain-lain.   

Berpijak dari fakta di muka semakin menunjukkan bahwa wanita bukan sebagai makhluk lemah, namun insan tangguh yang layak menyandang gelar ratu. Dengan demikian, kalau terdapat suatu anggapan kalau kesetaraan gender belum pernah terwujud baik di Jawa maupun di beberapa wilayah di Nusantara adalah omong kosong. Sungguhpun, kaum wanita yang terpilih sebagai ratu dari kalangan elit atau keturunan raja. Bukan dari kalangan rakyat jelata. (Sri Wintala Achmad)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun