Bukti bahwa filsafat Jawa telah digunakan sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan dapat dilihat dalam pertunjukan wayang dalam lakon Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Dalam lakon tersebut, Begawan Wisrawa mengajarkan ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu kepada Dewi Sukesi yang berwujud raseksi (raksasa perempuan). Berkat ilmu tersebut, Dewi Sukesi berubah wujud menjadi manusia yang berparas cantik jelita.
Dari kisah di muka bisa dipahami bahwa Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu merupakan ilmu filsafat tertinggi dalam dunia kejawen. Dikatakan begitu, karena ilmu tersebut dapat mengubah manusia berwatak raksasa menjadi manusia sempurna. Dengan cara mengajarkan manusia yang dikuasai sedulur papat (empat nafsu: aluamah, supiyah, amarah, dan mutmainah) hingga mampu mengendalikannya hingga mencapai kedekatan dengan sedulur pancer. Saudara pengendali yang identik dengan jiwa sentosa.
Di dalam jagat pakeliran Jawa, sedulur papat kalima pancer sering dilukiskan dengan Pandawa, hubungan Janaka dengan punakawan catur, kadang bayu, dan kereta Kiai Jaladara dan empat kuda berkulit kuning, hitam, putih, dan merah.
Pandawa
Pandawa yang terdiri dari Puntadewa (Yudistira atau Kangka), Werkudara (Bima atau Wijasena), Janaka (Arjuna atau Permadi), Nakula, dan Sadewa melambangkan sedulur papat kalima pancer. Dari Pandawa yang menduduki peran sebagai pancer adalah Werkudara. Sebab itu, Werkudara sering disebut dengan panenggak Pandawa yang melambangkan jiwa sentosa berwarna ijo maya-maya. Sementara, Puntadewa melambangkan nafsu mutmainah yang berwarna putih, Janaka melambangkan nafsu supiyah yang berwarna kuning, Nakula dan Sadewa melambangkan nafsu aluamah (berwana hitam) dan amarah (berwarna merah).
Janaka dan Punakawan Catur
Dalam kehidupan kesehariannya, Janaka selalu ditemani oleh Punakawan Catur yakni Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong (Bawor). Sewaktu Janaka berada di tengah hutan atau bertapa, Punakawan Catur tidak pernah jauh darinya. Dari fakta inilah maka Janaka yang diibaratkan pancer akan senantiasa berinteraksi dengan Punakawan Catur yang melambangkan sedulur papat atau empat kiblat.
Kadang Bayu
Di dalam jagat pakeliran Jawa pula terdapat istilah Kadang Bayu. Kadang Bayu yang terdiri dari lima siswa Bathara Bayu tersebut yakni: Bayu Kinara atau Anoman yang beraura putih, berasa manis, berwatak suci, berada di kiblat timur, dan menguasai bangsa kera.
Bayu Waneras atau Dibya Jajalwreka yang beraura merah, berasa pedas, berada di kiblat selatan, dan menguasai bangsa raksasa.
Bayu Kanetra atau Gajah Situbanda yang beraura kuning, berasa asin, berada di kiblat barat, dan menguasai bangsa hewan dan binatang.
Bayu Langgeng atau Gunung Maenaka yang beraura hitam, berasa pahit, berwatak sentosa, berada di kiblat utara, dan menguasai tanaman dan benda-benda mati.
Bayu Mangkurat atau Werkudara yang beraura ijo maya-maya (semburat hijau), berasa gurih, berwatak bijaksana, berada di inti bumi, dan menguasai bangsa manusia.
Berdasarkan penjelasan di muka bisa dipahami bahwa Werkudara Sang Bayu Mangkurat yang merupakan pancer tersebut dilingkungi oleh saudara empat dari empat kiblat, yakni Anoman Sang Bayu Kinara, Dibya Jajalwreka Sang Bayu Waneras, Gajah Situbanda Sang Bayu Kanetra, dan Gunung Maenaka Sang Bayu Langgeng.
Kereta Kiai Jaladara dan Empat Kuda
Dalam lakon Narayana Winisuda dikisahkan tentang kereta Kiai Jaladara yang merupakan kendaraan Prabu Kresna. Kereta yang melambangkan pancer tersebut ditarik oleh empat kuda, yakni: Kiai Bramasakti yang merupakan pemberian Bathara Brama tersebut berkulit merah, dari kiblat barat, bisa memasuki api tanpa terbakar, dan melambangkan nafsu amarah.
Kiai Jantaka yang merupakan pemberian Bathara Sambu tersebut berkulit hitam, dari kiblat selatan, bisa berjalan di bawah tanah, dan melambangkan nafsu aluamah.
Kiai Sugriwa yang merupakan pemberian Bathara Basuki berkulit kuning, dari arah timur, bisa berjalan di bawah air atau samudra, dan melambangkan nafsu supiyah.
Kiai Ciptawilaha yang merupakan pemberian Bathara Wisnu tersebut berkulit putih, dari kiblat utara, bisa terbang di angkasa, dan melambangkan nafsu mutmainah. Melalui Kiai Jaladara yang ditarik empat kuda tersebut, Prabu Kresna berhasil memenangkan Janaka saat bertanding melawan Karna dalam perang Baratayuda di rimba Kurusetra.
Sedulur papat disinggung dalam kisah Ramayana. Empat putra Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi yang terdiri dari Dasamuka (Rahwana), Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Wibisana pula melambangkan empat nafsu. Dasamuka melambangkan nafsu amarah. Kumbakarna melambangkan nafsu aluamah. Sarpakenaka melambangkan nafsu supiyah. Wibisana melambangkan nafsu mutmainah. (Sri Wintala Achmad)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H