Menurut warga Samin di Desa Tapelan, Samin Surosentiko dapat menulis dan membaca aksara Jawa. Hal ini dibuktikan dengan beberapa buku peninggalan Samin Surosentiko yang diketemukan di Desa Tapelan dan beberapa desa Samin lainnya. Khusus di Desa Tapelan, buku-buku peninggalan Samin Surosentiko disebut Serat Jamus Kalimasada,
Serat Jamus Kalimasada ini terdiri dari beberapa buku, di antaranya: Serat Uri-Uri Pambudi, yaitu buku tentang pemeliharaan tingkah laku manusia yang berbudi. Ajaran kebatinan Samin surosentiko perihal manunggaling kawula Gusti atau sangkan paraning dumadi. Menurut Samin Surosentiko, manunggaling kawulo Gusti dapat diibaratkan sebagai rangka umanjing curiga (kerangka yang menjelma ke dalam keris).
Dalam buku Serat Uri-uri Pambudi diterangkan sebagai berikut: Tempat keris yang meresap masuk dalam kerisnya mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an. Hal ini menunjukkan pamor (pencampuran) antara mahkluk dan Khaliknya yang benar-benar sejati. Bila mahkluk musnah yang ada hanyalah Tuhan (Khalik). Senjata tajam merupakan ibarat campuran yang menunjukkan bahwa seperti itulah yang disebut campuran mahkluk dan Khaliknya. Sebenarnya yang dinamakan hidup hanyalah terhalang oleh adanya badan atau tubuh kita sendiri yang terdiri dari darah, daging dan tulang. Hidup kita ini, yang menghidupinya adalah yang sama-sama menjadi pancer kita. Hidup yang sejati itu adalah hidup yang menghidupi segala hal yang ada di semesta alam.
Di tempat lain, Samin Surosentiko menjelaskan lagi sebagai berikut: Yang dinamakan sifat Wisesa (penguasa utama) yang bertindak sebagai wakil Allah, yaitu Ingsun, yang membikin rumah besar, yang merupakan dinding yaitu badan atau tubuh kita. Yang bersujud adalah mahkluk, sedang yang disujudi adalah Khalik. Hal ini sebenarnya hanya dilindungi oleh sifat. Maksudnya, hdup mandiri itu sebenarnya telah berkumpul menjadi satu antara mahkluk dan Khaliknya.
Selanjutnya menurut Samin Surosentiko, "Yang bertindak mencari sandhang pangan kita sehari-hari adalah sadeerek gangsal kalima pancer." Adapun jiwa kita diibaratkan oleh Samin sebagai mandor. Seorag mandor harus mengawasi kuli-kulinya. Atau lebih jelasnya dikatakan sebagai berikut: Gajah Sena saudara Werkudara yang berwujud gajah. Jelasnya saudara yang berjumlah lima itu mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an.
Hal yang berkaitan dengan tiga saudara, empat dan lima pokoknya tersebut harus dicapai. Adapun yang bekerja mencari sandhang pangan setiap hari adalah saudara kita berlima itu. Adapun jiwa kita bertindak sebagai mandor. Itulah sebabnya mandor harus berpegang teguh pada kekuasaan yang berada di tangannya untuk mengatur anak buahnya, agar semuanya selamat. Sebaliknya apabila anak buahnya betindak salah dan tindakan tersebut dibiarkan, maka lama kelamaan mereka kian berbuat seenaknya. Hal ini akan mengakibatkan penderitaan.
Pengandaian jiwa sebagai mandhor dan sedulur papat kalima pancer sebagai kuli-kuli tersebut di atas adalah sangat menarik. Kata-kata ini erat hubungannya dengan kerja paksa di hutan-hutan jati di daerah Blora dan sekitarnya. Pekerja paksa terdiri dari mandor dan kuli. Mandhor berfungsi sebagai pengawas, sedangkan kuli berfungsi sebagai pekerja.
Pemakaian kata yang sederhana tersebut oleh Samin Surosentiko disiratkan maksud agar ajarannya dapat dimengerti oleh murid-muridnya yang pada umumnya orang desa dan dibebani kerja paksa. Menurut Samin Surosentiko, tugas manusia di dunia adalah sebagai utusan Tuhan. Jadi apa yang dialami oleh manusia di dunia adalah kehendak Tuhan.
Karena itu sedih dan gembira, sehat dan sakit, bahagia dan sedih, harus diterima sebagai hal yang wajar. Hal tersebut bisa dilihat pada ajarannya yang berbunyi: Menurut perjanjian, manusia adalah suruhan Tuhan di dunia untuk menambah keindahan jagad raya. Dalam hubungan ini, masyarakat harus menyadari bahwa mereka sekadar melaksanakan perintah. Apabila manusia mengalami kebahagiaan dan kecelakaan, sedih dan gembira, sehat dan sakit, harus menerima tanpa keluhan. Sebab, manusia terikat dengan perjanjian. Hal terpenting adalah manusia hidup di dunia harus mematuhi hukum Tuhan, yaitu memahami asal-usulnya masing-masing.
Samin Surosentiko mengajarkan pengikutnya untuk berbuat kebajikan, kejujuran, dan kesabaran. Murid-muridnya dilarang memunyai rasa dendam. Adapun ajaran selengkapnya, sebagai berikut: Arah tujuannya agar dapat berbuat baik dengan niat sungguh-sungguh, sehingga tidak ragu-ragu lagi. Tekad jangan sampai goyah oleh sembarang godaan, serta harus menjalankan kesabaran lahir dan batin, sehingga bagaikan mati dalam hidup. Segala tindak-tanduk yang terlahir harus dapat menerima segala cobaan, walaupun terserang sakit, hidupnya mengalami kesulitan, tidak disenangi orang, dijelek-jelekkan orang, semuanya harus diterima tanpa menggerutu, apalagi sampai membalas dengan kejahatan, melainkan orang harus selalu ingat pada Tuhan,
Ajaran di atas dalam tradisi lisan di Desa Tapelan dikenal sebagai angger-angger pratikel (hukum tindak tanduk), angger-angger pengucap (hukum berbicara), serta angger-angger lakonana (hukum perihal yang perlu dijalankan). Hukum yang pertama berbunyi: Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedhog colong. Maksudnya, warga Samin dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri hati pada orang lain, dan dilarang mengambil milik orang.