Macapat, Media Pendidikan Karakter bagi Anak Muda

Macapat merupakan karya sastra Jawa yang muncul pada awal berdirinya Kesultanan Demak abad XIV. Sebelas genre macapat yang melambangkan serangkaian fase perjalanan hidup manusia sejak pra kelahiran hingga pasca kematian, yakni: Mas Kumambang, Mijil, Sinom, Kinanthi, Asmarandana, Gambuh, Dhandhanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, dan Pocung.

Dalam penciptaannya, macapat niscaya berpedoman guru gatra (jumlah baris dalam satu bait), guru wilangan (jumlah suku kata dalam satu gatra), dan guru lagu (bunyi vokal pada akhir gatra). Di samping itu, setiap genre macapat memiliki lambang dan karakter yang berbeda.

Macapat yang diawali Maskumambang dan diakhiri Pocung mengajarkan agar manusia memahami sangkan-paraning dumadi. Proses perjalanan hidup manusia dari alam kandungan, alam dunia, alam kematian, hingga alam kelanggengan.

Lirik macapat tidak bermakna apapun bila tidak dibaca (ditembangkan). Selaras dengan konsep Serat Sastra Gendhing karya Sultan Agung (raja Mataram, 1623-1645); lirik dan tembang macapat mengandung ajaran manunggaling kawula Gusti. Lirik merupakan simbolisasi manusia (kawula). Sedangkan, tembang merupakan simbolisasi Tuhan (Gusti).

Kesempurnaan macapat tercapai bila yang melantunkannya berpedoman maca papat-papat. Artinya, manusia yang hendak mencapai sampurnaning dumadi harus menjadi pancer marang sedulur papat. Mampu menjadi pengendali keempat nafsunya, yakni: amarah, aluamah, supiyah, dan mutmainah.

Sungguhpun macapat merupakan simbolisasi filsafat sufistik Jawa, namun kandungannya bisa berupa babad, suluk, wirid, piwulang, dll. Dua karya yang mengandung edukasi budi pekerti bagi kaum muda, yakni: Serat Wulangreh karya Sunan Pakubuwana IV (raja Surakarta, 1745-1788) dan Serat Wedhatama karya KGPAA Mangkunegara IV (adipati Praja Mangkunegaran, 1853-1881).

Serat Wulangreh

Serat Wulangreh karya Sunan Pakubuwana IV yang terdiri dari 14 pupuh tersebut bukan hanya berupa sekar alit, namun pula sekar madya (Dudukwuluh, Wirangrong, dan Girisa). Seluruh pupuh dalam serat tersebut dapat dijabarkan, sebagai berikut: Pupuh I: Dhandhanggula (8 pada), Pupuh II: Kinanthi (16 pada), Pupuh III: Gambuh (16 pada), Pupuh IV: Pangkur (16 pada), Pupuh V: Maskumambang (34 pada), Pupuh VI: Dudukwuluh (18 pada), Pupuh VII: Durma (12 pada), Pupuh VIII: Wirangrong (16 pada), Pupuh IX: Pocung (35 pada), Pupuh X: Pocung (32 pada), Pupuh XI: Mijil (25 pada), Pupuh XII: Asmarandana (26 pada), Pupuh XIII: Sinom (33 pada), dan Pupuh XIV: Girisa (23 pada).

Dari pupuh-pupuh Serat Wulangreh yang menarik untuk dibahas karena dapat menjadi media pembentukan budi pekerti kaum muda adalah Pupuh Kinanthi. Pada bait 1-2, Sunan Pakubuwana IV menulis, sebagai berikut:

//Padha gulangen ing kalbu/ing sasmita amrih lantip/aja pijer mangan nendra/kaprawiran den kaesthi/pesunen sariranira/sudanen dhahar lan guling//Dadiya lakunireku/cegah dhahar lawan guling/lawan aja sukan-sukan/anganggoa sawatawis/ala watake wong suka/nyuda prayitnaning batin//.