Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Editor Video, Graphic Designer

SRI WINTALA ACHMAD, pernah belajar di Fak. Filsafat UGM Yogyakarta. Karya-karya sastranya dipublikasikan di Kompas, Republika, Suara Karya, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Lampung Pos, Trans Sumatera, Bangka Pos, Solo Pos, Surabaya Pos, Banjarmasin Pos, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Bernas, Masa Kini, Yogya Pos, Merapi, Fajar Sumatera, Amanah (Malaysia), Aksara International Journal of Indonesian Literature (Australia), Suara Muhammadiyah, Adiluhung, Trapsila, Bakti, Praba, Gong, Artista, Mata Jendela, Jaya Baya, Djaka Lodang, Penyebar Semangat, Mekarsari, Pagagan, Sempulur, Swaratama, Karas, dll. Antologi sastra dan esai kolektifnya: Pelangi (Karta Pustaka/Rasialima, 1988); Nirmana (Wirofens Group, 1990); Alif-Lam-Mim (Teater Eska/SAS, 1990); Zamrud Katulistiwa (Balai Bahasa Yogyakarta/Taman Budaya Yogyakarta, 1997); Sastra Kepulauan (Dewan Kesenian Sulawesi Selatan, 1999); Pasar Kembang (Komunitas Sastra Indonesia, 2000); Embun Tajali (FKY 2000); Lirik Lereng Merapi (Dewan Kesenian Sleman, 2000); Bilah Belati di Depan Cermin (Dewan Kesenian Sleman, 2002); Di Batas Jogja (FKY, 2002); Code (FKY, 2005); Musik Puisi Nasional (LKiS, 2006); Malioboro (Balai Bahasa Yogyakarta, 2008); Perempuan Bermulut Api (Balai Bahasa Yogyakarta, 2010); Tiga Peluru (Kumpulan Cerpen Pilihan Mingguan Minggu Pagi Yogyakarta, 2010); Pasewakan (2011), Kembali Jogja Membaca Sastra (Rumah Budaya Tembi, 2011); Suluk Mataram (Great Publisher, 2011); Jejak Sajak (Jambi, 2012); Dari Sragen Memandang Indonesia (Dewan Kesenian Sragen, 2012); Sauk Seloko – Pertemuan Penyair Nusantara VI (Dewan Kesenian Jambi, 2012); Indonesia di Titik 13 (Dewan Kesenian Pekalongan, 2013); Spring Fiesta [Pesta Musim Semi] (Indonesian & English Poetry Grup & Araska Publisher, 2013); Tifa Nusantara I (Temu Penyair Nusantara – Dewan Kesenian Tangerang, 2013); Sesotya Prabangkara ing Langit Ngayogya (Yogyakarta, 2014); Negeri Langit (Komunitas Radja Ketjil Jakarta, 2014); Rantau Cinta, Rantau Sejarah (Jurnal Sajak, 2014); Tifa Nusantara II (Temu Penyair Nusantara – Dewan Kesenian Tangerang, 2015); Pesta Rakyat Sleman (Digna Pustaka dan Lingkar Budaya Sleman, 2015); Jalan Remang Kesaksian (LPSK/Rumah Budaya Tembi, 2015); Jejak Tak Berpasar (Komunitas Sastra Indonesia/Yayasan Laksita, 2015); Memandang Bekasi (Dewan Kesenian Bekasi/Dinas Parbudpora Kabupaten Bekasi, 2015); Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Ije Lela Tifa Nusantara 3 (Marabahan, 2016); Klungkung Tanah Tua, Tanah Cinta (Klungkung Bali, 2016); Matahari Cinta Samudra Kata (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2016); Seratus Puisi Qurani (2016); Kopi Penyair Dunia (2016); Pesan Damai untuk Seluruh Manusia (PCIUN Maroko, 2017); Kota Terbayang (Taman Budaya Yogyakarta, 2017); Puisi Tentang Bogor (2017); Puisi Tentang Masjid (2017); Dari Partai Demokrat untuk Indonesia (2017); Senja Jati Gede (2017); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018); Dari Cempuring ke Sunan Panggung (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018); Kembang Glepang (2018); Sesapa Mesra Selinting Cinta – Temu Penyair Nusantara XI (Kudus, 2019); Terus Berkarya di Usia Senja, Brengkesan 72 Tahun Ahmad Tohari (2020); Nalika Rembulan Bunder (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2020); Nunggak Semi Dunia Iman Budhi Santosa (2021), naskah lakon terjemahan Dahuru ing Negeri Semut (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2021); Sejuta Puisi untuk Jakarta (2022), dan Kembang Glepang 3 (2023). Novel, fiksi sejarah, cerita rakyat, cerita wayang: Centhini: Malam Ketika Hujan (Diva Press Yogyakarta, 2011); Dharma Cinta (Laksana, 2011); Jaman Gemblung (Diva Press Yogyakarta, 2011); Sabdapalon (Araska, 2011); Dharma Gandul: Sabda Pamungkas dari Guru Sabdajati (Araska, 2012); Ratu Kalinyamat: Tapa Wuda Asinjang Rikma (Araska, 2012); Kiamat: Petaka di Negeri Madyantara (In AzNa Books, 2012); Centhini: Kupu-Kupu Putih di Langit Jurang Jangkung (Araska, 2012); Serial Crita Rakyat Dahuru ing Praja Wilwatikta (Majalah Djaka Lodang, 2022); Serial Crita Rakyat Pletheke Surya Wilwatikta (Majalah Jayabaya, 2022-2023); dan Serial Crita Rakyat Sigare Bumi Wilwatikta (Majalah Penyebar Semangat, 2023); dan Serial Crita Wayang Kresna Duta (Majalah Jayabaya, 2024). Buku-buku lainnya yang sudah terbit: Membuka Gerbang Dunia Anak (Annora Media, 2009); Suyudana Lengser Keprabon (In AzNa Books, 2011); Kisah Jagad Pakeliran Jawa (Araska, 2011); Wisdom Van Java (In AzNa Books, 2012); Falsafah Kepemimpinan Jawa: Soeharto, Sri Sultan HB IX & Jokowi (Araska, 2013); Sejarah Kejayaan Singhasari & Kitab Para Datu (Araska, 2013); Babad Tanah Jawa (Araska, 2014); Sejarah Raja-Raja Jawa (Araska, 2014); Satriya Piningit (Araska, 2014); Geger Bumi Mataram (Araska, 2014); Geger Bumi Majapahit (Araska, 2014); Ensklopedia Kearifan Jawa (Araska, 2014); Sejarah Perang di Bumi Jawa (Araska, 2014); Sejarah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan di Nusantara (Araska, 2014); Ensklopedia Raja-Raja Nusantara (Araska, 2014); Ensklopedia Karakter Tokoh-Tokoh Wayang (Araska, 2014); Wanita dalam Khasanah Pewayangan (Araska, 2015); Aja Dumeh: Buku Pintar Kearifan Orang Jawa (Araska, 2015); Panduan Praktis Menjadi Penulis Andal: Karya Ilmiah, Artikel, Resensi, Apresiasi & Kritik Seni, Naskah Lakon, Puisi, Cerpen, dan Novel (Araska, 2015); Buku Induk Bahasa dan Sastra Indonesia (Araska, 2015); Mahir Peribahasa Indonesia (Araska, 2015); Buku Induk EYD (Araska, 2015); Politik dalam Sejarah Kerajaan Jawa (Araska, 2016); Babad Tanah Jawa: dari Watugunung yang Menikahi Ibunya hingga Geger PeChinan (Araska, 2016); Petuah-Petuah Leluhur Jawa (Araska, 2016); Babad Giyanti: Palihan Nagari dan Perjanjian Salatiga (Araska, 2016); 13 Raja Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah Kerajaan di Tanah Jawa (Araska, 2016); Sejarah Kerajaan-Kerajaan Besar di Nusantara (Araska, 2016); Menulis Kreatif itu Gampang (Araska, 2016); Sejarah Pemberontakan Kerajaan di Jawa (Araska, 2017); Filsafat Jawa (Araska, 2017); Sejarah dan Asal-Usul Orang Jawa (Araska, 2017); Sejarah Raja-Raja Jawa dari Kalingga hingga Mataram Islam (Araska, 2017); Sejarah Istri-Istri Raja Jawa (Araska, 2017); Sejarah Islam di Tanah Jawa (Araska, 2017); Kisah Horror Ketemu Genderuwo (Araska, 2017); Sang Jenderal: Riwayat Hidup, Perjuangan, dan Cinta Jenderal Soedirman (Araska, 2017); Sejarah Perang Kerajaan-Kerajaan di Nusantara (Araska, 2017); Etika Jawa (Araska, 2018); Filsafat Kepemimpinan Jawa (Araska, 2018); Kronik Perang Saudara dalam Sejarah Kerajaan di Jawa 1292-1767 (Araska, 2018); Sejarah Runtuhnya Sriwijaya dan Majapahit (Araska, 2018); Hitam Putih Mahapatih Gajah Mada (Araska, 2018); Sultan Agung: Menelusuri Jejak-Jejak Kekuasaan Mataram (Araska, 2019); Sejarah Kejayaan Singhasari Antara Mitos, Fakta, Pesona, dan Sisi Kelamnya (Araska, 2019); Untung Surapati: Pemberontakan Seorang Budak (Araska, 2019); Ratu Kalinyamat (Araska, 2019); Hitam Putih Majapahit (Araska, 2019); Gajah Mada Kisah Cinta dan Kisah Penakluk-Penaklukannya (Araska, 2019); Perang Bubat (Araska, 2020); Babad Diponegoro: Kisah Sejarah, Silsilah & Pemikiran Sufistik Pangeran Diponegoro (Araska, 2023), Etika Jawa: Prinsip Hidup dan Pedoman Hidup Orang Jawa (Araska, 2023), Falsafah Kepemimpinan Jawa: Menyelami Kearifan dan Filosofi Kepemimpinan dalam Budaya Jawa (Araska, 2024), Perang Suksesi Jawa: Melacak Konflik dan Intrik para Pangeran Darah Biru dalam Pergeseran Kekuasaan Di Keraton Jawa (Araska, 2024), dan Horror Tanah Jawa Tumbal Genderuwo (Araska, 2024). Bersama Indra Tranggono dan R. Toto Sugiharto, menulis buku Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #15 (Taman Budaya Yogyakarta, 2016), Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #16 (Taman Budaya Yogyakarta, 2017). Prestasi yang diraih dalam dunia kepenulisan: Nominasi Lomba Cipta Puisi Esai tingkat nasional (2014), Juara II Lomba Cipta Cerpen Sanggar Sastra Bukit Bintang Yogyakarta (2018), Nominasi Lomba Cipta Puisi Nasinal “Sejuta Puisi untuk Jakarta” (2022), dan Juara III Lomba Cipta Puisi Multimedia “Keris,” Dinas Kebudayaan Yogyakarta (2023). Nama kepenyairannya dicatat dalam: Buku Pintar Sastra Indonesia (Pamusuk Eneste, Penerbit Kompas, 2001), dan Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Abdul Hadi WM, Ahmadun Yosi Herfanda, Hasan Aspahani, Rida K Liamsi, dan Sutardji Calzoum Bachri, Yayasan Hari Puisi, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017), Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018), dan Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #18 (Taman Budaya Yogyakarta, 2021). Selain menulis buku, sering menjadi juri lomba baca dan cipta karya sastra di lingkungan sekolah, juri lomba teater dan pantomim, serta dipercaya sebagai nara sumber dalam pelatihan cipta karya sastra untuk siswa dan guru. Sekarang mengelola Paguyuban Sholawat Jawa Langen Ambiya dan Sanggar Lierasi Laras Aksara (Selaksa) Yogyakarta. Yogyakarta. Tinggal di Gejawan Kulon 02/034, Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarta. WA: 0856-0007-1262.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Jenderal Soedirman dalam Revolusi Fisik Yogyakarta

3 Juli 2024   08:46 Diperbarui: 3 Juli 2024   09:00 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
id.pinterest.com/Diana Dien

Secara etimologis, sejarah berasal dari Bahasa Arab yakni syajarotun yang bermakna pohon. Sejarah yang dalam bahasa Inggris disebut history atau istoria (bahasa Yunani) bermakna ilmu. Berpijak dari makna harfiahnya tersebut, sejarah didefenisikan suatu ilmu yang memelajari peristiwa faktual di masa silam dari perkara asal mula, riwayat, hingga silsilah.  

Sejarah mencatat peristiwa faktual yang dibuktikan dengan data-data. Pendapat tersebut sejalan dengan teori Mohammad Yamin. Ia menyatakan bahwa sejarah merupakan ilmu pengetahuan yang disusun atas hasil penyelidikan peristiwa, yang dapat dibuktikan dengan kebenaran.

Sebagai ilmu, sejarah bukan sekadar mencakup sejarah dunia, namun pula sejarah nasional dan sejarah regional. Tentunya, sejarah tersebut mengisahkan peristiwa dan tokoh-tokoh terkait yang hidup di masa lalu. Karenanya dalam menguak sejarah Revolusi Fisik Yogyakarta (1945-1949) tidak dapat dilepaskan dengan nama Djenderal Soedirman. Tokoh perang gerilya yang memiliki andil besar dalam Serangan Oemoem baik di Jawa Tengah maupun di Yogyakarta.

Dari Revolusi Fisik hingga Operasi Gagak 

Revolusi Fisik mengandung pengertian yakni suatu totalitas perjuangan bangsa terjajah kepada bangsa kolonial untuk melakukan perubahan status negaranya dari terjajah menjadi merdeka sepenuhnya.

Sebagaimana daerah-daerah lain di Indonesia, Yogyakarta pun melakukan Revolusi Fisik pada tahun 1945-1949. Suatu revolusi yang ditengarai dengan perlawanan bersenjata dari bangsa Indonesia hingga mampu mewujudkan negaranya mencapai kemerdekaan penuh.

Sejarah Revolusi Fisik Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dengan perjuangan bangsa Indonesia. Pada tahun 1942, penjajahan Belanda berakhir ketika Jepang mulai mencengkeramkan cakar kekuasaannya di nusantara. 

Namun sewaktu Hirosima dan Nagasaki dibom atom oleh Amerika (6 Agustus 1945), kekuasaan Jepang atas Indonesia memudar. Melihat realitas tersebut, Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia di Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta pada 17 Agustus 1945.

Kemerdekaan Indonesia mulai mendapatkan ujian ketika pasukan Sekutu di bawah komando Lord Mountbatten bertanggung jawab atas bekas wilayah kekuasaan Jepang, terutama Sumatera dan Jawa. Ujian semakin besar ketika NICA (Netherland Indies Civil Administration) di bawah kepemimpinan Dr. Hubertus J van Mook yang membonceng Sekutu tersebut ingin kembali menguasai Indonesia.

Keberhasilan NICA menduduki Jakarta mengakibatkan ibukota Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Melalui kereta api buatan Jerman, pemerintah yang dipimpin Presiden Soekarno berangkat diam-diam ke Yogyakarta pada malam hari. Oleh Sri Sultan Hemengkubuwana IX dan Sri Pakualam VIII, permindahan pemerintah tersebut disambut dengan tangan terbuka.

Pada 15 November 1946, perundingan Linggarjati antara Belanda dan Indonesia yang ditengahi Inggris dilaksanakan. Perjanjian yang substansinya merugikan Indonesia tersebut baru ditandatangani oleh kedua pihak pada 25 Maret 1947. Sungguhpun lebih diuntungkan, Belanda mengkhianati perjanjian tersebut hingga melakukan Agresi Militer I yang berlangsung dari 21 Juli hingga 5 Agustus 1947. Agresi Militer tersebut bukan hanya terjadi di Jawa, namun pula di Sumatera.

Pasca Agresi Militer I, peristiwa yang layak dikenang adalah Perjanjian Renville. Namun perjanjian antara Belanda dan Indonesia (17 Januari 1948) yang menghasilkan keputusan perbatasan wilayah kedua pihak tersebut kembali dikhianati Belanda.

Pengkhianatan atas perjanjian Linggarjati dan Renville dikarenakan Belanda ingin kembali menguasai Indonesia. Demi tujuan tersebut, Belanda melakukan Agresi Militer II di Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Agresi Militer tersebut digencarkan oleh pasukan elit KST di bawah komando Kapten Eekhout.

Akibat Agresi Militer II yang dikenal dengan Operasi Gagak (Operasi Kraal) tersebut, ibukota negara Indonesia dipindahkan oleh Presiden Soekarno dari Yogyakarta ke Bukit Tinggi (Sumatera Barat). Tindakan tersebut dilakukan sebelum Soekarno beserta Muhammad Hatta, Sutan Syahrir, KH. Agus Salim, RS. Soerjadarma, Mr. Assaat, dan Mr. Ag. Pringgodigdo ditangkap. Sebagian mereka diasingkan di Brastagi dan Parapat (Medan, Sumatera Barat). Sebagian lainnya diasingkan di Bukit Manumbing Mentok (Pangkalpinang, Kepulauan Bangka).

Sewaktu terjadi Operasi Gagak yang berhasil melumpuhkan Yogyakarta, Jenderal Soedirman beserta pasukannya meninggalkan kota. Akan tetapi, ia bukan sebagai pecundang dan takut mati di medan perang. Melainkan, ia ingin melancarkan perang gerilya melawan Belanda. Perang gerilya yang dimulai dari wilayah Bantul, Gunungkidul, Wonogiri, hingga Pacitan.

Soedirman, Pahlawan Revolusi Fisik Yogyakarta

Muncul dua versi yang menjelaskan tentang silsilah Djenderal Soedirman. Menurut buku-buku sejarah yang terbit pada tahun 1975, ia merupakan putra dari pekerja pabrik gula Karsid Kartawiraji dan Siyem. Namun menurut Teguh Soedirman berdasarkan cerita ibunya yakni Siti Alfiah, ayahnya merupakan putra dari Raden Tjokrosunarjo. Seorang asisten wedana dari Bodas, Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah.

Sejak kecil, Soedirman mendapatkan pendidikan etika, etos kerja, spirit kepahlawanan dari Tjokrosunarjo. Dari KH. Qahar, ia mendapatkan pelajalaran agama Islam. Karenanya tidak heran bila saat dewasa, ia memiliki sopan santun, giat bekerja, dan memerjuangkan nasib bangsa dan negaranya.

Sebelum menjadi anggota Pembela Tanah Air (PETA) pada awal 1944, Soedirman pernah menjadi guru dan kepala Sekolah di HIS Muhammadiyah. Sesudah empat bulan mengikuti pelatihan di PETA, ia ditempatkan di Kroya. Suatu willayah yang sekarang masuk Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah.

Pada akhir Agustus 1945, Soedirman mendirikan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Banyumas. Karirnya semakin hari semakin cemerlang. Terbukti pada 12 November 1945, ia dipilih sebagai ketua Tentara Keamanan Rakjat (TKR). Sesudah berhasil memukul mundur pasukan Sekutu di Ambarawa (18 Desember 1945), ia dikukuhkan sebagai panglima besar.

Sewaktu pelaksanaan Perjanjian Linggarjati antara Belanda dan Indonesia pada 15 November 1946 dan disyahkan pada 25 Maret 1947, Djenderal Soedirman dilibatkan. Sebagaimana para nasionalis lainnya, ia tidak sepakat dengan hasil perundingan yang sangat merugikan bangsa dan negara Indonesia.

Awal 1947, Djenderal Soedirman melakukan konsolidasi TKR dan berbagai laskar. Ketika Belanda melakukan Agresi Militer I, ia beserta TKR yang telah berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 3 Juni 1947 tersebut melakukan perlawanan. Ketika melawan Belanda, ia menyerukan pada pasukannya, "Ibu pertiwi memanggil!"

Berdasarkan Ketetapan Presiden (Kepres) No. 9 tahun 1948, Djenderal Soedirman ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai pimpinan Markas Besar Pertempuran. Soerjadi Soerjadarma sebagai staf Angkatan Perang. Sedangkan yang menjabat sebagai wakil panglima adalah A. H. Nasution.

Ketika terjadi pemberontakan Madiun, Djenderal Soedirman yang mengidap penyakit tuberculosis (TBC) tersebut memerintahkan Nasution beserta dua perwira lainnya untuk memadamkan. Nasution pula yang melaksanakan tugasnya selama ia dirawat di RS Pantirapih Yogyakarta dari 5 Oktober - 28 November 1948.

Pada 19 Desember 1948 pukul 07.00 WIB, Djenderal Soedirman mendengar berita dari Radio Republik Indonesia (RRI). Berita tersebut mewartakan bahwa Belanda melancarkan Agresi Militer II yang dimulai di Lapangan Udara Maguwo.

Sesudah mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di RRI pukul 08.00 WIB, Djenderal Soedirman menyarankan pada Presiden Soekarno untuk meninggalkan kota. Namun, saran tersebut ditolak oleh Soekarno. Akibatnya, Soekarno ditangkap Belanda. Beserta para pemimpin lainnya, ia diasingkan ke luar Jawa.  

Beserta pasukannya, Djenderal Soedirman yang telah membakar semua dokumen penting di tempat kediamannya tersebut meninggalkan kota Yogyakarta. Berdasarkan catatan historis, terdapat beberapa daerah yang dijadikan persinggahannya selama melakukan perang gerilya. Beberapa daerah tersebut, yakni: Bantul, Gunungkidul (Yogyakarta); Wonogiri (Jawa Tengah); Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Kediri, Nganjuk, dan Pacitan (Jawa Timur).

Perang gerilya yang dilakukan oleh Djendral Soedirman tersebut menunjukkan bahwa Indonesia belum tunduk pada Belanda. Indonesia masih memiliki kekuatan untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Perlawanan yang tidak akan pernah padam. Sungguhpun, jantung sudah tidak berdetak. Napas sudah tidak berhembus.      

Spirit perjuangan Djenderal Soedirman dalam perang gerilya tersebut menunjukkan bahwa ia pantas dicatat sebagai seorang pahlawan Revolusi Fisik di Yogyakarta. Pahlawan yang menghendaki Indonesia mencapai kemerdekaan penuh. Merdeka di dalam menentukan nasibnya sendiri. Tanpa intervensi Belanda dan berbagai bentuk penjajahan dari pihak asing.

Soedirman dan Serangan Oemoem 

Dalam perkembangannya, opini internasional mulai mengutuk tindakan Belanda terhadap Indonesia. Mengetahui hal itu, Djenderal Soedirman dan Letnan Kolonel Wiliater Hutagalung membahas kemungkinan untuk melakukan serangan besar-besaran terhadap Belanda. Sementara, pihak Belanda sendiri yang menanggapi opini tersebut mengklaim bagwa Soedirman telah berhasil ditangkap.

Didukung opini internasional tersebut, Djenderal Soedirman segera mengambil tindakan. Ia memerintahkan Hutagalung untuk merencanakan serangan besar-besaran bersama pasukan TNI terhadap Belanda. Hal tersebut dimaksudkan untuk mununjukkan kekuatan para gerilyawan di mata wartawan asing dan tim investigasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Bersama Kolonel Bambang Sugeng dan para pejabat pemerintah di bawah Gubernur Wongsonegoro, Hutagalung membahas strategi serangan terhadap Belanda. Dari pertemuan mereka itulah, rencana Serangan Oemoem baik di Jawa Tengah maupun di Yogyakarta akan dilaksanakan pada 1 Maret 1949.

Di bawah komando Kolonel Soeharto, Serangan Oemoem enam Jam di Yogyakarta membawa hasil gemilang. Akibatnya, keberhasilan serangan tersebut membuahkan hasil yakni terbebasnya Yogyakarta dari cengkeraman Belanda. Sementara, pihak Belanda merasa dipermalukan di mata internasional. Mengingat sebelumnya Belanda menyatakan bahwa TNI berhasil dilumpuhkannya.

Semakin meningkatnya tekanan dari PBB, Indonesia dan Belanda berakhir menggelar perundingan Roem-Royen pada 7 Mei 1949. Salah satu hasil perundingan yakni agar Belanda menarik pasukannya dari wilayah Yogyakarta. Hasil tersebut bukan sekadar isapan jempol. Mengingat pada penghujung Juni 1949, Belanda benar-benar meninggalkan Yogyakarta tanpa perlawanan.

Pada awal Juli 1949, para pemimpin Indonesia yang tinggal di pengasingan pulang ke Yogyakarta. Sesudah di Yogyakarta, Presiden Soekarno memerintahkan agar Djenderal Soedirman pulang ke Yogyakarta. Namun, perintah tersebut ditolaknya. Ia baru bersedia pulang sesudah menerima surat dari Sri Sultan Hamengkubuwana IX.

Djenderal Soedirman kembali ke Yogyakarta pada 10 Juli 1949. Ia bukan hanya disambut oleh ribuan warga, namun pula diterima hangat oleh para elit politik. Hingga tahun 1973, Wartawan Rosihan Anwar menulis, "Soedirman harus kembali ke Yogyakarta untuk menghindari anggapan adanya keretakan antar pemimpin tertinggi republik."

Sekadar Catatan 

Berpijak uraian di muka dapat disimpulkan bahwa Revolusi Fisik Yogyakarta sebagai kekuatan atas hengkangnya pasukan Belanda dari Indonesia. Sementara, Revolusi Fisik yang dimulai dengan perang gerilya Soedirman hingga Serangan Oemoem mampu mengubah status negara Indonesia dari terjajah menjadi merdeka seutuhnya.

Keberhasilan Revolusi Fisik Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dengan perjuangan Djendral Soedirman dan para pejuang, semisal: Hutagalung, Bambang Sugeng, Soeharto, Sri Sultan Hamengkubuwana IX, dan lainnya. Karenanya, Sang Djenderal yang berjuang dalam kondisi sakit parah bukan hanya pantas dikenang namanya dan dicatat dalam buku sejarah perjuangan Indonesia, namun layak diteladani oleh generasi penerus.

Dengan meneladani spirit perjuangan Djenderal Soedirman, generasi penerus niscaya akan memberikan sumbang sih pada bangsa dan negara. Bukan sebaliknya sebagai generasi cengeng yang hanya bisa menuntut bantuan yang dikucurkan oleh negara. Singkatnya, "Jangan tanyakan apa yang diberikan negara kepada kita, tetapi apa yang telah kita berikan pada negara!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun