Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Editor Video, Graphic Designer

SRI WINTALA ACHMAD, pernah belajar di Fak. Filsafat UGM Yogyakarta. Karya-karya sastranya dipublikasikan di Kompas, Republika, Suara Karya, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Lampung Pos, Trans Sumatera, Bangka Pos, Solo Pos, Surabaya Pos, Banjarmasin Pos, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Bernas, Masa Kini, Yogya Pos, Merapi, Fajar Sumatera, Amanah (Malaysia), Aksara International Journal of Indonesian Literature (Australia), Suara Muhammadiyah, Adiluhung, Trapsila, Bakti, Praba, Gong, Artista, Mata Jendela, Jaya Baya, Djaka Lodang, Penyebar Semangat, Mekarsari, Pagagan, Sempulur, Swaratama, Karas, dll. Antologi sastra dan esai kolektifnya: Pelangi (Karta Pustaka/Rasialima, 1988); Nirmana (Wirofens Group, 1990); Alif-Lam-Mim (Teater Eska/SAS, 1990); Zamrud Katulistiwa (Balai Bahasa Yogyakarta/Taman Budaya Yogyakarta, 1997); Sastra Kepulauan (Dewan Kesenian Sulawesi Selatan, 1999); Pasar Kembang (Komunitas Sastra Indonesia, 2000); Embun Tajali (FKY 2000); Lirik Lereng Merapi (Dewan Kesenian Sleman, 2000); Bilah Belati di Depan Cermin (Dewan Kesenian Sleman, 2002); Di Batas Jogja (FKY, 2002); Code (FKY, 2005); Musik Puisi Nasional (LKiS, 2006); Malioboro (Balai Bahasa Yogyakarta, 2008); Perempuan Bermulut Api (Balai Bahasa Yogyakarta, 2010); Tiga Peluru (Kumpulan Cerpen Pilihan Mingguan Minggu Pagi Yogyakarta, 2010); Pasewakan (2011), Kembali Jogja Membaca Sastra (Rumah Budaya Tembi, 2011); Suluk Mataram (Great Publisher, 2011); Jejak Sajak (Jambi, 2012); Dari Sragen Memandang Indonesia (Dewan Kesenian Sragen, 2012); Sauk Seloko – Pertemuan Penyair Nusantara VI (Dewan Kesenian Jambi, 2012); Indonesia di Titik 13 (Dewan Kesenian Pekalongan, 2013); Spring Fiesta [Pesta Musim Semi] (Indonesian & English Poetry Grup & Araska Publisher, 2013); Tifa Nusantara I (Temu Penyair Nusantara – Dewan Kesenian Tangerang, 2013); Sesotya Prabangkara ing Langit Ngayogya (Yogyakarta, 2014); Negeri Langit (Komunitas Radja Ketjil Jakarta, 2014); Rantau Cinta, Rantau Sejarah (Jurnal Sajak, 2014); Tifa Nusantara II (Temu Penyair Nusantara – Dewan Kesenian Tangerang, 2015); Pesta Rakyat Sleman (Digna Pustaka dan Lingkar Budaya Sleman, 2015); Jalan Remang Kesaksian (LPSK/Rumah Budaya Tembi, 2015); Jejak Tak Berpasar (Komunitas Sastra Indonesia/Yayasan Laksita, 2015); Memandang Bekasi (Dewan Kesenian Bekasi/Dinas Parbudpora Kabupaten Bekasi, 2015); Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Ije Lela Tifa Nusantara 3 (Marabahan, 2016); Klungkung Tanah Tua, Tanah Cinta (Klungkung Bali, 2016); Matahari Cinta Samudra Kata (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2016); Seratus Puisi Qurani (2016); Kopi Penyair Dunia (2016); Pesan Damai untuk Seluruh Manusia (PCIUN Maroko, 2017); Kota Terbayang (Taman Budaya Yogyakarta, 2017); Puisi Tentang Bogor (2017); Puisi Tentang Masjid (2017); Dari Partai Demokrat untuk Indonesia (2017); Senja Jati Gede (2017); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018); Dari Cempuring ke Sunan Panggung (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018); Kembang Glepang (2018); Sesapa Mesra Selinting Cinta – Temu Penyair Nusantara XI (Kudus, 2019); Terus Berkarya di Usia Senja, Brengkesan 72 Tahun Ahmad Tohari (2020); Nalika Rembulan Bunder (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2020); Nunggak Semi Dunia Iman Budhi Santosa (2021), naskah lakon terjemahan Dahuru ing Negeri Semut (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2021); Sejuta Puisi untuk Jakarta (2022), dan Kembang Glepang 3 (2023). Novel, fiksi sejarah, cerita rakyat, cerita wayang: Centhini: Malam Ketika Hujan (Diva Press Yogyakarta, 2011); Dharma Cinta (Laksana, 2011); Jaman Gemblung (Diva Press Yogyakarta, 2011); Sabdapalon (Araska, 2011); Dharma Gandul: Sabda Pamungkas dari Guru Sabdajati (Araska, 2012); Ratu Kalinyamat: Tapa Wuda Asinjang Rikma (Araska, 2012); Kiamat: Petaka di Negeri Madyantara (In AzNa Books, 2012); Centhini: Kupu-Kupu Putih di Langit Jurang Jangkung (Araska, 2012); Serial Crita Rakyat Dahuru ing Praja Wilwatikta (Majalah Djaka Lodang, 2022); Serial Crita Rakyat Pletheke Surya Wilwatikta (Majalah Jayabaya, 2022-2023); dan Serial Crita Rakyat Sigare Bumi Wilwatikta (Majalah Penyebar Semangat, 2023); dan Serial Crita Wayang Kresna Duta (Majalah Jayabaya, 2024). Buku-buku lainnya yang sudah terbit: Membuka Gerbang Dunia Anak (Annora Media, 2009); Suyudana Lengser Keprabon (In AzNa Books, 2011); Kisah Jagad Pakeliran Jawa (Araska, 2011); Wisdom Van Java (In AzNa Books, 2012); Falsafah Kepemimpinan Jawa: Soeharto, Sri Sultan HB IX & Jokowi (Araska, 2013); Sejarah Kejayaan Singhasari & Kitab Para Datu (Araska, 2013); Babad Tanah Jawa (Araska, 2014); Sejarah Raja-Raja Jawa (Araska, 2014); Satriya Piningit (Araska, 2014); Geger Bumi Mataram (Araska, 2014); Geger Bumi Majapahit (Araska, 2014); Ensklopedia Kearifan Jawa (Araska, 2014); Sejarah Perang di Bumi Jawa (Araska, 2014); Sejarah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan di Nusantara (Araska, 2014); Ensklopedia Raja-Raja Nusantara (Araska, 2014); Ensklopedia Karakter Tokoh-Tokoh Wayang (Araska, 2014); Wanita dalam Khasanah Pewayangan (Araska, 2015); Aja Dumeh: Buku Pintar Kearifan Orang Jawa (Araska, 2015); Panduan Praktis Menjadi Penulis Andal: Karya Ilmiah, Artikel, Resensi, Apresiasi & Kritik Seni, Naskah Lakon, Puisi, Cerpen, dan Novel (Araska, 2015); Buku Induk Bahasa dan Sastra Indonesia (Araska, 2015); Mahir Peribahasa Indonesia (Araska, 2015); Buku Induk EYD (Araska, 2015); Politik dalam Sejarah Kerajaan Jawa (Araska, 2016); Babad Tanah Jawa: dari Watugunung yang Menikahi Ibunya hingga Geger PeChinan (Araska, 2016); Petuah-Petuah Leluhur Jawa (Araska, 2016); Babad Giyanti: Palihan Nagari dan Perjanjian Salatiga (Araska, 2016); 13 Raja Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah Kerajaan di Tanah Jawa (Araska, 2016); Sejarah Kerajaan-Kerajaan Besar di Nusantara (Araska, 2016); Menulis Kreatif itu Gampang (Araska, 2016); Sejarah Pemberontakan Kerajaan di Jawa (Araska, 2017); Filsafat Jawa (Araska, 2017); Sejarah dan Asal-Usul Orang Jawa (Araska, 2017); Sejarah Raja-Raja Jawa dari Kalingga hingga Mataram Islam (Araska, 2017); Sejarah Istri-Istri Raja Jawa (Araska, 2017); Sejarah Islam di Tanah Jawa (Araska, 2017); Kisah Horror Ketemu Genderuwo (Araska, 2017); Sang Jenderal: Riwayat Hidup, Perjuangan, dan Cinta Jenderal Soedirman (Araska, 2017); Sejarah Perang Kerajaan-Kerajaan di Nusantara (Araska, 2017); Etika Jawa (Araska, 2018); Filsafat Kepemimpinan Jawa (Araska, 2018); Kronik Perang Saudara dalam Sejarah Kerajaan di Jawa 1292-1767 (Araska, 2018); Sejarah Runtuhnya Sriwijaya dan Majapahit (Araska, 2018); Hitam Putih Mahapatih Gajah Mada (Araska, 2018); Sultan Agung: Menelusuri Jejak-Jejak Kekuasaan Mataram (Araska, 2019); Sejarah Kejayaan Singhasari Antara Mitos, Fakta, Pesona, dan Sisi Kelamnya (Araska, 2019); Untung Surapati: Pemberontakan Seorang Budak (Araska, 2019); Ratu Kalinyamat (Araska, 2019); Hitam Putih Majapahit (Araska, 2019); Gajah Mada Kisah Cinta dan Kisah Penakluk-Penaklukannya (Araska, 2019); Perang Bubat (Araska, 2020); Babad Diponegoro: Kisah Sejarah, Silsilah & Pemikiran Sufistik Pangeran Diponegoro (Araska, 2023), Etika Jawa: Prinsip Hidup dan Pedoman Hidup Orang Jawa (Araska, 2023), Falsafah Kepemimpinan Jawa: Menyelami Kearifan dan Filosofi Kepemimpinan dalam Budaya Jawa (Araska, 2024), Perang Suksesi Jawa: Melacak Konflik dan Intrik para Pangeran Darah Biru dalam Pergeseran Kekuasaan Di Keraton Jawa (Araska, 2024), dan Horror Tanah Jawa Tumbal Genderuwo (Araska, 2024). Bersama Indra Tranggono dan R. Toto Sugiharto, menulis buku Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #15 (Taman Budaya Yogyakarta, 2016), Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #16 (Taman Budaya Yogyakarta, 2017). Prestasi yang diraih dalam dunia kepenulisan: Nominasi Lomba Cipta Puisi Esai tingkat nasional (2014), Juara II Lomba Cipta Cerpen Sanggar Sastra Bukit Bintang Yogyakarta (2018), Nominasi Lomba Cipta Puisi Nasinal “Sejuta Puisi untuk Jakarta” (2022), dan Juara III Lomba Cipta Puisi Multimedia “Keris,” Dinas Kebudayaan Yogyakarta (2023). Nama kepenyairannya dicatat dalam: Buku Pintar Sastra Indonesia (Pamusuk Eneste, Penerbit Kompas, 2001), dan Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Abdul Hadi WM, Ahmadun Yosi Herfanda, Hasan Aspahani, Rida K Liamsi, dan Sutardji Calzoum Bachri, Yayasan Hari Puisi, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017), Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018), dan Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #18 (Taman Budaya Yogyakarta, 2021). Selain menulis buku, sering menjadi juri lomba baca dan cipta karya sastra di lingkungan sekolah, juri lomba teater dan pantomim, serta dipercaya sebagai nara sumber dalam pelatihan cipta karya sastra untuk siswa dan guru. Sekarang mengelola Paguyuban Sholawat Jawa Langen Ambiya dan Sanggar Lierasi Laras Aksara (Selaksa) Yogyakarta. Yogyakarta. Tinggal di Gejawan Kulon 02/034, Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarta. WA: 0856-0007-1262.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Taufiq Ismail: Puisi, Kredo, dan Kepeduliannya pada Wong Cilik

2 Juli 2024   12:13 Diperbarui: 2 Juli 2024   14:38 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taufiq Ismail Sumber Foto: aminef.or.id

Di dalam sejarah sastra Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan Angkatan 66. Suatu angkatan sastrawan cetusan Hans Bague (HB) Jassin tersebut mencatat beberapa nama kreator karya sastra (penyair), antara lain: Slamet Sukirnanto, Bur Rasianto, Abdul Wahid Situmeang, dan Taufiq Ismail.

Terlepas dari kontroversi karena penolakan nama Angkatan 66 oleh Satyagraha Hoerip dan Ratmat Djoko Pradopo, Taufiq Ismail tetap diakui eksistensinya sebagai penyair. Seorang kreator yang produktif pada era ketidakstabilan politik di dalam negeri. 

Bersama para kreator sastra yang berkarya pada era 60-70an, Taufiq Ismail dapat dsebut sebagai penyair Manikebu (Manifesto Kebudayaan). Suatu angkatan cetusan Satyagraha Hoerip yang dapat ditangkap sebagai counter (penolakan) terhadap Angkatan 66.

Sebagai penyair, Taufiq Ismail -- putra pasangan A. Gaffar Ismail dan Sitti Nur Muhammad Nur yang lahir tahun 1935 -- tidak memedulikan kontroversi angkatan antara HB Jassin versus Satyagraha Hoerip. Mengingat darma seorang penyair tidak mencampuri urusan pengamat (kritikus) sastra, melainkan hanya mencipta puisi sebaik mungkin.        

Berkat kesetiaan darmanya di dalam berkarya sastra, Taufiq Ismail melahirkan beberapa buku antologi puisi, di antaranya: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Ketika Kata Ketika Warna, dan lain-lain. Selain itu, Taufiq juga membacakan karya-karyanya di beberapa kota Asia, Australia, Afrika, Eropa, dan Emerika.

Tidak aneh bila Taufiq Ismail yang telah teruji proses kreatifnya dalam penciptaan puisi tersebut mendapat beberapa penghargaan, di antaranya: Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia (1970), Taufiq Ismail mendapat penghargaan Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia (1977), South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), dan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994).

Pada tahun 1971-1972, Taufiq Ismail menjadi penyair tamu di Universitas Iowa, Amerika Serikat. Kemudian pada 1993, Taufq menjadi penyair tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur (1993). Dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dulu Insitutut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Yogyakarta, Taufiq mendapatkan gelar doctor honora causa.

Puisi Tidak Serius yang Serius

Dalam pernyataannya, Taufiq Ismail merasa bosan dengan puisi-puisi serius. Kebosanan Taufiq tersebut terbuktikan dengan karya-karyanya yang tidak terikat dengan segudang aturan penciptaan puisi yang rumit. Di mana, puisi harus diciptakan dengan memertimbangkan unsur diksi, metafora, simbol, gaya bahasa, dan tetek bengek lain yang memenjarakan kemerdekaan penyair dalam berkreasi dan bereksplorasi.

Kemerdekaan Taufiq Ismail dalam penciptaan puisi tersebut mencerminkan sikapnya yang tidak ingin terbelenggu dari kemapanan. Penjara yang akan membatasi penyair untuk melakukan dinamisasi dan pembaruan dalam dunia puisi. Sehingga puisi hanya akan menahtakan penyair di puncak menara gading. Tidak menjadikan penyair sebagai inspirator bagi publik dalam kehidupan yang membumi.

Sikap Taufiq Ismail yang tidak menyukai puisi serius dapat ditangkap melalui karya-karyanya. Taufiq yang cenderung mencipta puisi tak serius dalam pengertian transparan, ugahari, dan komunikatif dapat membumi. Karya-karyanya tidak hanya dapat dipahami maknanya oleh penyairnya sendiri, ahli (kritikus) sastra, dan sastrawan; namun pula masyarakat awam.

Sungguhpun karya-karya Taufiq Ismail dapat dikategorikan sebagai puisi transparan namun tidak bersifat sloganis. Faktor estetika dan puitika pada setiap karyanya tetap dipertimbangkan. Susunan diksi yang membentuk larik-larik dan bait-bait dalam puisi menjadi kesatuan yang padu. Sehingga, makna utuh dari puisi tersebut relatif mudah untuk dipahami.

Agar makna puisi-puisi yang diciptakannya mudah dipahami publik sekiranya menjadi tujuan Taufiq Ismail. Dengan demikian, publik akan dapat menangkap buah gagasan dan nilai yang melekat pada karya-karyanya. Melalui gagasan tersebut, publik pun akan terinspirasi sehingga puisi bukan sekadar hadir. Tetapi, puisi yang dapat memaknai kehadirannya. Sehingga puisi tersebut memiliki kontribusi positif pada insan berpikiir (manusia) sebagaimana  dimanifestasikan dalam puisi bertajuk pertanyaan Bagaimana Kalau (1966) di bawah ini:

 

Bagaimana Kalau

 

Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam,

tapi buah alpukat,

Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat,

Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah,

dan kepada Koes Plus kita beri mandat,

Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi,

dan ibukota Indonesia Monaco,

Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas,

salju turun di Gunung Sahari,

Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin

dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop,

Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia

dibayar dengan pementasan Rendra,

Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi,

dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan,

Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya sehingga di

kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki

pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara

percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan

margasatwa Afrika,

Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil

mempertimbangkan protes itu,

Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita

pelihara ternak sebagai pengganti

Bagaimana kalau sampai waktunya

kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.

Sampai di sini bisa dinyatakan bahwa puisi-puisi Taufiq Ismail yang tidak serius justru serius. Tidak serius dalam hal mengikuti aturan-aturan baku dalam penciptaannya. Akan tetapi, amat serius dalam hal mengoptimalkan kehadiran karyanya di ruang apresiasi publik.

Kredo Kepenyairan Taufiq Ismail

Dalam perkembangannya, puisi-puisi Taufiq Ismail yang cenderung transparan dan panjang tersebut layak dibacakan di ruang apresiasi publik. Sementara puisi-puisinya yang pendek dilagukan oleh Chrisye, Ahmad Albar, Ucok Harahap, dan Bimbo pimpinan Samsudin Hardjakusumah. Penyanyi bersuara khas yang dikenal dengan Sam Bimbo.

Salah satu puisi Taufiq Ismail yang dinyanyikan oleh Bimbo hingga melegendaris tersebut bertajuk Dengan Puisi, Aku (1966). Adapun, lirik dari puisi tersebut terkutip lengkap di bawah ini: 

 

Puisi

 

Dengan puisi aku bernyanyi

Sampai senja umurku nanti

 

Dengan puisi aku bercinta

Berbatas cakrawala

 

Dengan puisi aku mengenang

Keabadian yang akan datang

 

Dengan puisi aku menangis

Jarum waktu bila kejam mengiris

 

Dengan puisi aku mengutuk

Nafas zaman yang busuk

 

Dengan puisi aku berdoa

Perkenankanlah kiranya

Melalui karya Dengan Puisi, Aku dapat terbaca kredo kepenyairan Taufiq Ismail. Di mana, penyair tersebut memerankan karya-karyanya sebagai media untuk mengekspresikan perasaan suka atau dukanya, cinta, kritik terhadap zaman yang busuk, dan sebagai doa. Kredo kepenyairannya tersebut menunjukkan bahwa puisi di mata Taufiq sebagai media interaksi internal, horisontal, dan transendental.

Selain menunjukkan sebagai kredo kepenyairannya, karya Dengan Puisi, Aku tersebut merefleksikan sebagai media interaksi internal antara Taufiq Ismail dengan akunya. Melalui puisi, Taufiq dapat menyalurkan suara hati, membebaskan beban pikiran, menyalurkan gagasan, mengekspresikan rasa cinta baik kepada manusia (makhluk) lain maupun Tuhan. Karena diungkapkan melalui puisi, Taufiq mengekpresikan apa yang dirasapikirkan senantiasa menerapkan daya kontemplatif, imajinatif, intuitif, logika. Sehingga, puisi transparannya yang tetap memedulikan simbol, metafor, dan puitika tidak terjebak sebagai karya transparan sloganis.

Beberapa puisi yang menunjukkan sebagai media interaksi horizontal Taufiq hzIsmail dengan kehidupan sosial, yakni: Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya (1966), Oda Bagi Seorang Sopir Truk (1966), Benteng (1966), Dari Catatan Seorang Demonstran (1993), Sembilan Burung Camar Tuan Yusuf (Cape Town, 26 April 1993), Takut 66, Takut 98 (1998), Kalian Cetak Kami Jadi Bangsa Pengemis (1998), dll.

Sementara, hubungan Taufiq Ismail dengan negara ditunjukkan melalui puisi-puisinya yang bertajuk: Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini (1966), Surat Ini Adalah Sebuah Sajak Terbuka (1966), Kembalikan Indonesia Padaku (1971), Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1998), Ketika Burung Merpati Sore Melayang, dll.

Dari sebagian puisi di muka menunjukkan bahwa Taufiq Ismail memiliki perhatian besar terhadap peristiwa pergolakan politik semasa pemerintahan Soekarno (1966), dan pada ambang akhir pemerintahan Soeharto (21 Mei 1998). Suatu peristiwa genting yang ditandai dengan demonstrasi dari para mahasiswa baik di pusat maupun daerah terhadap pemerintah Indonesia. Salah satu puisi yang melukiskan demontrasi mahasiswa bertajuk Benteng sebagaimana dikutip, di bawah ini:

 

Benteng

 

Sesudah siang panas yang meletihkan

Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas

Dan kita kembali ke karnpus ini berlindung

Bersandar dan berbaring, ada yang merenung

 

Di lantai bungkus nasi bertebaran

Dari para dermawan tidak dikenal

Kulit duku dan pecahan kulit rambutan

Lewatlah di samping Kontingen Bandung

Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana

Semuanya kumal, semuanya tak bicara

Tapi kita tldak akan terpatahkan

Oleh seribu senjata dari seribu tiran

 

Tak sempat lagi kita pikirkan

Keperluan-keperluan kecil seharian

Studi, kamar-tumpangan dan percintaan

Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam

Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam

 

1966

Bahasan terakhir berkaitan dengan kredo kepenyairan Taufiq Ismail adalah puisi yang berperan sebagai media interaksi transendentalnya dengan Tuhan. Dari seluruh karyanya hanya  puisi bertajuk Doa (1966) yang merefleksikan hubungan Taufiq sebagai kawula dan Tuhan sebagai Gusti.

Selanjutnya simak kutipan isi dari puisi tersebut, sebagai berikut: //Tuhan kami/Telah nista kami dalam dosa bersama/Bertahun membangun kultus ini/Dalam pikiran yang ganda/Dan menutupi hati nurani//Ampunilah kami/Ampunilah/Amin//Tuhan kami/Telah terlalu mudah kami/Menggunakan asmaMu/Bertahun di negeri ini/Semoga/Kau rela menerima kembali/Kami dalam barisanMu//Ampunilah kamiAmpunilah/Amin//.

Melalui puisi Doa, Taufiq Ismail menyampaikan gagasannya secara implisit bahwa dualism untuk mewujudkan ambisi pribadinya dengan mengatasnamakan Tuhan sebagai dosa. Karenanya, gerakan-gerakan politis yang senantiasa mengatasnamakan Tuhan (agama) tersebut dapat disebut sebagai kenistaan. Selain mencoreng nama baik agama tertentu, gerakan-gerakan politis semacam itu tidak dikehendaki Tuhan.

 

Taufiq Ismail Pecinta Wong Cilik

Taufiq Ismail yang mengenyam pendidikan dari SD (Solo, Semarang, Yogyakarta); SMP (Bukit Tinggi), SMA (Pekalongan), hingga FKHP-UI (Bogor) dibesarkan dari keluarga guru dan wartawan. Sungguhpun dari keluarga menengang, Taufiq sangat memerhatikan kehidupan wong cilik (orang atau rakyat kecil). Rakyat biasa yang bekerja sebagai tukang rambutan atau sopir truk.

Melalui puisi Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya yang digubah oleh Taufiq Ismail ketika meletus peristiwa politik di Indonesia pada tahun 1966 tersebut melukiskan dukungan seorang Tukang Rambutan kepada mahasiswa yang berjuang demi kemakmuran wong cilik. Namun, sebelum mengkaji makna dalam puisi tersebut, terlebih dahulu simak karya Taufiq yang terkutip lengkap di bawah ini:

 

Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya

 

Tadi siang ada yang mati,

Dan yang mengantar banyak sekali

Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah

Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!

Sampai bensin juga turun harganya

Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula

Mereka kehausan datam panas bukan main

Terbakar muka di atas truk terbuka

 

Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu

Biarlah sepuluh ikat juga

Memang sudah rezeki mereka

Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan

Seperti anak-anak kecil

"Hidup tukang rambutan!" Hidup tukang rambutani

Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya

Dan ada yang turun dari truk, bu

Mengejar dan menyalami saya

Hidup pak rambutan sorak mereka

Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar

"Hidup pak rambutan!" sorak mereka

Terima kasih, pak, terima kasih!

Bapak setuju karni, bukan?

Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara

Doakan perjuangan kami, pak,

Mereka naik truk kembali

Masih meneriakkan terima kasih mereka

"Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!"

Saya tersedu, bu. Saya tersedu

Belum pernah seumur hidup

Orang berterima-kasih begitu jujurnya

Pada orang kecil seperti kita.

Pada bait pertama dalam puisi di muka, Taufiq Ismail melukiskan tentang cerita Tukang Rambutan kepada istrinya. Di mana, demonstrasi yang merupakan bentuk perjuangan para mahasiswa itu telah menewaskan seorang dari mereka. Berkat perjuangan mereka, Tukang Rambutan yang memberikan dukungan suka rela itu berharap akan merasakan buah termanisnya. Selain turunnya harga bensin yang melambung, Tukang Rambutan itu akan dapat naik bus ke pasar.

Pada bait kedua, Taufiq Ismail melukiskan tentang rasa terima kasih para mahasiswa yang mendapat dukungan dari Tukang Rambutan. Dari rasa terima kasih mereka yang tulus itulah membuat Tukang Rambutan terharu. Sungguhpun sebagai wong cilih, Tukang Rambutan merasa diuwongke. Dihargai sebagai manusia, bahkan sebagai pahlawan yang turut berjuang tanpa yel-yel, bendera, panji-panji, atau senjata. 

Dari puisi tersebut bisa dipahami bahwa perjuangan yang dilakukan kaum akademis, menurut Taufiq Ismail, tidak bisa meninggalkan wong cilik. Sekalipun tidak memiliki senjata, wong cilik yang berhasil dipersatukan akan menjadi kekuatan super dahsyat. Bukankah Indonesia yang merupakan negara demokrasi menganut konsep Dari Rakyat Untuk Rakyat?

Senapas dengan Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya, Oda Bagi Seorang Sopir Truk juga melukiskan dukungan wong cilik pada perjuangan yang dilakukan para mahasiswa. Tampa peduli dengan uzur usianya, berubah, dan bungkuk tubuhnya; Sopir Truk mendukung perjuangan para mahasiswa agar jalan raya yang rusak dapat mulus.

Selanjutnya simak puisi Oda Bagi Seorang Sopir Truk, sebagai berikut: //Sebuah truk lama/Dengan supir bersahaja/Telah beruban dan agak bungkuk/Di atas stimya tertidur/Di tepi jalan yang sepi/Di suatu senja musim ini//Dalam tidumya ia bermimpi/Jalanan telah rata. Ditempuhnya/Dengan sebuah truk baru/Dengan klakson yang bisa berlagu/Dan di sepanjang jalanan/Beribu anak-anak demonstran/Tersenyum padanya, mengelu-elukan/Hiduplah bapak supir yang tua/Yang dulu berjuang bersama kami/Selama demonstrasi//Di tepi sebuah jalan di ibukota/Ketika udara panas, di suatu senja/Seorang supir lusuh dengan truk yang tua/Duduk sendiri terkantuk-kantuk/Semakin letih, semakin bungkuk//.

Sesudah mengkaji makna di balik dua puisi di muka cukup memberikan gambaran bahwa Taufiq Ismail sangat memerhatikan dan mencintai wong cilik. Terutama mereka yang tidak bermental pengemis, melainkan berjiwa pejuang. Mengingat hanya melalui perjuangan, mereka dapat mengentaskan nasib keterpurukannya sendiri, turut memakmurkan bangsanya, dan menyelematkan negaranya dari gerombolan rayap. Orang-orang kaya bermental miskin yang menggerogoti kekayaan negara. Para koruptor yang belum dapat dibasmi hingga sekarang.

 

Sekadar Catatan 

Diakui bahwa dari seluruh uraian di muka belum sempurna untuk memotret proses kreatif kepenyairan Taufiq Ismail secara utuh dan detail. Akan tetapi, melalui uraian tersebut kiranya dapat ditarik beberapa catatan (kesimpulan), sebagai berikut:

Pertama, Taufiq Ismail yang mulai berkarya pada tahun 1965 tersebut dikategorikan sebagai penyair Angkatan 66 dan Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Akan tetapi, Taufiq tidak memersoalkan kontroversi angkatan dari dua kritikus sastra antara HB Jassin dan Satyagraha Hoerup tersebut. Mengingat tugas penyair hanya menggubah puisi. Bukan melakukan intervensi dengan urusan para kritikus sastra.  

Kedua, bekat kesetiaannya dalam mencipta dan membacakan puisi-puisinya di ruang apresiasi publik, Taufiq Ismail mendapat banyak penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri. Di samping itu, nama Taufiq semakin berkibar hingga diakui di tingkat nasional dan internasional.  

Ketiga, Taufiq Ismail yang tidak menyukai puisi serius dengan aturan-aturan baku dalam penciptannya menunjukkan keugharian pribadinya. Puisi-puisinya yang cenderung transparan dan komunikatif merefleksikan keterbukaan Taufik dalam menjalin hubungan dengan semua lapisan masyarakat. Sehingga tidak heran bila masyarakat awam dalam dunia sastra dapat memahami karya-karyanya.

Keempat, Taufiq Ismail dalam proses kreatifnya senantiasa menerapkan kredonya di mana puisi merupakan media interaksi internal, horisontal, dan transendental. Sebagai media interaksi internal, puisi harus menjadi jembatan komunikatif antara Taufiq dengan aku-nya. Sebagai media interaksi horisontal, puisi harus menjadi pengikat antara Taufiq dengan masyarakat dan negaranya. Sebagai media interaksi transendental, puisi harus menjadi pemererat hubungan antara Taufig dengan Tuhan-nya.

Kelima, sekalipun Taufiq Ismail datang dari keluarga guru dan wartawan namun tetap memerhatikan kehidupan wong cilik. Terutama kepada wong cilik bermental pejuang, Taufiq sangat memberikan apresiasi. Mengingat dengan perjuangan, mereka tidak hanya dapat mengentaskan nasibnya sendiri, namun pula nasib bangsa dan negaranya.

Terlepas dari kelima catatan tersebut, keberadaan Taufiq Ismail dalam blantika sastra Indonesia layak dicatat dengan tinta emas. Selain karena gagasan dan perjuangan yang telah dilakukan, karya-karya puisi Taufiq yang cenderung transparan tersebut memberikan warna lain terhadap perpuisian Indonesia. Mengingat puisi-puisi yang berkembang di Indonesia cenderung bersifat prismatik dan bahkan gelap.

Hal penting untuk dikemukakan bahwa kajian terhadap proses kepenyairan Taufiq Ismail diharapkan akan mampu menggairahkan kembali kehidupan perpuisian di Indonesia yang semakin lama semakin loyo. Sungguhpun perkembangan puisi tersebut tidak ditopang dengan media cetak (koran, majalah, tabloid, jurnal) yang mulai surut, melainkan melalui media digital yang semakin berkembang.

Apabila kehidupan perpuisian di Indonesia telah marak, maka tradisi kritik sastra akan mengikutinya. Mengingat mati dan hidupnya kritik sastra sangat tergantung dengan mati dan hidupnya karya sastra. Gairah dan loyonya kritikus sastra sangat tergantung dengan gairah dan loyone kreator sastra baik penyair maupun cerpenis dan novelis.

Arkian diharapkan bahwa even Lomba Kritik Sastra Taufiq Ismail, hendaklah selain ditujukan untuk memperkenalkan penyair tersebut pada generasi milenial yang buta sejarah sastra, yakni untuk membuka pintu atas munculnya banyak kritikus sastra. Para mediator yang akan menjembatani para kreator yang hidup di masa kejayaan media cetak maupun mereka sang pemangku media digital dengan publik. Hanya melalui langkah ini, kehidupan sastra di Indonesia tidak akan menemui ajalnya. (Sri Wintala Achmad)

 

Daftar Pustaka

^   https://www.infohpmurah.com/2018/07/34-puisi-karya-taufik-ismail-yang.html#

^   https://www.sepenuhnya.com/1998/04/puisi-rendez-vous.html

^   https://id.wikipedia.org/wiki/Taufiq_Ismail

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun